
OMS mendukung aksi kolektif perempuan dan inklusi gender, dengan tujuan untuk memberdayakan perempuan, melalui strategi yang lebih luas untuk secara langsung menghadapi dinamika konteks, atau mendukung perempuan untuk menghadapi dinamika konteks tersebut. OMS menggunakan strategi ini untuk memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala konteks. Pendekatan ini, yang sering kali melibatkan kerja advokasi atau aksi langsung oleh OMS yang peduli dengan inklusi gender merupakan bentuk aksi kolektif perempuan yang lebih terstruktur dan terorganisir.



Pendahuluan
Dalam pembahasan sebelumnya, kami melihat bukti tumbuhnya aksi kolektif di antara perempuan yang memengaruhi kehidupan desa dan bagaimana OMS menerapkan model yang berbeda untuk mendukung perempuan desa dalam proses peningkatan aksi kolektif perempuan. Dalam bab ini, kami membahas cara-cara OMS mendukung aksi kolektif perempuan dan inklusi gender, dengan tujuan untuk memberdayakan perempuan, melalui strategi yang lebih luas untuk secara langsung menghadapi dinamika konteks, atau mendukung perempuan untuk menghadapi dinamika konteks tersebut. Kami mengidentifikasi mengapa dan bagaimana OMS menggunakan strategi ini untuk memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala konteks. Pendekatan ini, yang sering kali melibatkan kerja advokasi atau aksi langsung oleh OMS yang peduli dengan inklusi gender—secara mandiri atau bersama dengan perempuan desa—merupakan bentuk aksi kolektif perempuan yang lebih terstruktur dan terorganisir.
Kami mendefinisikan pendekatan untuk menavigasi konteks ini sebagai tindakan strategis yang direncanakan dan tindakan adaptif yang tidak direncanakan, yang diambil sebagai reaksi terhadap kenyataan di lapangan untuk mendorong lingkungan organisasi, kelembagaan, kebijakan dan sosial-politik yang mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan. Berbeda dengan setiap perubahan endogen yang mungkin terjadi atau tidak dari waktu ke waktu dalam konteks itu sendiri dalam kaitannya dengan inklusi gender. Kami juga membedakan antara pendekatan yang digunakan untuk mengatasi setiap konteks yang dibahas dalam pembahasan di bawah ini, kegiatan tingkat desa dengan kelompok perempuan yang bertujuan untuk membangun lembaga dan suara, serta model dukungan yang diberikan langsung kepada perempuan desa yang dibahas di Bab 6. Namun kami mempertimbangkan ketiga bentuk tindakan yang dilakukan oleh OMS sebagai bentuk intervensi eksternal dalam membangun dukungan bagi inklusi gender dan pemberdayaan perempuan.
Di bawah ini, kami membahas secara singkat tantangan utama membangun pemberdayaan perempuan yang dilaporkan oleh semua Mitra MAMPU di 27 provinsi, 147 kabupaten dan kota, dan 1.137 desa. Kami kemudian melakukan analisis terhadap wawancara dengan lebih dari 600 orang di lokasi penelitian kualitatif untuk menjelajahi jalur yang diambil OMS untuk mengatasi tantangan dan berupaya memengaruhi lingkungan tempat mereka bekerja agar lebih kondusif bagi pemberdayaan perempuan. Struktur pembahasan dalam bab ini dan strategi kunci OMS yang terencana dan adaptif dapat dilihat pada Gambar 25.
Pendekatan tersebut bervariasi dalam setiap konteks dan sesuai dengan masalah sektoral yang menjadi fokus setiap organisasi. Beberapa aspek dari pendekatan di atas sering dilakukan pada waktu yang sama, sementara yang lain diurutkan dengan hati-hati, terutama saat memasuki desa. Terkadang ada perpecahan atau titik kritis di mana ancaman atau peluang baru bagi pemberdayaan perempuan muncul—dalam beberapa contoh upaya pemberdayaan terhambat atau mengalami kemunduran. Hal ini dibahas lebih lanjut di Bab 8. Terlepas dari apakah OMS pada awalnya merencanakan dukungan mereka kepada perempuan desa untuk memengaruhi implementasi UU Desa (dukungan Program MAMPU untuk organisasi-organisasi ini dimulai sebelum UU Desa berlaku), mendukung perempuan desa dengan tujuan pemberdayaan perempuan akar rumput memiliki implikasi lebih jauh pada pengaruh kolektif perempuan dalam pembangunan desa.
Gambar 25: Struktur dan Isi Utama Bab 7

Pola tantangan utama penguatan inklusi gender dan pemberdayaan perempuan
OMS Mitra MAMPU di seluruh Indonesia telah melaporkan setiap triwulan dari tahun 2014 tentang tantangan utama yang mereka temui dalam memperkuat inklusi gender dan pemberdayaan perempuan di semua wilayah kerja mereka. Tabel 4 merangkum 1161 contoh tantangan yang dilaporkan (hingga bulan Oktober 2019) dan dilacak dalam database pemantauan menurut jenisnya. Sekitar dua pertiga dari tantangan yang dihadapi berkaitan dengan lingkungan eksternal. Ini termasuk lingkungan kelembagaan dan peraturan (pengetahuan dan kapasitas pemerintah), para pemimpin yang menolak atau dengan sengaja membatasi keterlibatan mereka dengan program OMS tentang inklusi gender dan pemberdayaan perempuan, serta pengetahuan dan kapasitas masyarakat untuk menerapkan inisiatif pemberdayaan di lapangan. Kami telah melihat di Bab 3, bagaimana fitur-fitur ini merupakan indikator dari konteks yang lebih sulit atau kondusif. Ketiga tantangan lainnya lebih bersifat internal untuk program OMS (lihat Bab 6), terutama dalam hal pengetahuan dan kapasitas teknis mereka sendiri untuk mengatasi tantangan yang ditemui, seperti mengakses pemerintah atau masyarakat saat periode tersibuk mereka dan saat menjalankan program atau menghadapi tantangan implementasi program.
Tabel 4: Tantangan Inti Penguatan Inklusi Gender dan Pemberdayaan Perempuan Dilaporkan oleh seluruh OMS Mitra MAMPU di 27 Provinsi, 147 Kabupaten/Kota dan 1.137 Desa, Juli 2014 – Oktober 2019

Kita dapat melihat dari tabel di atas bahwa tantangan muncul di berbagai tingkatan—baik dalam lingkungan kelembagaan dan politik di kabupaten dan desa, dan di masyarakat. Karenanya, OMS Mitra MAMPU menggunakan pendekatan strategis dan adaptif yang menargetkan aktor strategis yang berbeda di domain berbeda untuk mengatasi tantangan konteks ini. Mengingat adanya tantangan-tantangan tersebut, dan variasi konteks yang diidentifikasi pada bab-bab sebelumnya, kami sekarang membahas pendekatan yang dilakukan OMS untuk menavigasi lingkungan operasional mereka (dan juga mendukung perempuan desa untuk melakukannya) sehingga upaya advokasi dan aksi kolektif oleh penduduk desa memiliki dampak lebih luas di lapangan.
Memperkuat lingkungan kelembagaan: Interaksi dengan dan dukungan kepada pemerintah desa dan kabupate
Seberapa baik OMS dapat bekerja dalam konteks yang berbeda dan mengatasi hambatan konteks untuk inklusi gender dalam pengambilan keputusan, sebagian bergantung pada seberapa baik OMS dapat berinteraksi dengan pemerintah desa dan kabupaten dalam agenda pemberdayaan perempuan. Hal ini termasuk menciptakan kesadaran dan mendapatkan dukungan dari tokoh otoritatif untuk memperkuat lingkungan kebijakan dan program sehingga dapat meningkatkan posisi perempuan dalam pemerintahan dan pengaruh atas prioritas pemerintah, dan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan. Sering kali di tingkat kabupaten (dan terkadang provinsi) dan desa, hal ini melibatkan:
- Membangun kemitraan formal dan hubungan antarpribadi dan kelembagaan informal dengan tokoh otoritatif (terutama pemerintah) melalui keterlibatan yang sering,
- Mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan dan kapasitas tokoh otoritatif (baik pemerintah maupun non-pemerintah) dalam hal kesadaran gender dan bagaimana mendukung pemberdayaan perempuan,
- Mengidentifikasi hambatan dan kesenjangan dalam kerangka kebijakan, peraturan dan program, dan peluang untuk tindakan afirmatif, untuk memperkenalkan kebijakan dan program baru atau yang diperkuat, dan yang secara khusus menargetkan pemberdayaan perempuan atau prioritas mereka,
- Melengkapi kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dengan memberikan masukan langsung ke dalam kerangka kebijakan dan desain program dan, dalam beberapa kasus, program dan layanan yang diberikan bersama-sama,
- Mengadvokasi anggaran dan staf untuk melaksanakan program yang menargetkan prioritas perempuan (terutama di tingkat kabupaten),
- Berpartisipasi dalam forum multi-pihak dan badan penasihat pemerintah (terutama di tingkat kabupaten), dan
- Memantau kemajuan melalui pengumpulan data dan keterlibatan dalam evaluasi.
Secara khusus kami membahas sebagian besar dimensi strategi OMS ini dalam tiga tema yang diidentifikasi pada Gambar 26. Kami kemudian membahas lebih lanjut desain regulasi dan pengaruh di bagian selanjutnya.
Gambar 26: Strategi OMS untuk Memengaruhi Lingkungan Kelembagaan melalui Interaksi

Membangun dan memperkuat hubungan formal dan informal dengan pejabat pemerintah
Terlihat jelas dalam penelitian bahwa membangun kemitraan formal dan hubungan antarpribadi dan kelembagaan informal dengan tokoh otoritatif (terutama pemerintah) melalui interaksi rutin, telah berperan penting dalam menyediakan wadah untuk pemberdayaan perempuan dan aksi kolektif perempuan di lapangan. Misalnya di Cirebon, Jawa Barat, ‘Aisyiyah menggunakan pendekatan formal dan informal untuk terhubung dengan aktor-aktor kunci pemerintah di sektor kesehatan dan sektor lainnya untuk membangun kedekatan relasi dan menggalang dukungan dari aktor-aktor ini, terutama sebelum berupaya untuk mencari dukungan terhadap aksi kolektif perempuan di desa.
‘Aisyiyah melakukan diskusi kelompok terfokus dengan pemerintah tentang masalah-masalah utama dalam kesehatan reproduksi dan kesadaran gender, dan menghadiri pertemuan badan sektoral pemerintah, khususnya di bidang kesehatan. Nota Kesepahaman (MoU) dengan Dinas Kesehatan Kabupaten pada tahun 2016 dibuat untuk berkolaborasi dalam program, pengembangan kebijakan dan inisiatif, misalnya dalam Program Peningkatan Layanan Kesehatan Reproduksi untuk Perempuan. Saat penelitian dilaksanakan, ‘Aisyiyah berupaya untuk menjaga komunikasi intensif dengan hampir semua kantor pemerintah di kabupaten dan telah mengembangkan kemitraan kunci terkait pelaksanaan program, dengan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), dan Badan Perencanaan, Pembangungan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda). Dinas yang disebutkan terakhir adalah mitra kunci untuk ‘Aisyiyah karena Bappelitbangda memainkan peran penting dalam memantau dan meningkatkan kinerja dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), sebuah tujuan yang juga dimiliki oleh cabang ‘Aisyiyah kabupaten. Pemerintah Cirebon juga membentuk forum multi-pihak yang terdiri dari banyak OMS dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengkoordinasikan isu-isu utama terkait perempuan dan kesehatan.
Penting bagi kerja ‘Aisyiyah untuk terus memelihara hubungan antarpribadi dengan aktor-aktor utama pemerintah dan menjalin kemitraan dengan kantor-kantor pemerintah, untuk memastikan diskusi mereka dalam ruang-ruang formal dapat dilakukan dengan efektif. Dalam menjelaskan pentingnya hubungan informal, Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah di Cirebon mengatakan:
“Bukan nggak efektif, karena memang kalau di forum resmi mereka pun juga jaim gitu… tidak leluasa untuk ngobrol sebenarnya. Tapi bukan berarti kita nggak pernah masuk forum resmi ya. Kita juga (masuk kedalam forum-forum) pokja-pokja itu kan, kita juga dilibatkan. Di Dinas PPPA (Pemberdayaan Perempuan), di Pokja SDGs, Bappelitbangda. Kita terbiasa sih mbak kalau masuk forum formalnya mereka begitu. Tapi kalau lobi-lobi lebih efektif mungkin tidak hanya di forum formal begitu.” Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Cirebon, 21 Februari 2019.
Demikian pula di Pangkep, mitra kabupaten KAPAL Perempuan, YKPM (Yayasan Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat) berupaya mengembangkan hubungan yang erat dengan pemerintah kabupaten melalui Bupati untuk mendukung program Sekolah Perempuan, melalui pendekatan secara rutin dan informal kepada tokoh otoritatif. Direktur YKPM pada saat penelitian dilaksanakan telah lama menjalin hubungan dengan pemerintah, dan hubungan ini merupakan pintu masuk yang sangat penting bagi YKPM untuk terhubung dan membangun kepercayaan dengan para aktor strategis pemerintah. Untuk memajukan rencananya, mereka bertemu dengan Bupati di kedai kopi untuk membahas rencana mereka membentuk kelompok aksi kolektif perempuan di seluruh wilayah pulau melalui Sekolah Perempuan. Hal ini menciptakan hubungan terbuka antara Bupati dan OMS lokal yang ingin bekerja di daerah, dan izin segera diberikan untuk beroperasi di daerah tersebut melalui MoU.
Di seluruh Mitra dan di wilayah program MAMPU, sejak Juli 2014 sampai dengan Oktober 2019, 87 MoU telah dibuat untuk mendukung kolaborasi antara OMS dan pemerintah atau untuk mendukung program yang dilakukan oleh Mitra MAMPU di desa. MoU adalah strategi kunci untuk membuka pintu di desa dan mendapatkan setidaknya dukungan administratif untuk kegiatan pemberdayaan dan dukungan bagi perempuan di desa.
Di Gresik, KAPAL Perempuan dan mitranya (termasuk KPS2K) mengadakan pelatihan kesadaran gender bagi pejabat pemerintah yang sudah memiliki kemauan untuk mendukung perencanaan dan penganggaran yang sensitif gender, tetapi mereka tidak yakin bagaimana dapat meneruskan upayanya karena adanya keterbatasan dana dan pengetahuan. Di Pangkep, pelatihan kesadaran gender juga dilakukan oleh mitra lokal KAPAL Perempuan, YKPM. Pelatihan semacam itu penting untuk membangun hubungan antara OMS dan lembaga pemerintah, dan penguatan kelembagaan karena berkontribusi pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Sebagian besar Mitra MAMPU mengadopsi strategi transfer pengetahuan untuk memengaruhi pembuat keputusan utama, dan untuk membangun pemahaman dan kesadaran tentang ketidaksetaraan gender, serta bagaimana meningkatkan tanggapan terhadap hal ini. Hal ini hanyalah beberapa dari banyak cara OMS di seluruh lokasi penelitian yang berusaha untuk terlibat dengan dan mendukung aktor pemerintah guna meningkatkan dukungan bagi pemberdayaan perempuan. Strategi ini sama pentingnya dalam konteks yang sangat kondusif untuk inklusi gender dan pemberdayaan perempuan seperti halnya dalam konteks yang paling tidak kondusif.
Interaksi rutin dengan lembaga dan departemen pemerintah
Interaksi rutin dengan seluruh kantor pemerintah dari waktu ke waktu juga sangat penting dilakukan untuk menjaga hubungan dengan aktor otoritatif, karena setiap pergantian staf, terutama di tingkat kepemimpinan, dapat memperlambat pembuatan kebijakan. Narasumber dari ‘Aisyiyah di Cirebon menjelaskan bagaimana dalam satu kasus, draf program telah dibahas panjang lebar, direncanakan secara rinci, dan disepakati dengan pejabat sebelumnya, tetapi kemudian harus disusun ulang karena pejabat kunci yang bertanggung jawab pindah ke posisi baru:
“Kerepotan sekali. Ternyata di dinasnya sendiri pergantian Organisasi Perangkat Daerah itu cepet sekali. Kepala dinas itu tidak bisa dipegang setahun sekali. Jual beli jabatan itu terjadi tiap enam bulan, dan bahkan dua bulan. Ketika kita datang, ibu ini udah bagus ya kita udah asik lah, eh diganti. Datang lagi kesitu katanya ‘aduh saya nggak ngerti ya Bu datanya dimana.’” Narasumber, 21 Februari 2019.
Pergantian pejabat kunci seperti itu juga bisa terjadi sebagai akibat dari hasil pemilu. Sering kali ketika Bupati baru terpilih, pejabat kunci dan kepala dinas kabupaten juga berubah, yang dapat menghambat kerja cepat untuk menetapkan kerangka kebijakan atau program yang mendukung pemberdayaan perempuan, bahkan ketika terobosan telah dibuat yang memungkinkan hal tersebut bisa terjadi. Misalnya di Lombok Timur, tantangan utama ini dihadapi oleh OMS lokal dan pejabat pemerintah yang berupaya untuk memperluas skala inisiatif dalam pengarusutamaan gender.
“Kendalanya juga mungkin karena ada pergantian Bupati. Kalau ndak ada pergantian Bupati, mungkin sudah gol. Karena ada Pilkada ini jadi nunggu tujuh bulan. Ini aja kepala seksinya di bidang Pengarusutamaan Gender masih kosong ini, tujuh bulan kosong. Proses ini sebenernya sudah selesai, cuma nunggu pemilihan. … [Pemilihan kepala dinas berdasarkan] politik dan Pansel. Ada kriterianya. Dari semua SKPD sih, siapa yang boleh ikut Pansel ada pengumumannya.” Pejabat Pemerintah Kabupaten di DP3AKB, Selong, 3 Juli 2019.
Di semua provinsi di mana OMS bekerja dengan dukungan MAMPU, perubahan staf atau sistem pemerintah merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh para Mitra MAMPU ini (44 kasus). Bersama dengan kurangnya pemahaman tentang pengarusutamaan gender dan kesenjangan pengetahuan para pembuat keputusan pemerintah tentang bagaimana memperkenalkan kebijakan dan instrumen pengarusutamaan gender (lihat Tabel 4), sehingga memperlambat kemajuan dalam membangun pemberdayaan perempuan.
Untuk memfasilitasi keterlibatan dan mengatasi tantangan ini, terutama di kabupaten baru di mana OMS belum pernah bekerja sebelumnya, terdapat banyak contoh pendekatan informal dan formal yang mereka gunakan untuk membina hubungan dengan tokoh pemerintah kunci dan tokoh lainnya di seluruh lokasi penelitian, terutama sebelum mengembangkan program di desa. Selain kontak pribadi dan partisipasi rutin dalam pertemuan lembaga sektoral, partisipasi dalam forum multi-pihak telah menjadi salah satu cara utama OMS untuk mempertahankan interaksi dengan pemerintah serta pemimpin berpengaruh lainnya dari waktu ke waktu, seperti yang terlihat di atas dalam diskusi tentang kerja ‘Aisyiyah. Sebagian besar OMS di semua lokasi penelitian kualitatif berpartisipasi dalam forum yang dibentuk oleh pemerintah, atau membentuk sendiri forum multi-pihak (kadang dengan pemerintah, kadang dengan organisasi di luar pemerintah), agar memiliki forum yang jelas untuk menjalin komunikasi antara tokoh strategis di sektor tertentu atau untuk menangani masalah tertentu. BaKTI membentuk forum multi-pihak seperti yang demikian di Makassar untuk banyak OMS yang menjangkau wilayah Indonesia Timur—melalui forum ini, organisasi yang terlibat secara kolektif memantau media, berbagi informasi, melakukan upaya bersama terhadap isu dan program kunci di wilayah, dan mengoordinasikan OMS mana yang paling baik ditempatkan untuk menghadapi masalah yang muncul dan tantangan di lapangan.
BaKTI juga membentuk program Reses Partisipatif untuk mengadvokasi perwakilan DPRD agar bisa menghimpun, mengadvokasi, dan menanggapi aspirasi serta kekhawatiran konstituennya. Perwakilan parlemen didorong untuk membantu masyarakat memahami undang-undang melalui kunjungan, akuntabilitas moral dan politik serta komunikasi dan penjangkauan (sosialisasi).
Kotak 28: Reses Partisipatif dari BaKTI
Di Lombok Timur, dua orang perwakilan DPRD berpartisipasi dalam Reses Partisipatif BaKTI: Khairul Rizal yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPRD Lombok Timur dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Baiq Nurhasannah, anggota dewan perempuan dari PDIP. Hubungan baik antara BaKTI dengan kedua anggota legislatif tersebut pun terwujud ke dalam penyediaan ruang kantor bagi BaKTI di gedung DPRD Lombok Timur.
Program ini saling menguntungkan perempuan anggota parlemen, dan perempuan di desa-desa. Seorang narasumber menggambarkan bagaimana suara anggota DPRD perempuan di Reses Partisipatif menjadi lebih dari dua kali lipat dibandingkan pemilu 2014. Dia mengumpulkan sekitar 3.000 suara pada tahun 2019, dibandingkan dengan sekitar 1.500 pada tahun 2014, meskipun daerah pemilihan anggota parlemen perempuan ini tidak mencakup Kabupaten Lombok Timur.
BaKTI juga memfasilitasi pembentukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Perempuan (Musrenbangda Perempuan), dengan salah satu mitra daerah KAPAL Perempuan, LPSDM (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra).
Dinamika ini juga terjadi di desa. OMS menggunakan pendekatan formal dan informal untuk:
- Menjalin hubungan dan kepercayaan dengan Kepala Desa sebelum memulai program apapun,
- Membangun kesadaran gender,
- Memperkuat kebijakan desa, dan
- Berupaya untuk mengubah norma dengan dukungan kepemimpinan desa.
Kami juga melihat hal ini dalam contoh lain, di mana perempuan desa dan OMS bekerja sama untuk membangun hubungan ini. Misalnya, KPS2K bersama anggota kelompok Sekolah Perempuan juga berhasil melakukan advokasi isu perkawinan anak di Kabupaten Gresik:
“Kita mengajukan di Musrenbang tingkat kecamatan, Musrenbang tingkat kabupaten. Selama ini ya masih KPS2K itu yang gembor-gembor tentang stop pernikahan usia anak di kabupaten. Di kabupaten kita kan kerja sama dengan dinas-dinas di kabupaten, terus dikasih tau dampak dari pernikahan usia anak, akibat dari usia anak mengakibatkan kemiskinan pada perempuan, banyak perempuan yang mengalami KDRT, banyak perempuan yang mengalami angka kematian ibu, terus anak terlahir cacat, terus dijelaskan semua. Akhirnya di tahun 2018 ini Mbak ya, membuat surat edaran tentang stop pernikahan usia anak.” Anggota Sekolah Perempuan, desa ‘intervensi’ penelitian di Gresik, 19 Februari 2019.
Contoh lain dalam membangun dan memperkuat jejaring sosial dibahas lebih lanjut di bawah ini pada bagian membangun kepercayaan dan memanfaatkan jejaring sosial.
Interaksi rutin dengan pemimpin sosial yang berpengaruh
Menghubungkan dan memelihara hubungan dengan organisasi keagamaan dan organisasi sosial berpengaruh lainnya juga merupakan strategi penting yang digunakan oleh banyak OMS, baik melalui keterlibatan langsung maupun secara tidak langsung dengan mendukung perempuan desa untuk mengembangkan keterlibatan tersebut. Ini terutama terjadi di daerah-daerah di mana pemimpin agama, etnis, adat dan lainnya sangat berpengaruh. Para pemimpin ini sering kali memiliki pengaruh atas norma-norma sosial, pemerintah dan kebijakan yang lebih luas, dan memiliki kepercayaan dari masyarakat. Membangun hubungan dengan para pelaku ini merupakan strategi penting bagi OMS untuk mengurangi kemungkinan menghadapi penolakan terhadap kegiatan mereka di desa atau lebih luas, dan untuk memperkuat dukungan untuk membangun atau bekerja dengan kelompok perempuan di desa. OMS tidak hanya membangun hubungan dengan para pemimpin tersebut, tetapi juga sering melibatkan mereka dalam pelatihan dan sosialisasi di lapangan untuk memperluas pengetahuan para pemimpin itu sendiri.
Misalnya, di Timor Tengah Utara, YABIKU berhubungan dengan aktor masyarakat yang berpengaruh, termasuk pemimpin adat dan gereja. Para pemimpin adat juga masuk dalam kelompok paralegal, dengan seorang pemimpin terkemuka ditempatkan sebagai ketuanya. Dengan adanya gereja, YABIKU dapat memasukkan informasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dalam kursus pra-nikah yang harus diikuti oleh calon pasangan sebelum bisa menikah di gereja. Beberapa paroki di desa juga telah membuat ketentuan untuk memasukkan perempuan dalam dewan Gereja, yang menyebabkan peningkatan keterlibatan remaja putri di gereja.
Demikian pula di Tanggamus, kolaborasi antara DAMAR, Jaringan Wanita Katolik dan Jaringan Mitra Perempuan—yang dikepalai oleh seorang suster—membantu DAMAR mendapatkan dukungan masyarakat yang luas atas upayanya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait kesehatan perempuan, topik yang di banyak komunitas dianggap tabu. Sebelum DAMAR hadir, Jejaring Kemitraan Perempuan secara rutin menyelenggarakan sesi informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi, namun baru setelah DAMAR terlibat, kegiatan ini dibuka untuk masyarakat yang lebih luas (dan non-Katolik) dengan melibatkan organisasi yang ada di tingkat desa seperti PKK dan Posyandu. Hal ini juga menjadi ajang penting bagi OMS untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah desa, karena ketua PKK juga merupakan istri dari Kepala Desa.
Mengidentifikasi dan mengisi kesenjangan kapasitas teknis dan sumber daya untuk perancangan dan pelaksanaan kebijakan
Serupa dengan di kabupaten lain, OMS bekerja dengan lembaga pemerintah dan pejabat pemerintah untuk mengidentifikasi kesenjangan kebijakan, mengembangkan lingkungan peraturan yang lebih kuat (lihat juga di 7.3), menciptakan kesadaran gender yang lebih baik, dan untuk melengkapi keterampilan dalam pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program. Selain mendukung pemerintah untuk merancang instrumen kebijakan (seperti peraturan dan instrumen teknis) yang dibahas di bagian selanjutnya, banyak OMS di seluruh lokasi penelitian membantu mendukung dan menyampaikan program dengan atau untuk pemerintah. Dukungan tersebut cenderung didasarkan pada pengetahuan sektoral yang dikhususkan untuk masing-masing OMS Mitra MAMPU. Memberikan dukungan tersebut merupakan ciri umum dari strategi yang digunakan baik dalam konteks yang sangat kondusif maupun yang kurang kondusif untuk membangun pemberdayaan perempuan.
Misalnya, PEKKA di Hulu Sungai Utara (konteks yang cukup kondusif mengingat keterbukaan pemerintah desa dan kabupaten untuk meningkatkan inklusi gender) membangun hubungan dengan pemerintah kabupaten dalam rangka untuk mengubah lingkungan pendukung yang lebih luas, dan juga untuk mendapatkan dukungan akses desa. Fasilitator lapangan PEKKA bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten untuk memetakan desa-desa dengan angka perceraian yang tinggi dan jumlah perempuan kepala keluarga yang tinggi, yang sekarang menjadi data yang digunakan kabupaten dan juga membantu PEKKA untuk menentukan di mana terdapat utamanya perempuan kepala keluarga yang rentan dan berisiko.
Di Cirebon juga (konteks yang cukup sulit), ‘Aisyiyah melakukan advokasi dan dukungan kepada pemerintah untuk mengembangkan rangkaian program di bidang kesehatan reproduksi. Pada tahun 2018 ini, Dinas Kesehatan Kabupaten mengeluarkan Surat Edaran terkait Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan Pemeriksaan Payudara Klinis, serta Surat Edaran serupa tentang Pemberian ASI Eksklusif, sebagai salah satu cara penanggulangan stunting. Selain itu, ‘Aisyiyah juga membantu penyusunan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, bersama organisasi lain seperti Women’s Crisis Center, Mawar Balqis, Fahmina, dan Fatayat. Dua puluh lima organisasi kemasyarakatan, termasuk ‘Aisyiyah, membentuk Forum Peduli Kesehatan Bayi Baru Lahir, untuk meningkatkan perhatian terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan bayi. Di Kabupaten Pangkep (konteks yang sangat sulit) dan kabupaten tetangga lainnya, seperti Kabupaten Maros, ‘Aisyiyah bekerja sama dengan pemerintah dan bekerja langsung di lapangan untuk memberikan informasi dan layanan skrining kanker serviks, pap smear, kesehatan reproduksi dan perawatan paliatif bagi pasien kanker serta orang tua, dan banyak layanan lainnya.
Di Kabupaten Lombok Tengah (juga konteks yang cukup sulit), Migrant CARE dan mitra jejaringnya Panca Karsa juga menyediakan dukungan langsung kepada pemerintah kabupaten untuk mengembangkan pusat layanan terpadu guna mendukung para pekerja migran dan keluarganya, terutama mereka yang menghadapi permasalahan di luar negeri, dan ketika reintegrasi kembali ke Indonesia. Di Kabupaten Gresik dan Lombok Utara (keduanya dalam konteks yang cukup sulit) dan Pangkep (awalnya merupakan konteks yang sulit), KAPAL Perempuan dan OMS mitra lokalnya bekerja dengan pemerintah untuk mereplikasi dan meluncurkan Sekolah Perempuan. BITRA dan Yasanti telah mendukung para pemimpin pemerintah di berbagai tingkat untuk mengembangkan instrumen teknis guna mengakui hak-hak pekerja rumahan, serikat pekerja, dan untuk mengakses program dukungan pemerintah.
Upaya-upaya di atas menyajikan banyak contoh terkait cara OMS berusaha memberikan layanan secara langsung, atau untuk mendukung dan melengkapi kesenjangan kapasitas dalam penyampaian layanan lembaga pemerintah, guna meningkatkan lingkungan kelembagaan untuk inklusi gender dan perhatian pada kebutuhan perempuan. Ada beberapa perbedaan sektoral—organisasi yang memiliki keterampilan di sektor tertentu (seperti kesehatan atau pendidikan) atau dalam menangani masalah khusus seperti perdagangan manusia, kekerasan seksual dan domestik, hak-hak tenaga kerja, serta kejelasan identitas sebagai warga negara, mampu memberikan layanan masyarakat secara bersama-sama dengan atau secara independen terhadap pemerintah di sektor dan bidang yang berbeda-beda. OMS lainnya yang bekerja pada isu-isu lintas sektoral yang lebih luas, seperti kesadaran gender dan pengembangan kebijakan untuk pengarusutamaan gender, cenderung berkolaborasi dalam advokasi dan pengembangan kebijakan di tingkat kabupaten, dan pengembangan keterampilan perempuan yang lebih luas di tingkat desa, sedangkan beberapa OMS melakukan keduanya.
Memperkuat lingkungan kelembagaan: Advokasi kebijakan untuk mendukung pemberdayaan perempuan
Meskipun setiap negara berbeda, di Indonesia kebijakan dibuat melalui undang-undang (di tingkat nasional) dan peraturan (di tingkat provinsi dan kabupaten) dengan cara yang sangat preskriptif. Sering kali peraturan perundang-undangan dan peraturan di kabupaten dan provinsi tidak hanya menguraikan prinsip-prinsip pedoman, tetapi juga prioritas, fitur teknis dari kebijakan dan pengaturan pelaksanaannya. Undang-undang ini juga menetapkan aktor dan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan (terkadang lembaga baru dibentuk), (sering kali) apa yang merupakan pelanggaran kebijakan dan sanksi, dan bahkan dalam beberapa kasus, prioritas dan alokasi anggaran.
Oleh karena itu, prioritas atau kebijakan baru yang tidak tertuang dalam peraturan perundang-undangan kemungkinan tidak dapat dilaksanakan, yang merupakan alasan mengapa advokasi kebijakan dan dukungan penyusunan regulasi dianggap oleh OMS sebagai kunci untuk meningkatkan inklusi gender, pengaruh perempuan, dan kesejahteraan perempuan dalam kehidupan keseharian mereka di seluruh negeri. Hal ini berbeda dengan negara lain di mana kebijakan pemerintah mungkin menguraikan serangkaian prinsip dan prioritas tingkat yang lebih tinggi yang mencerminkan keputusan pemerintah saat itu dan kewenangan serta pendekatan yang ditunjuk secara luas untuk diambil oleh badan-badan tersebut dalam pelaksanaannya. Namun dalam konteks tersebut, aspek pelaksanaan teknis, anggaran, dan spesifikasi hubungan dan program antarlembaga cenderung kurang ditentukan dalam undang-undang (nasional) atau peraturan daerah. Sebaliknya, hal tersebut diserahkan kepada lembaga pelaksana untuk dikembangkan seiring waktu. Oleh karena itu, di Indonesia, pengembangan peraturan dan perundang-undangan merupakan alat untuk mendorong dilaksanakannya kebijakan-kebijakan penting. Kami membahas empat aspek penting berikut untuk memahami lingkungan peraturan dan upaya OMS untuk memengaruhi hal ini (lihat Gambar 27), meskipun kemungkinan besar masih banyak lagi aspek lainnya.
Gambar 27: Lingkungan Peraturan dan Pengaruh OMS

Berkontribusi pada rancangan peraturan untuk memberlakukan kebijakan yang mendukung pemberdayaan perempuan
Hampir semua Mitra MAMPU di semua lokasi penelitian kualitatif menargetkan pengembangan kebijakan melalui perancangan (dan memberikan masukan untuk) peraturan yang mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat kabupaten (terkadang provinsi) dan desa (lihat Lampiran 4). Komitmen awal dari pimpinan kabupaten dan desa untuk mendukung pemberdayaan perempuan tidak cukup untuk memastikan berjalannya tindakan di lapangan tanpa adanya peraturan pendukung yang disahkan.
Peraturan di Kabupaten yang disahkan, baik melalui DPRD bersama dengan pemerintah eksekutif daerah (Peraturan Daerah/Perda), atau langsung oleh Bupati atau Walikota (Peraturan Bupati/Perbup atau Peraturan Walikota/Perwali) merupakan sasaran utama dari upaya advokasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk inklusi gender, pemberdayaan dan pengaruh perempuan dalam skala besar, dan pada tingkat tertentu, untuk memengaruhi desa. Peraturan-peraturan ini dalam beberapa kasus merupakan pengarusutamaan gender berbasis luas atau kebijakan jaminan sosial untuk memengaruhi lembaga pemerintah secara luas, dan dalam kasus lain secara diam-diam terkait dengan masalah sektoral tertentu yang menjadi perhatian seperti pekerja migran, kesehatan reproduksi, pencegahan dan dukungan kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya, dan hak tenaga kerja bagi pekerja rumahan.
Di tingkat masyarakat, berdasarkan Undang-Undang Desa, desa sekarang juga dapat membuat peraturan di dalam kewenangannya, yang merupakan kerangka kebijakan tingkat desa. Mengingat bahwa hal ini sering kali berkaitan langsung dengan masalah desa, hal ini cenderung sangat terfokus pada perubahan mekanisme tertentu dalam cara pengambilan keputusan, atau dalam menguraikan prioritas pembangunan tertentu, sanksi atau insentif untuk mendorong atau mencegah perilaku tertentu. Maka tidak mengherankan jika OMS menargetkan advokasi mereka pada perumusan dan pengesahan peraturan di tingkat kabupaten dan juga yang sejalan dengan kegiatan di tingkat masyarakat untuk mendukung perempuan desa, menargetkan perancangan dan pengesahan Peraturan Desa dalam upaya untuk memperkuat kondusifitas lingkungan kelembagaan terhadap inklusi gender dan pemberdayaan perempuan.
Lampiran 5 menguraikan semua peraturan yang teridentifikasi di lokasi penelitian kualitatif, yang merupakan hasil dari advokasi dan masukan OMS di tingkat kabupaten dan desa dari waktu ke waktu di 12 kabupaten/desa penelitian dan dua desa ‘kontrol’ (di Kabupaten Gresik dan Pangkep). Termasuk juga peraturan yang lebih luas terkait inklusi gender dan pemberdayaan perempuan, dan peraturan tentang isu-isu sektoral tertentu yang menjadi perhatian perempuan dan OMS. Beberapa OMS juga menargetkan peraturan di tingkat provinsi, terutama untuk isu-isu yang lintas wilayah dan sektor di suatu provinsi, seperti perdagangan manusia dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Penting untuk diingat bahwa di bawah desentralisasi di Indonesia, kabupaten memiliki kewenangan politik dan anggaran yang lebih besar daripada pemerintah tingkat provinsi dalam banyak sektor, kecuali terhadap isu yang menyangkut lintas batas kabupaten atau secara khusus ditetapkan dalam perundang-undangan berada dalam lingkup kewewenangan provinsi.
Studi kasus sektoral OMS Mitra MAMPU yang mengadvokasi perbaikan kondisi ketenagakerjaan dan hak-hak buruh (di perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan), terutama bagi pekerja rumahan, mengungkapkan bahwa OMS Mitra MAMPU tersebut juga menggunakan strategi untuk memperkuat lingkungan kelembagaan melalui dukungan pengembangan peraturan dan instrumen kebijakan lainnya. Sementara pekerjaan OMS tersebut cenderung terjadi di daerah pinggiran kota di mana industri besar berada, mereka juga menargetkan lingkungan tingkat kabupaten dan desa, karena industri rumahan desa memasok bisnis, toko, dan pabrik yang lebih besar. OMS Mitra MAMPU, TURC (di Sukabumi, Jawa Barat), BITRA (di Deli Serdang, Sumatera Utara), dan Yasanti (di provinsi Yogyakarta dekat Jawa Tengah) telah berupaya untuk memperkuat kerangka kebijakan di kedua tingkat. Advokasi TURC berujung pada berlakunya Peraturan Bupati tahun 2019 tentang Rencana Aksi Strategis Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam advokasi Yasanti, sejumlah keputusan tingkat provinsi dan kabupaten (dari Dinas Tenaga Kerja dan Koperasi) diperkenalkan untuk mendukung hak-hak kelompok pekerja rumahan dalam berorganisasi melalui serikat, yang juga membuat mereka memenuhi persyaratan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Program dan advokasi TURC dan Yasanti yang dilakukan secara langsung dan bersama dengan aksi kolektif pekerja rumahan, menghasilkan dikeluarkannya peraturan, instruksi dan keputusan di tingkat desa dan kelurahan, yang mencatat keberadaan pekerja rumahan secara resmi dan memberi dukungan bagi mereka, sehingga layak mendapatkan layanan dari pemerintah. Advokasi BITRA dengan pekerja rumahan di Sumatera Utara telah membuat pekerja rumahan masuk dalam daftar penerima layanan kesehatan gratis melalui skema BPJS.
Dampak peraturan tingkat kabupaten berdasarkan desentralisasi
Secara lebih luas, dalam banyak kasus, Mitra MAMPU di seluruh 27 provinsi berupaya memperkuat lingkungan kebijakan di kabupaten, beserta dengan lingkungan kebijakan di desa. Melalui upaya lobi, membangun hubungan, bekerja dengan pemerintah, dan mengisi kesenjangan kapasitas teknis untuk merancang peraturan dan instrumen kebijakan, semua Mitra MAMPU (tidak hanya yang tercakup dalam sampel penelitian kualitatif) mendukung penyusunan sekitar 184 instrumen kebijakan di tingkat kabupaten/kota, yang sekitar setengahnya diselesaikan antara Juli 2014 dan Oktober 2019 dan dua pertiganya merupakan peraturan yang berkekuatan lebih dibandingkan peraturan lain di tingkat kabupaten/kota (lihat Tabel 5). Peraturan di kabupaten/kota tersebut menambah jumlah keseluruhan peraturan yang ada, mencakup 11 instrumen kebijakan tingkat nasional, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan presiden, serta 10 peraturan tingkat provinsi yang menjadi sasaran advokasi OMS pada periode yang sama, yang banyak di antaranya pada saat penulisan laporan ini masih dalam tahap pembahasan (lihat Tabel 5).
Dampak peraturan tingkat desa berdasarkan UU Desa
Demikian pula, di tingkat desa, antara Juli 2014 – Oktober 2019, di 27 provinsi tempat OMS Mitra MAMPU bekerja, OMS mendukung pengembangan sekitar 341 instrumen kebijakan yang dua pertiganya diselesaikan pada Oktober 2019, dan setengahnya adalah Peraturan Desa/Kelurahan (187) atau Peraturan Desa Adat (8) (lihat Tabel 5). Perubahan tersebut sangat signifikan untuk memengaruhi implementasi UU Desa pada desa-desa yang mengesahkan 85 Peraturan Desa/Kelurahan atau Peraturan Desa Adat.
Tabel 5: Hasil Advokasi semua OMS Mitra MAMPU: Peraturan Perundang-undangan, dan Instrumen Kebijakan Lainnya di 27 Provinsi, 147 Kabupaten/Kota dan 1.137 Desa, Juli 2014 – Oktober 2019

Variasi—lingkungan awal, kecepatan perubahan, dan target advokasi
Berdasarkan penelitian kualitatif, pada Lampiran 5 terlihat bahwa sebelum MAMPU dimulai pada tahun 2013, di beberapa lokasi penelitian, OMS telah lama mulai mengadvokasi inklusi gender dan pemberdayaan perempuan, dan di lokasi-lokasi lain, petinggi-petinggi politik mengambil inisiatif mereka sendiri untuk meningkatkan inklusi gender, meskipun yang terakhir lebih sering merupakan hasil dari advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Hasilnya, di beberapa kabupaten yang cukup kondusif (dan kabupaten-kabupaten yang cukup sulit, yaitu di mana lingkungan kabupatennya lebih kondusif dibandingkan lingkungan desa), peraturan pada tingkat kabupaten (dan terkadang provinsi) sudah mulai diperkenalkan untuk memperkuat lingkungan kebijakan agar menjadi lebih inklusif terhadap perempuan dan kebutuhan mereka. Daerah-daerah ini meliputi Lampung, Bantul, Lombok Timur, dan Gresik. Dengan demikian, ketika MAMPU memberikan dukungan kepada mitranya di wilayah ini, mereka dapat dengan cepat fokus pada inisiatif yang lebih bersifat sektoral dan/atau kegiatan di tingkat desa mengingat kondisi awal untuk penguatan pemberdayaan perempuan sudah kondusif untuk mendukung agenda mitra.
Hal ini tentunya terjadi di Provinsi Lampung, Kabupaten Tanggamus. Mitra MAMPU, DAMAR, telah lama bekerja di tingkat provinsi untuk meningkatkan lingkungan kebijakan bagi pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan layanan untuk mendukung korban kekerasan (lihat juga Bab 3). Dukungan dari MAMPU—melalui konsorsium PERMAMPU, di mana DAMAR menjadi anggotanya—membantu DAMAR membangun dan meningkatkan upaya advokasi sebelumnya yang telah menarik perhatian para pembuat kebijakan di wilayah tersebut. Hal ini termasuk dukungan konkrit untuk kerja DAMAR dengan Pemerintah Kabupaten Tanggamus untuk mengembangkan lebih lanjut kebijakan kabupaten dan kerangka kerja yang mendukung pemberdayaan perempuan.17 Kebijakan dan kerangka kerja tersebut juga dapat berfokus pada agenda hak-hak perempuan yang lebih luas di luar masalah sektoral kekerasan terhadap perempuan, dan untuk menyebarkan dan menanamkan upaya-upaya advokasi dalam kegiatan nyata di tingkat desa di mana perempuan desa dapat merasakan manfaat di lapangan.
Kabupaten Gresik juga merupakan penggerak awal pengarusutamaan gender, yang merupakan hasil dari advokasi OMS lokal dan dampak awal program Gender Watch. Peraturan diberlakukan sejak tahun 2012 untuk memperkuat sensitivitas gender dalam perencanaan dan penganggaran kabupaten. Mengingat adanya keterbukaan yang luas terhadap pemberdayaan perempuan yang ditandai dengan regulasi pada tahun 2012, ketika KAPAL Perempuan bersama mitra lokalnya KPS2K memulai program barunya yang didukung oleh MAMPU di Gresik pada tahun 2014, mereka berhasil dengan cepat mendapatkan komitmen dari pemerintah kabupaten untuk agenda melalui strategi keterlibatan mereka. Sebuah MoU dibuat pada tahun 2014 antara ketiga pihak yang menandakan komitmen masing-masing untuk berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dan menyelesaikan masalah perempuan di desa, dan dukungan dari pemerintah kabupaten untuk kegiatan Sekolah Perempuan KP2SK di desa.
Mengindikasikan adanya dukungan Kabupaten Gresik dengan memberikan perhatian lebih pada pengarusutamaan gender, Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas KBPPA) Kabupaten Gresik ditingkatkan menjadi lembaga sektoral kabupaten penuh pada tahun 2016. Dalam proses perencanaan pembangunan kabupaten yang selalu melibatkan Musrenbang, sebuah Musrenbang khusus diperkenalkan untuk perempuan agar lebih mendengar prioritas mereka dan memasukkannya ke dalam agenda perencanaan. KAPAL Perempuan dan mitranya KPS2K menggunakan pendekatan keterlibatan informal untuk mendapatkan komitmen dari para aktor berpengaruh di pemerintah kabupaten terhadap agendanya, yang berpuncak pada dukungan yang lebih formal dan hasil penguatan kelembagaan untuk pemberdayaan perempuan dan kebijakan dan dukungan program untuk mereplikasi Sekolah Perempuan di desa-desa lain (Lihat Kotak 26).
17 Meskipun kabupaten seperti Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung telah mulai memperkenalkan peraturan kabupaten tentang pemberdayaan, hal ini tidak terjadi secara spesifik di Tanggamus.
Kotak 29: Pengarusutamaan Gender di Gresik
Lingkungan peraturan di Gresik pertama kali didukung oleh OMS dalam program Gender Watch. Selain memperkenalkan penganggaran dan perencanaan responsif gender pada tahun 2012, juga terdapat peningkatan lembaga dari yang awalnya merupakan sub-kantor menjadi Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2016, yang menandakan adanya konteks yang kondusif untuk membangun lebih lanjut dukungan kelembagaan untuk pemberdayaan perempuan. Dalam Peraturan tahun 2012, unit pemerintahan diarahkan untuk tanggap gender dalam programnya dan dana dialokasikan untuk program responsif gender. Pada tahun 2014, KAPAL Perempuan dan KPS2K mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten untuk program yang mereka rencanakan melalui MoU, dan sejak saat itu mereka dapat memulai keterlibatannya dengan berbagai desa untuk membentuk kelompok Sekolah Perempuan di tingkat desa.
Pada tahun 2016, bersamaan dengan perubahan pemerintahan di tingkat kabupaten, KPS2K menggunakan pendekatan langsung dan personal untuk melibatkan tokoh-tokoh muda kunci di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas KBPPA. Tokoh-tokoh ini dianggap berpikiran terbuka dan memiliki posisi pengaruh yang strategis, terutama mengingat kewenangannya dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kabupaten dan kapasitas mereka untuk menavigasi birokrasi serta membingkai pemberdayaan perempuan dalam bahasa sederhana yang dapat dipahami masyarakat luas. Pendekatan personal tersebut kemudian menghasilkan upaya pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan perempuan dan anak dengan menginisiasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) khusus untuk perempuan dan anak.
“Jadi itu usulan-usulan yang memang khas kebutuhan perempuan itu memang ada di situ. Selain yang di Musrenbang Perempuan, selain mengundang dari organisasi-organisasi perempuan, kita juga mengundang dari perempuan yang di level bawah. Karena kita ingin memotret, apa sih kebutuhan mereka yang paling dasar. Ketika memang biasanya tidak digaungkan di media, atau tidak diberikan forum seperti itu, mereka akan sungkan untuk mengusulkan. Kalau memang kita sesama perempuan, kita kan tau, “oh iya kebutuhannya perempuan itu semacam ini, semacam ini”. Jadi lebih bisa fokus terhadap kebutuhan perempuan itu sendiri.” Wawancara dengan staf BAPPEDA, 26 Februari 2019.
Strategi KAPAL Perempuan/KPS2K bekerjasama dengan aktor-aktor strategis dalam birokrasi juga menghasilkan perubahan nomenklatur dan prioritas yang tertuang dalam Anggaran Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten tahun 2018 guna memberikan dukungan kepada Sekolah Perempuan KAPAL Perempuan/KPS2K dan kebijakan kabupaten untuk mereplikasi Sekolah Perempuan di 10 desa lainnya. Hal ini mendapatkan dukungan lebih lanjut melalui pencantuman replikasi tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Gresik untuk periode 2016-2021.
Terlepas dari peraturan yang memungkinkan adanya ketanggapan gender dan kebijakan untuk mendukung inisiatif pemberdayaan di lapangan, namun demikian masih terdapat kelemahan dalam beberapa aspek penerapan pengarusutamaan gender di tingkat kabupaten di lembaga-lembaga sektoral, karena mereka terkadang tidak mengetahui bagaimana menerjemahkan pengarusutamaan gender dalam program dan kebijakan mereka. KAPAL Perempuan dan mitra daerahnya, KP2SK, telah menyelenggarakan pelatihan dengan beberapa lembaga untuk meningkatkan proses ini.
Beberapa kabupaten tidak memiliki lingkungan kebijakan yang kuat untuk memberdayakan perempuan, tetapi memiliki keterbukaan dan kemauan politik untuk segera mengembangkan upaya menyusul advokasi dan dukungan dari OMS dalam memberikan masukan teknis tentang bagaimana instrumen tersebut sebaiknya dirancang. Hulu Sungai Utara adalah wilayah yang relatif miskin dibandingkan dengan kabupaten penelitian lain dalam hal perkembangan ekonominya, tetapi sangat terbuka untuk berubah dan dengan cepat bekerja sama dengan OMS untuk memperbaiki lingkungan kebijakannya pada tahun 2015. Lingkungan kebijakan yang ada sebelum pertengahan 2014 (titik di mana mitra OMS mulai dapat memanfaatkan dukungan MAMPU setelah periode perencanaan program MAMPU) dan kemauan serta keterbukaan politik untuk segera memperbaiki lingkungan kebijakan untuk mendukung pemberdayaan perempuan adalah dua indikator utama tingkat kondusifitas.
Di daerah dengan lingkungan kebijakan dan kelembagaan yang cukup sulit dan sulit untuk pemberdayaan perempuan, OMS menargetkan sebagian besar upaya di tingkat kabupaten untuk memperbaiki lingkungan kebijakan dan kelembagaan, dengan pencapaian yang diraih dari waktu ke waktu di tingkat kabupaten di hampir semua lokasi penelitian kualitatif (Lihat Lampiran 5). OMS harus mengatasi resistensi yang disengaja terhadap agenda, komitmen yang terbatas dan berubah, atau prioritas politik lainnya (seperti pemilihan umum) untuk membuat kemajuan. Masalah-masalah ini menjadi salah satu dari lima tantangan utama untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan di 27 provinsi tempat OMS bekerja dengan dukungan MAMPU (lihat Tabel 4). Misalnya, pada awalnya, Lombok Timur (konteks yang cukup sulit) dan Kabupaten Pangkep (konteks yang sulit) memiliki lingkungan yang kurang kondusif bagi pemberdayaan perempuan. Namun strategi OMS yang strategis dan adaptif untuk memengaruhi konteks tersebut telah melahirkan peraturan daerah dengan cakupan yang luas baik untuk mendukung pengarusutamaan gender, atau memperkenalkan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak. Peraturan daerah ini merupakan tambahan dari peraturan yang berfokus pada isu sektoral yang juga telah diberlakukan di dua kabupaten ini dan semua daerah lain dengan tingkat kondusifitas yang sangat kondusif, cukup kondusif, dan kurang kondusif, yang ditemukan di kabupaten-kabupaten yang ada, dengan pengecualian di dua daerah dengan lingkungan yang sulit.
Di dua daerah tersulit yang diidentifikasi dalam penelitian kualitatif, Kabupaten Bangkalan dan Labuhan Batu, OMS Mitra MAMPU juga menargetkan pendekatan kolaboratif untuk mendapatkan dukungan dari pembuat keputusan kabupaten, tetapi harus bekerja lebih lambat dan bertahap untuk mendapatkan dukungan. Di kedua kabupaten, MoU telah dicapai antara lembaga kabupaten dan Mitra MAMPU, dan ketika penelitian berlangsung, meneruskan kerja mereka untuk memengaruhi penyusunan peraturan dan instrumen kebijakan baru, yang akan memberikan implikasi luas bagi pemberdayaan perempuan, terutama di tingkat desa. Namun, PEKKA (Bangkalan) dan FPL/SPI (Labuhan Batu) telah mengurutkan upaya mereka secara bertahap untuk pertama-tama menargetkan inisiatif yang lebih kecil, terutama di tingkat desa untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan menunjukkan manfaat dari inisitiaf mereka, dan perlahan memengaruhi pemimpin dan masyarakat agar lebih inklusif gender dalam pembangunan desa (lihat pembahasan lebih lanjut tentang membangun kepercayaan di bawah ini).
Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana OMS menggunakan strategi adaptif dalam pemberdayaan perempuan yang relevan dengan lingkungan tempat mereka bekerja. OMS mengadaptasi pendekatan mereka berdasarkan:
- Sejarah kerja mereka atau kerja OMS lainnya, pemimpin dan champion yang mendukung pemberdayaan perempuan di setiap daerah,
- Sejauh mana lingkungan kelembagaan dan kebijakan yang ada sudah mulai memberikan perhatian pada pemberdayaan perempuan,
- Sejauh mana keterbukaan dan kemauan para pemimpin yang berwenang untuk segera memperkuat lingkungan kebijakan—sering kali ada kemauan, tetapi sedikit pengetahuan, dan dalam contoh seperti itu OMS melengkapi kapasitas teknis para pemimpin yang berwenang tersebut untuk merumuskan peraturan baru, dan
- Mengidentifikasi tingkat yang sesuai (kabupaten atau desa) untuk mencapai kemenangan di awal sambil berusaha memengaruhi perubahan pada skala dan urutan kegiatan yang sesuai.
Dapat diamati dalam Lampiran 5, di hampir semua lokasi penelitian, kira-kira tiga tahun setelah aktivitas OMS dimulai, atau diperluas, baru terdapat indikasi di mana upaya advokasi OMS untuk memperkuat lingkungan kelembagaan dan kebijakan, dengan dukungan MAMPU, membawa perubahan signifikan dalam lingkungan kebijakan melalui pengesahan peraturan baru yang akan berkontribusi pada perubahan kelembagaan untuk mendukung tata kelola pemerintahan, alokasi anggaran, dan program yang sensitif gender. Perubahan cenderung sedikit lebih cepat untuk inisiatif yang berfokus pada isu sektoral, dan sedikit lebih lambat di kabupaten yang kurang kondusif untuk dukungan terhadap agenda pemberdayaan. Sebagian besar peraturan mulai diberlakukan antara 2017-2018, sedangkan di daerah yang cukup atau lebih kondusif, beberapa peraturan diberlakukan pada 2015-2016. Upaya-upaya yang dilakukan untuk membawa perubahan dalam lingkungan kebijakan memerlukan waktu yang lebih lama di daerah dengan konteks yang sangat sulit, di mana peraturan baru mulai disusun di tahun 2018-2019, dan ketika penelitian berlangsung prosesnya masih berjalan.
Lambatnya implementasi
Di Indonesia, setelah kebijakan (yang sering kali bersifat sangat preskriptif) diberlakukan, serangkaian pedoman pelaksanaan teknis yang sangat rinci kemudian perlu disusun di tingkat pemerintahan yang relevan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang (biasanya kepala badan pemerintah di semua tingkat). Proses ini terjadi pada perundang-undangan nasional, atau peraturan daerah yang disahkan oleh legislatif daerah (DPRD provinsi atau kabupaten) dan eksekutif di tingkat provinsi/kabupaten, atau peraturan langsung dari Bupati atau Gubernur. Peraturan dan pedoman pelaksanaan ini menguraikan tata cara bagaimana lembaga pemerintah harus merancang program, mengalokasikan sumber daya manusia dan keuangan, dan menginformasikan pegawai negeri dalam birokrasi tentang bagaimana kebijakan akan dilaksanakan. Staf lembaga sektoral di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten kemudian mengikuti peraturan ini dengan cermat untuk melaksanakan kebijakan dan program. Ini sangat penting untuk kebijakan yang menciptakan jalur bagi program agar disahkan dalam peraturan perundang-undangan dengan alokasi anggaran/sumber daya manusia.
Oleh karena itu, meskipun sebuah kebijakan telah ditetapkan melalui peraturan atau perundang-undangan, sering kali pelaksanaannya masih lambat sehingga masih ada waktu untuk menyusun peraturan pelaksanaan/juknis dan menyesuaikan dengan siklus anggaran tahunan. Lamanya waktu untuk mengembangkan instrumen kebijakan ini bergantung pada kompleksitas kebijakan baru dan sejauh mana kebijakan itu akan berdampak dan berapa banyak instansi pemerintah yang terlibat, atau apakah kebijakan itu merupakan inisiatif yang lebih kecil dengan kompleksitas yang lebih rendah yang hanya akan berdampak pada satu lembaga.
Dalam kasus ketika kebijakan yang ditetapkan melalui peraturan tidak dianggap membutuhkan pendanaan dan sumber daya manusia yang signifikan, atau sifatnya cukup khusus dan perubahan kebijakan telah direncanakan sebelumnya, biasanya kebijakan tersebut membutuhkan waktu antara 6-12 bulan setelah diratifikasi untuk diberlakukan melalui peraturan teknis, dan bahkan lebih lama lagi untuk pelaksanaannya melalui program. Jangka waktu tersebut mungkin akan berlaku terhadap kebijakan umum yang memprioritaskan, misalnya, pemberdayaan perempuan, tanpa program yang disyaratkan secara rinci, pejabat berwenang dapat sekadar menegaskan komitmen dan melanjutkan pekerjaan mereka sebagaimana biasanya, tanpa perlu melakukan perubahan signifikan dalam proses alokasi anggaran. Prosesnya kemungkinan akan memakan waktu yang sama jika ‘kebijakan’ tersebut, meskipun lebih kompleks, ditentukan oleh Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota sebagai kebijakan yang harus dilaksanakan segera—staf instansi pemerintah kemudian akan memprioritaskan pembuatan pedoman teknis pelaksanaan dan instrumen serta lobi untuk alokasi anggaran agar dapat meluncurkan program sesegera mungkin. Meskipun demikian, proses ini tidak mungkin sama dengan proses pelaksanaan program di lapangan dalam waktu kurang dari 12-18 bulan, karena perlu ada penyelarasan dengan alokasi pendanaan tahunan dalam siklus anggaran, yang dengan sendirinya merupakan proses yang perlu dinegosiasikan di antara lembaga sektoral untuk mengakses ketersediaan anggaran.
Walaupun demikian, secara keseluruhan, setelah peraturan disahkan, proses perubahan kebijakan di tingkat kabupaten yang memiliki program dan anggaran dilampirkan biasanya memakan waktu antara satu tahun hingga 18 bulan (terkadang dua atau tiga tahun) agar perubahan dapat diterapkan di lapangan kecuali jika ada perencanaan signifikan yang disusun sebelumnya. Dengan koordinasi yang baik, komitmen para pemangku kepentingan, dan perencanaan sebelumnya, proses ini dapat dipercepat hingga satu tahun (meskipun ini cenderung tidak umum terjadi di tempat penelitian) jika:
- Pra-perencanaan telah dilakukan untuk alokasi anggaran (dengan asumsi peraturan/undang-undang sudah disusun dan ada dukungan prinsip berbasis luas yang sudah ada sebelumnya dari aktor yang berwenang),
- Pedoman teknis telah disusun, dan
- Program telah dirancang (sering kali dengan dukungan OMS dalam kasus pemberdayaan perempuan) atau program memang memadai untuk ditingkatkan dan dikembangkan.
Kita dapat melihat mengapa komitmen jangka panjang diperlukan untuk membuat perubahan nyata dalam pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput Indonesia, mengingat hanya ada sedikit indikator pembuatan kebijakan dan program yang bersifat sensitif gender. Dengan advokasi yang berkelanjutan dan terus menerus dari masyarakat sipil, pergeseran lingkungan peraturan dan kelembagaan cenderung memakan waktu tiga tahun, diikuti satu hingga dua tahun untuk menetapkan program, seperti yang terlihat di Gambar 1. Itu belum termasuk waktu untuk benar-benar menyampaikan, mengevaluasi, meningkatkan, dan mulai melihat dampak inisiatif pemberdayaan di lapangan dalam skala besar. Dalam banyak hal, setelah tujuh tahun MAMPU mendukung beberapa mitra OMS-nya, baru di akhir program, dampak pemberdayaan perempuan yang sebenarnya mulai terasa kuat di kabupaten.
Di seluruh area penelitian kualitatif, perubahan kelembagaan paling cepat terjadi di area yang lebih kondusif, dan paling lambat, tetapi tetap dapat dicapai di area yang paling tidak kondusif. Di luar lokasi penelitian, di 147 kabupaten dan kota di mana OMS Mitra MAMPU didukung di 27 provinsi, perubahan signifikan telah dihasilkan di lingkungan peraturan. Tidak mengherankan, hanya terdapat sedikit peraturan disahkan sebelum 2016 dalam beberapa tahun setelah MAMPU dimulai, tetapi kemudian kami mulai melihat perubahan nyata pada pertengahan 2017. Sebagian besar peraturan pemerintah kabupaten/kota (dan bupati/walikota) serta peraturan tingkat desa yang menjadi target MAMPU di seluruh provinsi telah disahkan, sebagian besar telah disahkan pada 2018-2019, dengan lebih sedikit yang disahkan pada 2017; dan kira-kira setengahnya masih dalam proses pada akhir 2019.
Memanfaatkan dukungan kelembagaan kabupaten yang kuat untuk mengatasi tantangan di desa
Walaupun daerah seperti Kabupaten Gresik, Lombok Timur dan Lombok Tengah dianggap memiliki lingkungan tingkat kabupaten yang cukup kondusif untuk mendukung pemberdayaan perempuan gender pada awal program MAMPU—karena lingkungan kelembagaan sudah mulai memberikan setidaknya sedikit perhatian pada pemberdayaan perempuan, atau ada kemauan politik untuk melakukannya (lihat, misalnya, situasi di Kotak 29)—tetapi daerah-daerah ini masih dianggap sebagai lingkungan yang cukup sulit secara keseluruhan ketika dinamika desa diperhitungkan. Banyak desa di kabupaten ini yang tidak tertarik untuk mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan, termasuk desa penelitian ‘intervensi’ di Gresik, Lombok Timur dan Lombok Tengah dan desa penelitian ‘kontrol’ di Gresik yang tidak ada OMS aktif dan hanya memberikan sedikit saja dukungan untuk inisiatif pemberdayaan perempuan, pada saat penelitian dilaksanakan. Situasi di desa-desa di Cirebon lebih bervariasi, yang mana beberapa lebih terbuka untuk mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan dengan dukungan OMS. Di Cirebon juga, meski hanya ada sedikit indikator dukungan kabupaten pada awal program, pembuat keputusan tidak sepenuhnya tertutup terhadap gagasan tersebut. Di daerah yang sangat sulit, sangat sedikit minat dan terkadang penolakan di antara pimpinan untuk meningkatkan inklusi gender dalam pengambilan keputusan di tingkat desa dan kabupaten.
Keterbatasan keterlibatan, komitmen, atau penolakan yang disengaja terhadap agenda pemberdayaan oleh para pemimpin (pejabat pemerintah atau pemimpin sosial) di tingkat kabupaten atau desa memang merupakan salah satu dari lima masalah utama yang dihadapi oleh semua OMS Mitra MAMPU di 27 provinsi (lihat Tabel 4). OMS melaporkan 142 kejadian di mana ada penolakan yang disengaja atau penolakan langsung terhadap inisiatif pemberdayaan—tanpa melupakan bahwa struktur pemerintahan yang sangat birokratis di Indonesia menyulitkan untuk memulai program di lapangan dengan penduduk desa tanpa setidaknya adanya izin administratif dari salah satu pihak, baik dari aparat kabupaten, kota atau desa. Sekitar 66 contoh lain yang dilaporkan, di mana para pemimpin di berbagai tingkat, atau pebisnis utama (sebagai calon mitra yang bekerja dalam kondisi kerja dan hak-hak tenaga kerja) memberikan dukungan lisan atau di atas kertas tetapi kemudian tidak menindaklanjuti, mengingkari atau mengubah komitmen mereka (lihat Tabel 4). Selain itu, sulit untuk mengetahui berapa proporsi dari 118 kejadian kesulitan penjadwalan dengan aktor di berbagai tingkat yang dihadapi dalam proyek, yang merupakan bagian dari upaya mereka untuk menghindari keterlibatan dengan OMS. Dalam menghadapi penolakan atau sikap apatis, OMS dalam studi ini dan seterusnya mengejar strategi jangka panjang dalam menemukan cara untuk membangun kepercayaan dan kepentingan kepemimpinan, dan mengidentifikasi serta bekerja dengan para pendukung yang memiliki hubungan dan pengaruh dengan pembuat keputusan utama (lihat pembahasan lebih lanjut di bawah).
Perlawanan atau sikap apatis di antara para pengambil keputusan, yang tidak mengejutkan, bisa memperlambat atau membuatnya sangat sulit untuk membuat terobosan dalam memberikan dukungan kepada perempuan di lapangan. Secara keseluruhan, hampir seperempat dari kasus yang dilaporkan tentang hambatan untuk membangun pemberdayaan perempuan yang dihadapi oleh semua Mitra MAMPU di 27 provinsi (sampai Oktober 2019) diakibatkan oleh penolakan yang disengaja, komitmen yang tidak terpenuhi, atau keterlibatan minimal dari pembuat keputusan utama.
Akan tetapi, ketika ada dukungan dari pengambil keputusan kabupaten, dengan tingkat yang berbeda-beda, dan pada titik waktu yang berbeda selama berlangsungnya program, hal ini terbukti berguna bagi pendekatan OMS untuk mengakses desa dan dalam beberapa kasus untuk mengatasi penolakan. Misalnya, di desa penelitian ‘intervensi’ di Gresik yang dibahas dalam Kotak 29, di mana KAPAL Perempuan dan mitranya KPS2K melakukan inisiatif untuk mendukung perempuan desa mendirikan Sekolah Perempuan. KPS2K awalnya menghadapi penolakan dari pimpinan desa dan aktor lain untuk membentuk program dan kelompok perempuannya di desa. Beberapa tokoh desa dan anggota masyarakat menganggap Sekolah Perempuan tidak fokus secara khusus pada kegiatan ekonomi produktif dan oleh karena itu tidak menjadi prioritas. Aktor berpengaruh juga khawatir pekerjaan yang dilakukan KPS2K akan mengganggu norma sosial di mana laki-laki cenderung menjadi pengambil keputusan utama atau terlibat dalam forum pengambilan keputusan desa.
Dalam strategi adaptifnya untuk mengatasi tantangan ini, KPS2K mencari dukungan dari pengambil keputusan di tingkat kabupaten yang telah terlibat untuk mendukung kegiatan di tingkat desa. Dukungan dan izin dari pemerintah kabupaten ini, kemudian mereka gunakan untuk menekan para pengambil keputusan desa agar mengizinkan anggota Sekolah Perempuan mengikuti forum desa—akhirnya perempuan desa yang tergabung dalam Sekolah Perempuan mampu secara bersama-sama menekan pemerintah desa untuk memberikan dana dari anggaran desa untuk mendukung Sekolah Perempuan.
Proses ini juga bekerja secara terbalik seiring waktu. Menyusul keberhasilan dan popularitas Sekolah Perempuan, di Gresik, Lombok Utara, Kepulauan Pangkep, dan tempat lain, KAPAL Perempuan dan mitranya telah menggunakan keberhasilan awal dari desa tempat mereka pertama kali memulai program, untuk menekan dan mendorong pemerintah kabupaten untuk meningkatkan skala program ini ke desa lain di kabupaten. Sekolah Perempuan tersebut secara nyata memberi perempuan lebih banyak kekuatan, keterampilan dan suara, dan juga meningkatkan peluang ekonomi di banyak desa. Keberhasilan Sekolah Perempuan dianggap oleh pemerintah kabupaten sebagai model yang kuat untuk meningkatkan kesetaraan gender dan mencapai tujuan kabupaten atas pengarusutamaan gender dan pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk menganggarkan dana untuk mendukung perluasan inisiatif ke setidaknya 10 desa lain di Gresik (saat penelitian berlangsung). Di Lombok Utara, inisiatif tersebut telah direplikasi ke semua desa, dan di Kabupaten Pangkep juga telah diperluas dengan dukungan dari pemerintah kabupaten. Advokasi ini tidak dilakukan OMS sendirian—peserta desa dari beberapa Sekolah Perempuan di Gresik dan Pangkep berpartisipasi dalam upaya advokasi kabupaten untuk melobi pemerintah untuk dukungan guna menggulirkan inisiatif di desa lain.
Membangun jejaring champion: Menciptakan atau meningkatkan motivasi politik untuk menghadirkan perubahan
Para champion agenda pemberdayaan perempuan di tingkat kabupaten, terutama mereka yang menduduki posisi berpengaruh baik di legislatif maupun di eksekutif, atau yang berada dalam jejaring kekuasaan yang dekat dengan pemerintah, juga telah membantu menciptakan lingkungan kelembagaan yang lebih kondusif untuk inklusi gender dan pemberdayaan perempuan dengan mengembangkan komitmen politik di kalangan para aktor otoritatif. Hal ini pada gilirannya berinteraksi dengan cara-cara di mana perempuan dapat memengaruhi pelaksanaan UU Desa. Dalam beberapa kasus, para pendukung ini telah ada sebelum pelaksanaan inisiatif program MAMPU, dan dalam kasus lain perempuan dan OMS (terkadang bersama-sama, terkadang terpisah dan terkadang pada tingkat yang berbeda) membantu menciptakan jejaring pendukung.
Dalam banyak kasus di tempat penelitian, champion di tingkat kabupaten (dan provinsi) membantu mengumpulkan dukungan politik-ekonomi untuk peraturan, kebijakan, program, anggaran sektoral dan perubahan lain dalam lingkungan kelembagaan yang mendukung pemberdayaan perempuan. Artinya, mengingat pengaruh dan jangkauan yang mereka miliki, mereka sangat membantu untuk membangun dukungan politik dan publik bagi aksi kolektif perempuan untuk mengatasi masalah yang dimaksud. Dukungan dari para champion tersebut merupakan bagian dari proses aksi kolektif berjejaring perempuan yang lebih luas, di mana perempuan desa, OMS dan tokoh otoritatif bekerja sama untuk menciptakan perubahan, seperti yang diuraikan dalam Bab 5. Kami memaparkan di Bab 5 bahwa aksi kolektif berjejaring merupakan bentuk aksi kolektif perempuan yang penting dan lazim di sebagian besar wilayah penelitian, khususnya dalam konteks yang sulit.
Misalnya, di Lombok Tengah, Panca Karsa awalnya mendekati Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) untuk meminta dukungan peraturan yang dapat melindungi pekerja migran, tetapi hal ini ditolak. Kemudian mereka beralih ke seorang pejabat pemerintah, Asisten Pertama Sekretaris Kabupaten, yang telah menunjukkan perhatian khusus pada masalah pekerja migran (Lihat Bab 3). Migrant CARE, Panca Karsa dan perempuan dari desa penelitian melobi tokoh ini (champion) untuk mendukung perjuangan mereka. Asisten Pertama Sekretaris, karena pengalaman pribadi yang ia miliki, menjadi champion dalam upaya mewujudkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi pekerja migran, dan melobi pejabat pemerintah lain untuk mendukung upaya tersebut. Migrant CARE dan Panca Karsa kemudian mendukung DPRD untuk mengembangkan peraturan baru. Kondisi ini menggambarkan bagaimana mengumpulkan dukungan politik untuk inklusi gender secara lebih luas membantu menciptakan konteks yang kondusif dengan mengurangi hambatan untuk mendukung perempuan di lapangan.
Oleh karena itu, salah satu strategi kunci program BaKTI adalah membangun jejaring champion melalui program Reses Partisipatif yang dijelaskan di atas dalam Kotak 28. Di Pangkep, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) juga menjadi champion pengarusutamaan gender. Beliau menyediakan tempat khusus untuk mengkoordinasikan kegiatan dan mencari dana untuk kegiatan lintas instansi.
“Peran kita di Bappeda itu ada satu ruangan yang kita siapkan untuk semua program NGO di Bappeda, termasuk untuk program MAMPU, Oxfam, KOMPAK, ada juga HKI Helen Keller. Kita juga memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk berkoordinasi, atau panggil dinas-dinas terkait, karena memang fungsinya Bappeda itu fungsi koordinasi dengan dinas-dinas. Jadi setidaknya kalau ada kepentingan, ada urusan misalnya, perlunya dihadirkan dinas-dinas yang lain, dengan adanya ruang di Bappeda dipersiapkan itu kan, lebih memudahkan koordinasi komunikasi dengan dinas-dinas yang lain. Termasuk juga kita persilahkan memanfaatkan empat kelompok temuan di Bappeda. Artinya, bahwa keberhasilan kan tidak pernah pergi sendiri, pasti banyak faktor yang memengaruhi sehingga kita berharap program yang ada, berkoordinasi, kolaborasi dengan yang lain, termasuk juga dari APBD, termasuk juga dari sumbangan-sumbangan lainnya.” Kepala Bappeda Pangkep, 19 Februari 2019.
Di Kabupaten Tanggamus, DAMAR mereplikasi strategi konsorsium PERMAMPU yang lebih luas dalam memetakan aktor berpengaruh di provinsi dan kabupaten. Jejaring mitra di seluruh Provinsi Lampung, dan Kabupaten Tanggamus digerakkan untuk mengidentifikasi aktor-aktor kunci yang akan diundang untuk berpartisipasi dalam Forum Multi-Stakeholder, yakni forum multi-pihak regional yang terbentuk, yang kemudian menjadi sumber pengaruh penting untuk meningkatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan dalam kebijakan dan program pemerintah dan non-pemerintah (lihat Kotak 30).
Kotak 30: Forum Multi-Stakeholder (FMS) yang dibentuk OMS di Lampung dan Tanggamus
Saat penelitian berlangsung, DAMAR dan FAKTA sama-sama telah membina hubungan baik dengan instansi pemerintah di tingkat kabupaten, khususnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Untuk memanfaatkan hubungan ini, FAKTA-DAMAR membentuk FMS di Tanggamus, mengundang berbagai kantor pemerintah untuk berpartisipasi, yang sebelumnya diidentifikasi dalam pemetaan sosial DAMAR.
FMS dibentuk untuk menghimpun aspirasi dan inisiatif dari pimpinan pemerintah daerah, sehingga mereka dapat menjadi champion dan lebih mungkin bekerjasama dengan DAMAR dalam pendidikan dan layanan terkait isu hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Forum ini juga memberikan kesempatan kepada DAMAR untuk memperkenalkan program mereka, dan mendapatkan dukungan dari Kepala Desa yang menjadi sasaran intervensi. Kepala desa penelitian, misalnya, memberikan dukungan karena memiliki kesamaan visi dan misi dengan DAMAR.
“Saya baru datang di undangan DAMAR yang kedua. Karena saya agak kurang tertarik dengan yang namanya LSM. LSM di sini dengan di Jawa beda, LSM di sini LSM cari duit. Tapi begitu saya datang di acaranya DAMAR kok berbeda. Pembawa materinya, pembicaranya, kemudian narasumbernya, orangnya bagus-bagus dengan latar belakang pendidikan yang jelas dan tahu betul apa yang disampaikan. Rupanya penanganan khusus perempuan, artinya cocok dengan hati saya.” Mantan Kepala Desa, desa penelitian di Lampung, 7 Juli 2019.
Beberapa tokoh berpengaruh dengan kewenangan pembuatan kebijakan juga berasal dari OMS yang kemudian bergabung dengan pemerintahan. Hal ini terjadi di Nusa Tenggara Timur di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), ketika salah satu perempuan yang sangat terlibat dalam gerakan perempuan di daerah terpilih menjadi anggota DPRD, yang kita lihat dalam studi kasus Cerita Perubahan di TTU di Bab 4. Pemilihannya membantu mempromosikan isu-isu yang menjadi perhatian utama perempuan di daerah dan dia mampu melakukan advokasi pertama melalui fraksi partainya sendiri, dan kemudian kepada aktor lain di birokrasi dan legislatif tentang pentingnya memberi prioritas perhatian bagi perempuan di daerah.
“Maka dari itu, saya mencoba menjadi corong untuk memengaruhi semua fraksi lewat hubungan personal. Dan kemudian membuat event [di kantor DPRD], untuk mengumpulkan mereka semua dan teman-teman LSM perempuan untuk membahas Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Kemudian bersama dengan YABIKU kami atur strategi karena ini menjadi mimpi masyarakat TTU terutama perempuan yang peduli terhadap korban kekerasan, lembaga-lembaga NGO yang ada di sini kami kemudian mengumpulkan kekuatan itu datang ke DPR, audiensi dengan DPR, dan minta ke DPR untuk segera membentuk Perda itu.” Mantan Anggota DPRD TTU, 26 Juni 2019.
Hal ini membantu memperlancar jalur pengesahan beberapa Peraturan Daerah tentang pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Mantan anggota DPRD TTU tersebut menggunakan jejaring interpersonalnya dengan para pemimpin kunci di pemerintah kabupaten untuk memperkuat dukungan terhadap peraturan dan program baru dan untuk menjalin kolaborasi antara pemerintah dan OMS.
Namun jika upaya advokasi hanya bergantung pada champion saja—tanpa koalisi, aktor, dan lembaga pendukung lainnya—ketika champion tersebut kehilangan pengaruhnya, terdapat risiko bahwa kemajuan yang dibuat sebelumnya akan terhenti. Misalnya, jika seorang champion kehilangan kursi di parlemen dan upaya mereka sebelumnya belum mengakar dalam kebijakan, praktik kelembagaan, dan kerangka peraturan, mungkin tidak akan ada perubahan yang bertahan lama. Hal ini menjadi risiko di TTU karena mantan ketua OMS YABIKU kehilangan kursinya di DPRD dan kembali bekerja di OMS. Seorang anggota staf YABIKU menjelaskan:
“Satu keuntungan. Ketika orang kita, kan dipakai orang kita, karena memang tidak semua perempuan, tidak semua orang paham tentang kondisi perempuan. Ya ketika Yohana masuk di DPR, sangat membantu. Bukan hanya Yabiku, tapi membantu termasuk di OPD-OPD terkait yang ada. Beririsan dengan urusan perempuan dan anak. Sangat terbantu. Sehingga kemaren tidak kepilih kami rasa, aduh kalau soal kebijakan kita sudah kesulitan. Siapa yang mau bantu?” Anggota staf YABIKU, 26 Juni 2019.
Para narasumber melihat bahwa kembalinya mantan anggota DPRD ini ke OMS bermanfaat bagi organisasi dan penting untuk memperkuat pekerjaan akar rumput mereka mengingat peran kepemimpinannya yang kuat dalam organisasi. Beberapa Peraturan Desa yang dikembangkan sebagai hasil dari aksi kolektif perempuan di desa penelitian belum disahkan pada waktu penelitian berlangsung karena lebih sedikitnya tekanan dari kabupaten untuk terus bekerja memperkuat regulasi agar lebih melindungi korban KDRT. Kembalinya dia ke organisasi dipandang sebagai langkah positif untuk melanjutkan agenda ini.
Menemukan champion, dan bekerja di kedua tingkat, sering kali dengan pemerintah dan aktor lain untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana memperbaiki kebijakan dan program, juga memungkinkan OMS untuk meningkatkan hubungan mereka dengan pemerintah dan aktor lain, serta juga terhadap champion di satu tingkat untuk melibatkan tokoh yang menentang di tingkat lain.
Menggunakan wacana dan menyesuaikan prioritas: Menyusun agenda agar selaras dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan desa/kabupaten lainnya
Seperti diperkenalkan untuk pertama kali dalam Bab 3, sejauh mana upaya advokasi dan aksi kolektif yang dilakukan oleh OMS Mitra MAMPU dapat memengaruhi pembuat kebijakan di kabupaten dan provinsi, sebagian bergantung pada apakah fokus isu-isu ini sudah dianggap sebagai masalah prioritas untuk perbaikan di kabupaten sebelum mitra-mitra ini memulai atau memperluas program mereka. Dalam situasi di mana pimpinan kabupaten telah mengidentifikasi masalah yang serupa sebagai kebijakan atau prioritas pendanaan yang menjadi perhatian OMS perempuan, atau ketika masalah tersebut sudah secara diskursif dimasukkan ke dalam debat publik sebagai salah satu kepentingan publik (seperti perlindungan bagi pekerja migran yang berisiko dieksploitasi di luar negeri atau menghadapi tantangan saat kembali ke Indonesia), lebih mudah bagi OMS dan kelompok perempuan untuk mendapatkan dukungan luas atas upaya advokasi mereka. Hal ini terlihat bahkan di lingkungan yang paling menantang. Tindakan untuk mengatasi tantangan tersebut juga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki efek yang bertahan lama, bahkan setelah upaya kolektif jangka pendek untuk memperbaiki situasi perempuan yang rentan.
Hal yang penting dalam proses ini adalah cara OMS menyusun proyek dan intervensi mereka di desa dan kabupaten dalam strategi keterlibatan awal mereka dengan aktor berpengaruh, sehingga dapat menggambarkan derajat keselarasan dengan kepentingan politik dan prioritas kebijakan kabupaten, bahkan jika agenda mereka lebih luas atau berbeda dengan aktor-aktor politik berpengaruh tersebut. Bagaimana program digambarkan secara diskursif kemudian membentuk bagaimana OMS dipersepsikan oleh aktor-aktor berpengaruh. Hal ini berimplikasi pada dukungan kabupaten (dan izin administratif) bagi OMS tersebut untuk memulai atau melanjutkan kegiatan di desa, terutama pada masalah sosial yang sulit seperti kekerasan dalam rumah tangga dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Hal ini sama pentingnya di tingkat desa seperti di tingkat kabupaten, terutama di tempat-tempat dengan sedikit sejarah dalam mendukung inisiatif pemberdayaan dan inklusi gender. OMS paling berhasil jika mereka dapat membingkai pekerjaan mereka agar sejalan dengan kepentingan ekonomi dan kepentingan lain yang sudah menjadi prioritas desa dan kabupaten.
Misalnya, dalam membantu perempuan kepala keluarga, PEKKA biasanya berupaya untuk meluncurkan program KLIK (Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi) di sebagian besar desa tempatnya bekerja. Seperti yang kita lihat dalam Cerita Perubahan Bangkalan, KLIK membantu masyarakat memperoleh dokumen kependudukan penting, seperti akta kelahiran dan nikah, serta KTP dan Kartu Keluarga, yang merupakan dokumen penting untuk mengakses layanan pemerintah. Namun upaya ini belum tentu merupakan cara PEKKA mendapatkan dukungan untuk program-programnya pada awalnya. Saat penelitian berlangsung, salah satu tantangan utama pemerintah kabupaten dan desa penelitian di Hulu Sungai Utara adalah terbatasnya peluang mata pencaharian, khususnya bagi desa miskin. Masalah ini paling sering terjadi di desa penelitian yang penduduknya banyak gagal menjalankan usaha-usaha mikro (seperti kios dan produksi makanan ringan) dan hanya ada sedikit peluang mata pencaharian.
Oleh karena itu, ketika PEKKA mendekati tokoh-tokoh di tingkat kabupaten dan desa di Hulu Sungai Utara, PEKKA membingkai sebagian besar keterlibatannya sebagai dukungan bagi diversifikasi mata pencaharian bagi perempuan, meskipun dengan fokus yang berkelanjutan pada perempuan kepala keluarga, tetapi juga secara lebih luas. Karena perempuan membutuhkan modal usaha, PEKKA membantu perempuan desa dan pemerintah desa untuk membentuk kelompok koperasi kecil dan berinisiatif mendukung pemerintah desa untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Anggota Serikat Pekka desa mengikuti pelatihan BUMDes di Jakarta, dan pemerintah desa melibatkan mereka dalam semua pelatihan di tingkat kabupaten, yang juga diikuti oleh Kepala Desa. Hal ini dapat diamati dalam Cerita Perubahan yang dirangkum dalam Kotak 31 di bawah ini.
Kotak 31: Cerita Perubahan di Hulu Sungai Utara—Studi Kasus Dukungan PEKKA untuk Perempuan Desa dan Pendirian BUMDes
Perempuan di Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan bekerja bersama untuk memberdayakan diri secara ekonomi dan mengadvokasi perubahan agar pemerintahan desa lebih inklusif. Di desa yang kekurangan sumber daya alam ini, perempuan memiliki mata pencaharian dan peluang pengembangan diri yang terbatas, dan secara historis tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang pembangunan desa. Kedatangan PEKKA dan kelompok perempuan yang dibentuknya—Serikat Pekka dalam bentuk kelompok simpan pinjam–telah memberikan harapan dan pilihan baru bagi perempuan yang menghadapi tantangan ekonomi yang berat.
Kegiatan pemberdayaan ekonomi menjadi pintu masuk pengorganisasian perempuan desa di desa penelitian di Hulu Sungai Utara. PEKKA mendorong perempuan untuk membentuk kelompok simpan pinjam yang disebut Kelompok Papadaan. Kelompok ini telah memberikan kesempatan kepada perempuan desa, terutama perempuan kepala keluarga (seperti janda), untuk mengakses pinjaman dan mendapatkan pelatihan usaha agar mereka dapat memperoleh penghasilan mandiri. Terlebih lagi, kelompok ini telah menjadi sarana partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pembangunan desa.
Karena popularitas kelompok simpan pinjam ini, perempuan yang sudah menikah juga menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok tersebut dan kegiatannya. Pekka merespon secara fleksibel dengan semangat inklusif, membentuk kategori keanggotaan baru yang disebut anggota PEKKA “luar biasa” untuk menampung para perempuan ini. Para perempuan yang sudah menikah dan berkontribusi pada ekonomi keluarganya kemudian membentuk kelompok lain yang dikenal sebagai kelompok Setia Kawan. Seperti yang dijelaskan Farah, ketua kelompok Setia Kawan, simpanan kelompok menjadi salah satu daya tarik bagi anggota baru.
“Saya bilang kita enak, kalau kita sudah aktif kita nabung tiap bulan, kita kalau kekurangan uang mau membuat potong padi, bisa kita pinjam, terus kalau ada keperluan penting banget, bisa pinjam. Kalau kita gak minjam, nanti uangnya bisa kita buat untuk membantu teman. Kalau kita ga pinjam uang, dikelompok, kita membantu teman untuk mendapat pahala. Dia langsung tertarik.” Farah, desa penelitian di Hulu Sungai Utara, 13 Juli 2019.
Dengan bergabung dengan kedua kelompok perempuan ini, perempuan di desa telah membangun keterampilan praktis, berorganisasi, dan memberikan pengaruh, serta sekarang memiliki kepercayaan diri untuk meningkatkan partisipasi mereka di ruang publik, berinteraksi dengan lembaga publik, dan semakin diberdayakan secara ekonomi. Dalam pertemuan kelompok yang teratur, perempuan berlatih berbicara di depan umum dan juga belajar berbagai keterampilan lain yang lebih nyata. Dengan mengikuti Akademi Paradigta PEKKA, beberapa perempuan juga belajar tentang sistem pemerintahan, proses anggaran desa, dan strategi advokasi untuk menyuarakan kebutuhan kebijakan perempuan di desanya. Mereka juga telah membangun jejaring dengan perempuan lain, dan dengan aktor desa berpengaruh serta pemimpin lainnya.
“Ya tentang ditingkatkan kesetaraan perempuan, babinian [perempuan] harus setara. Sama-sama, ya agar tidak diremehkan, babinian [perempuan] kan sering diremehkan.” Rina, desa penelitian Hulu Sungai Utara, 16 Juli 2019.
Kelompok perempuan seperti ini, dengan dukungan PEKKA, telah membuat perubahan yang signifikan. Perempuan dari kelompok Pekka desa memprakarsai pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mengembangkan perekonomian desa, yang disahkan melalui Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2015. Untuk menyusun Peraturan Desa, perempuan desa di Hulu Sungai Utara bekerja sama dengan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan desa telah meningkatkan dana yang dialokasikan anggaran desa untuk program dan kegiatan perempuan dan memastikan representasi politik perempuan dalam pertemuan desa. Melalui keterlibatan mereka dalam Musdes, perempuan berhasil mengajukan usulan alokasi Dana Desa untuk pemenuhan berbagai kebutuhan mereka, seperti pengadaan alat kesehatan dan kesenian, serta untuk kegiatan Posyandu. Keikutsertaan perempuan dalam musyawarah desa juga diatur dalam Keputusan Camat Nomor 5 Tahun 2019 tentang Keterlibatan Perwakilan Organisasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
“Kalau sekarang ini kita langsung mengusulkan. [Kita bilang sama Kepala Desa] ‘Pak kami perempuan ini mau mengusulkan ini’. Yang pertama kami usulkan itu alat-alat kesehatan tahun 2016.” Aminah, desa penelitian Hulu Sungai Utara, 15 Juli 2019.
Anggota kelompok perempuan Pekka juga membantu anggota masyarakat untuk mengajukan dokumen identitas sehingga mereka dapat mengakses program perlindungan sosial pemerintah melalui Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK) PEKKA. Klinik ini menyediakan layanan informasi dan konsultasi untuk isu-isu tentang identitas hukum, masalah perkawinan dan rumah tangga, dan akses ke dukungan yang disediakan pemerintah untuk perlindungan sosial.
Di desa penelitian Hulu Sungai Utara, kegiatan pemberdayaan ekonomi menjadi strategi yang efektif dalam mendorong perempuan pedesaan untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif perempuan. Perempuan di Hulu Sungai Utara telah mengembangkan kapasitas ekonomi dan politik mereka dan memperkuat peran mereka dalam pengembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah desa.
Mendukung pengembangan BUMDes selaras dengan prioritas UU Desa yang lebih luas di desa penelitian Hulu Sungai Utara yang disebutkan dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 dan prioritas kabupaten, serta terbukti populer di kalangan pemerintah desa dan perempuan.
Namun di desa penelitian di Bangkalan, tempat PEKKA juga mendukung perempuan desa, pemerintah desa pada awalnya menolak inisiatif baru apapun, tetapi terutama yang mungkin memengaruhi anggaran desa atau prioritas desa. Opsi seperti BUMDes atau inisiatif lain yang mungkin membutuhkan pendanaan desa pada awalnya tidak memungkinkan. Sebaliknya, PEKKA menyoroti manfaat program KLIK bagi pemerintah desa dalam hal popularitasnya di kalangan penduduk desa dan manfaat politik dan lainnya (lebih banyak akses bagi penduduk desa ke program perlindungan sosial pemerintah, melalui meningkatnya kejelasan identitas mereka sebagai warga negara) yang mungkin mengalir dari program tersebut. Seperti yang kita lihat di Bab 4, inisiatif ini terbukti populer di kalangan pemerintah desa dan penduduk desa dan penting untuk membangun kepercayaan dalam kegiatannya. Akhirnya, kelompok perempuan berpartisipasi dalam pertemuan dengan pemerintah desa dan melobi untuk penyusunan Peraturan Desa tentang Itsbat Nikah. Dengan alokasi yang kecil dari anggaran desa, warga desa yang lebih miskin kini mendapatkan dukungan dari desa untuk akta nikah pro bono.
Membangun kepercayaan: Menyusun urutan kegiatan untuk mulai memberikan dukungan
Mengetahui siapa tokoh berpengaruh, dan bagaimana melibatkan mereka, termasuk tokoh-tokoh yang menolak agenda, atau bagaimana menjangkau tokoh-tokoh ini dan memengaruhi pandangan mereka, adalah kunci untuk mengembangkan hubungan sebelum menempuh jalur yang lebih formal, dan terutama di daerah yang belum pernah didukung OMS sebelumnya. Di tempat penelitian, proses ini memerlukan penyusunan urutan kegiatan secara hati-hati dan bertahap—terutama di tingkat desa agar dapat menyesuaikan dengan konteks lokal—untuk mendapatkan kepercayaan dari para pemimpin yang berpengaruh dan penduduk desa. Dalam konteks yang menantang misalnya, OMS tidak memulai dengan advokasi untuk perubahan kebijakan atau untuk mendanai aksi kolektif perempuan, melainkan dengan kegiatan membangun kepercayaan. Urutan kegiatan secara cermat yang digunakan PEKKA untuk mengakses dan membangun kepercayaan di desa penelitian di Bangkalan dan di Hulu Sungai Utara dapat diamati dalam pembahasan sebelumnya.
Di Hulu Sungai Utara, staf cabang PEKKA pertama kali menghadiri forum di kecamatan yang melibatkan Kepala Desa. Sebelumnya, PEKKA melakukan pendekatan ke pemerintah kecamatan untuk mendapatkan informasi tentang jadwal pertemuan. Melalui forum tersebut, PEKKA memberikan informasi tentang program-programnya kepada Kepala Desa yang hadir dan mendapat respon yang positif. Kedua, PEKKA mendekati setiap pemerintah desa di kecamatan, dan mengunjungi masing-masing dari enam desa tempat mereka bekerja. Ketiga, staf cabang PEKKA juga menghadiri pengajian di desa untuk mengenal warga desa secara informal. Melalui kegiatan keagamaan tersebut, PEKKA mulai mengenalkan programnya kepada warga desa dengan berbagi informasi.
Ketika PEKKA masuk ke desa dengan program yang lebih formal, PEKKA melakukannya melalui pemerintah desa dan lembaga-lembaga, termasuk kelompok tani yang memiliki anggota perempuan yang aktif. Hal ini sangat membantu kelancaran masuknya OMS ke desa. PEKKA juga membuktikan dirinya dapat beradaptasi dengan konteks spesifik yang ditemuinya. Dalam beberapa konteks, perempuan ingin bergabung, tetapi tidak memenuhi kriteria sebagai kepala keluarga. Oleh karena itu, PEKKA menambahkan kategori keanggotaan tambahan (anggota ‘luar biasa’) untuk memungkinkan para perempuan ini bergabung.
Seiring waktu PEKKA kemudian dapat melakukan kegiatan yang lebih konkret dan bekerja dengan kelompok perempuan dalam berbagai kapasitas (termasuk melakukan banyak langkah awal untuk mendirikan BUMDes), dan membantu mereka mendiversifikasi keanggotaan mereka dengan melibatkan perempuan lain, termasuk perempuan kepala keluarga. Melalui cara ini, PEKKA meningkatkan jumlah anggota Serikat Pekka dan banyak perempuan desa yang memiliki pengaruh di forum desa dan kabupaten.
Di Bangkalan, sebuah kabupaten yang ditandai dengan struktur keluarga patriarki yang sangat kuat, dukungan dari individu dan lembaga yang berpengaruh sangat penting sebelum PEKKA masuk ke desa. PEKKA memulai dengan memetakan aktor-aktor terpenting di desa (lihat pembahasan lebih lanjut di bawah) dan berdasarkan ini, PEKKA melakukan pendekatan pada Kepala Desa dan Dusun, serta perempuan berpengaruh yang memiliki hubungan dengan pemimpin. Melalui pendekatan kepada para pelaku tersebut, pihaknya memperoleh izin untuk melakukan kegiatan di desa tersebut. Saat memasuki desa, PEKKA mengatur dokumen identitas bagi para pemimpin ini, yang merupakan strategi penting untuk mendapatkan lebih banyak dukungan dari para pemimpin dan untuk meyakinkan penduduk.
“Awalnya ya Pak Mukti sendiri yang daftar pertama, bikin itsbat, bikin surat nikah, terus [setelah Mukti mendaftarkan diri] yang daftar langsung 13 orang. [Setelah] suratnya jadi dan terbukti lah di masyarakat. Nah responnya Pak Klebun [Pak Kades], baik. ‘Kalau memang ada seperti itu ya saya bangga, itu bisa membantu saya‘, kata Pak Klebun, ‘itu kan salah saya, salah orang tua saya, tidak membuatkan surat, karena persoalan dulu banyak pernikahan dini itu.’” Ati, desa penelitian di Bangkalan, 20 Februari 2019.
Mengurutkan kegiatan untuk masuk ke desa dan membangun kepercayaan dalam konteks yang sangat sulit sama pentingnya dalam konteks yang lebih kondusif seperti yang diilustrasikan dalam contoh di atas di Hulu Sungai Utara (daerah yang lebih kondusif) dan Bangkalan (daerah yang sangat sulit). Pemetaan dan pengurutan (akses informal kemudian formal) adalah strategi umum yang digunakan di banyak lokasi penelitian, termasuk dalam konteks yang lebih kondusif, seperti di Kabupaten Tanggamus.
“Untuk melakukan menjadikan suatu wilayah sebagai wilayah intervensi DAMAR, selama ini kita menggunakan jalur informal dulu baru ke formal. Kita butuh orang lokal yang bisa memetakan key person. Misalkan John kenal dengan siapa gitu, DAMAR akan melalui John untuk minta tolong untuk dibantu bertemu dengan aktor tersebut. Baru setelah dibukakan pintu, kita masuk dengan prosedur formal.” Pemimpin DAMAR, 18 Juli 2019.
“Siapapun yang memiliki kekuatan pengambilan keputusan, itulah yang kami dekati. Di tingkat kecamatan biasanya Camat, atau tokoh masyarakat yang kita libatkan [untuk lobi], atau pemuka agama. Mereka melobi Bupati, lalu DPRD, terutama yang ada di daerah pemilihan kita. Setiap anggota memiliki daerah pemilihannya sendiri, jadi kami mendekati wakil daerah pemilihan kami, dan berbicara dengan mereka tentang masalah kami secara intensif.” Fasilitator masyarakat, Tanggamus, 12 Juli 2019.
Pemetaan sosial di desa
Langkah penting pertama bagi OMS yang mampu secara efektif menavigasi konteks yang berbeda, terutama konteks yang sangat sulit, adalah melakukan pemetaan sosial. Banyak OMS, sering kali dengan dukungan MAMPU dan dengan perempuan desa, melakukan pemetaan ekstensif di desa-desa sebelum melakukan kegiatan baru apa pun, terutama yang akan menantang norma-norma sosial. Ini dianggap penting untuk memastikan dukungan pada masa depan bagi perempuan desa selaras dengan kebutuhan mereka. Hal ini juga penting untuk menyesuaikan kegiatan dan pendekatan yang sesuai dengan konteks sosial desa yang beragam, kapasitas kelembagaan pemerintah, dan sifat kelompok dan hubungan sosial di desa dengan cara yang peka terhadap gender atau norma sosial di setiap tempat (khususnya terkait dengan masalah sektoral yang mereka alami, seperti kekerasan dalam rumah tangga). Lebih lanjut, memahami lingkungan sosial sangat membantu untuk merancang intervensi dengan cara yang dapat mengarahkan dinamika kekuatan desa dan menghindari resistensi terhadap kegiatan kelompok perempuan, partisipasi perempuan dalam struktur pemerintahan atau forum publik lainnya, dan agenda inklusi gender yang lebih luas, seperti contoh yang disebutkan atas.
Melalui pemetaan sosial, yang sering dilakukan bersama dengan atau oleh perempuan desa, mitra OMS dalam berbagai tingkatan berusaha untuk memahami:
- Struktur sosial-demografis desa, jejaring sosial yang ada, dan hubungan kekuasaan yang ada untuk mengidentifikasi pintu masuk, pendukung potensial untuk inisiatif baru, potensi hambatan dan aktor yang mungkin menolak inisiatif baru,
- Prioritas dan kebutuhan perempuan di desa dan masalah utama yang dihadapi perempuan,
- Budaya, norma sosial dan keragaman setempat, khususnya yang berkaitan dengan norma gender,
- Kelompok perempuan yang ada dan bentuk organisasi dan apakah mewakili keragaman perempuan di desa,
- Keadaan dalam hal kesadaran gender, sikap terhadap peran gender, dan pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab gender,
- Pengetahuan dan kapasitas pemimpin yang ada untuk memajukan pemberdayaan perempuan.
Tidak semua OMS atau kelompok perempuan memetakan setiap aspek dari daftar tersebut di atas, dan tidak selalu dalam bentuk tertulis dan terstruktur. Namun pengetahuan tentang karakteristik lingkungan desa ini penting bagi OMS untuk mengembangkan strategi dan kegiatannya. Terutama dalam konteks desa dan kabupaten yang sangat sulit, informasi ini membantu OMS menyesuaikan strategi untuk mendapatkan akses lalu mendukung perempuan desa di setiap daerah, juga menyesuaikan sifat dan keanggotaan kelompok yang dibentuk atau diperkuat, melakukan kegiatan, membangun aliansi, dan menetapkan cara untuk melibatkan perempuan desa, pemerintah desa, tokoh-tokoh lain dan anggota masyarakat, terutama yang resisten terhadap agenda pemberdayaan perempuan.
Di desa penelitian di Lombok Tengah, misalnya, Panca Karsa/Migrant CARE dan para perempuan desa menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk mengumpulkan data pada tahun 2013 untuk merancang inisiatif secara hati-hati guna memberikan dukungan kepada desa. Sementara itu, dalam mereplikasi inisiatif DESBUMI dalam programnya sendiri, narasumber menjelaskan bahwa waktu yang dialokasikan oleh Kementerian Transmigrasi yaitu kurang dari seminggu untuk melakukan proses pemetaan sosial serupa di tempat lain. Perempuan desa bersama Panca Karsa juga menggunakan strategi pemetaan sosialnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat di desa tentang nasib buruh migran. Pemetaan dilakukan melalui survei terhadap 800 mantan pekerja migran. Dalam survei tersebut, para responden ditanya tentang pengalaman, kebutuhan dan masalah mereka. Survei tersebut memberikan alat untuk meyakinkan para pejabat dan masyarakat di desa tentang masalah serius akibat migrasi yang tidak berdokumen. Panca Karsa kemudian mengkomunikasikan hasil survei tersebut dengan mengadakan pertemuan di kantor desa, dan mengunjungi warga dari dusun ke dusun, serta dari pintu ke pintu, untuk membagikan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Survei tersebut membantu perempuan desa dan Panca Karsa untuk mendapatkan dukungan dari Kepala Desa atas program tersebut.
“Yang membuat saya tertarik ya? Kasihan. Ya karena mereka ini dikirim ilegal sampe tempat tujuan terkatung-katung kalau dia mendapat musibah di sana pemerintah kadang-kadang tahu kadang-kadang ndak. Setelah bermasalah besar baru kemudian pemerintah tahu dan kadang-kadang kita nda tahu siapa yang ngirim siapa yang ya gitu-gitu lah. Kemudian ngga ada seolah-olah kurang begitu serius pemerintah karena dasarnya nda tahu di mana dia berada.” Mantan Kepala Desa, 7 Juli 2019.
Memanfaatkan jejaring sosial desa secara strategis
Pemetaan sosial juga penting untuk memahami jejaring sosial desa, norma gender, dan kendala lain pada kekuasaan dan pengaruh perempuan. Di bawah ini kami berikan beberapa ilustrasi jejaring sosial di desa. Peta jejaring sosial, di satu sisi, mewakili jejaring sosial desa ‘elit’ tetapi juga menunjukkan hubungan kelompok-kelompok perempuan. Peta-peta ini dikembangkan secara kualitatif melalui pengamatan selama masa tinggal desa yang panjang. Peneliti mengidentifikasi tokoh-tokoh berpengaruh dan berwenang dalam kehidupan desa (secara sosial, ekonomi, agama, suku, pemerintahan dan lainnya), termasuk perempuan desa atau fasilitator kelompok, yang sering disebut dalam wawancara, dan/atau terbukti menonjol dalam studi kasus Cerita Perubahan desa atau kisah perjalanan hidup perempuan. Peta jejaring sosial menunjukkan hubungan kekeluargaan dan pertemanan yang asosiasional dan interpersonal—melalui, misalnya, keluarga, teman atau hubungan sosial, dan melalui hubungan agama, adat, etnis, ekonomi atau pemerintah—antara tokoh-tokoh berpengaruh yang diidentifikasi dalam penelitian, termasuk dengan pejabat pemerintah dan tokoh otoritatif. Aktor pemerintah tersebut aktif dalam pemerintahan desa atau memiliki kewenangan yang signifikan (seperti Kepala Desa, ketua Badan Permusyawaratan Desa, atau aparat pemerintah). Kami menunjukkan bagaimana kelompok perempuan (di daerah mereka berada) dan pemimpin perempuan terhubung dengan tokoh-tokoh kunci ini, yang penting untuk meningkatkan dukungan untuk aksi kolektif perempuan yang dijelaskan di Bab 5.
Hal ini dapat terlihat jika membandingkan jejaring antara elit di desa ‘kontrol’ di Gresik (tidak ada OMS) dan di desa ‘intervensi’ Gresik (KPS2K/KAPAL Perempuan hadir mendukung perempuan desa untuk membentuk kelompok Sekolah Perempuan) pada Gambar 28 berikut. Perlu diperhatikan bahwa ukuran lingkaran pada gambar ini tidak serta merta mewakili besar atau kecilnya pengaruh aktor/kolektivitas aktor tertentu.
Di lokasi ‘kontrol’ di Gresik, terdapat keterbatasan dalam keragaman hubungan asosiasi yang terorganisir diantara aktor dan dengan otoritas pemerintah, selain beberapa organisasi korporatis negara seperti Posyandu, Taman Kanak-Kanak, dan PKK yang tidak cukup aktif. Sebagian besar jejaring terkonsentrasi di sekitar Kepala Desa (lingkaran merah) dan aktor korporasi negara dan pemerintah desa (biru pucat), dan cenderung lebih banyak terkait dengan hubungan kerja atau ikatan keluarga. Pengaruh OMS (merah muda) hanya sedikit. Di desa ini, terdapat resistensi kuat dari Kepala Desa dan pemerintah terhadap inisiatif baru untuk pemberdayaan dan terhadap pengaruh luar sebagaimana dibahas di Bab 3, dan hal ini terbukti dengan ilustrasi di peta yang menunjukkan tidak adanya aktor yang terkait dengan kelompok perempuan korporatis non-negara (aktor yang ditunjukkan peta hanya mewakili sebagian besar anggota PKK) atau OMS (merah muda). Jika di masa depan terdapat program-program baru dalam bentuk apa pun yang memasuki desa ini dan kemungkinan berpengaruh pada struktur kekuasaan, program-program ini perlu menavigasi jejaring erat yang terkait dengan Kepala Desa, dan kemungkinan besar perlu mendapatkan dukungannya apabila ingin program tersebut benar-benar berpengaruh pada struktur kekuasaan.
Di lokasi intervensi tempat kelompok Sekolah Perempuan didirikan, kami dapat melihat bahwa terdapat penyebaran jejaring yang lebih luas di antara para aktor, dan ini termasuk anggota Sekolah Perempuan (merah muda cerah). Meskipun Kepala Desa memiliki ikatan administratif yang signifikan dengan aktor lain, hal ini tidak diperparah oleh hubungan keluarga yang signifikan atau ikatan sosial lain yang serupa, yang kami amati di tempat lain (lihat pembahasan lebih lanjut di bawah). Peta-peta di bawah ini menunjukkan bagaimana perempuan mungkin memiliki pengaruh di desa melalui hubungannya dengan orang lain agar dapat memperoleh dukungan, atau mengarahkan aktor tertentu yang resisten terhadap upaya yang dilakukannya.
Gambar 28: Jejaring Sosial di Lokasi ‘Kontrol’ (tanpa OMS) dan Lokasi ‘Intervensi’ di Gresik, Jawa Timur

Seperti yang diilustrasikan pada Gambar 29 di bawah ini, desa yang berbeda memiliki jenis jejaring sosial dan hubungan yang berbeda antara tokoh yang memiliki otoritas dan pengaruh. Di beberapa desa, jenis hubungan dalam jejaring sosial cenderung didominasi oleh ikatan politik-pemerintahan dan hubungan keluarga. Di desa lainnya, ada tumpang tindih antara ikatan etnis, agama, keluarga dan pemerintahan. Beberapa desa memiliki jejaring sosial yang homogen, sedangkan jejaring sosial di desa lainnya lebih beragam.
Gambar 29: Jejaring Sosial di Bangkalan (Madura, Jawa Timur), Timor Tengah Timur (NTT) dan Pangkep (Sulawesi Selatan)

Dalam banyak kasus, tokoh yang berpengaruh cenderung memiliki ikatan yang kuat dengan ‘elit’ dan tokoh otoritatif lainnya, yang melampaui ranah sosial dan ‘politik-ekonomi’ (diwakili oleh campuran warna dalam hubungan jejaring di peta). Sering kali mereka yang memiliki konsentrasi hubungan terbesar juga memiliki pengaruh sosial dan politik yang signifikan. Jika ini dimiliki pejabat pemerintah yang berwenang, maka pejabat pemerintah yang berwenang ini juga akan memiliki kekuatan politik dan sosial yang signifikan.
Di desa lain, terdapat variasi aktor dan jenis hubungan yang dimilikinya. Dapat diamati dalam Gambar 29 di atas bahwa tokoh agama dan ikatan agama menonjol di Bangkalan, Jawa Timur, sedangkan tokoh adat dan tradisi adat memiliki peran lebih besar di NTT jika dibandingkan dengan Bangkalan. Di Bangkalan, Kepala Desa berperan utama dan terikat oleh keluarga dan agama dibandingkan ikatan lainnya di desa, bahkan jejaring yang ada pun terkonsentrasi di sekitar Kepala Desa, tetapi di NTT, jejaring tersebut lebih tersebar di antara tokoh-tokoh berpengaruh. Sedangkan di Pangkep, hubungan ekonomi dan keluarga menonjol dan jejaring juga terkonsentrasi di sekitar Kepala Desa.
Ketika jejaring (beragam atau homogen) terkonsentrasi di antara segelintir aktor, tetapi para aktor ini berada di kedua sisi perpecahan politik di desa, jejaring ini cenderung selaras dengan faksi-faksi yang ada di desa. Sebaliknya, dalam situasi di mana kekuasaan tersebar di antara aktor-aktor yang beragam (seperti yang ditandai dengan kerapatan dan jenis ikatan sosial yang lebih merata), perempuan desa dan OMS pendukung memiliki lebih banyak pilihan dalam melobi untuk mendapatkan dukungan atau menargetkan siapa sebagai champion pemberdayaan perempuan. Ketika kekuasaan lebih terkonsentrasi, pada permulaan masuk ke desa, OMS memiliki pilihan yang terbatas, tetapi OMS tetap berupaya menemukan cara untuk menargetkan aktor berpengaruh dalam jejaring yang dominan agar mendapatkan dukungan mereka guna mengakses desa dan menjalankan kegiatan dengan kelompok perempuan.
Setelah perempuan desa dan OMS telah memetakan dan memahami jejaring sosial ini, mereka berada dalam posisi untuk dapat memanfaatkan jejaring ini, dengan mengidentifikasi titik masuk potensial dan orang-orang yang memiliki kekuasaan signifikan di desa yang dapat memengaruhi aktor yang resisten. Misalnya, strategi inti yang berhasil secara signifikan adalah mengidentifikasi dan mendapatkan kepercayaan dari tokoh-tokoh yang memiliki relasi atau dekat dengan pembuat keputusan utama yang cenderung menolak inisiatif baru. Di Bangkalan, jejaring terkonsentrasi di antara satu keluarga yang telah lama mendominasi pemerintahan desa tetapi juga sangat terikat dengan lembaga keagamaan. Ikatan semacam ini terlihat pada peta jejaring sosial Bangkalan (Gambar 29). Menghadapi penolakan awal dari Kepala Desa, PEKKA mendekati adik laki-lakinya (yang merupakan teman sekolah Kepala Cabang PEKKA), dan keponakan Kepala Desa yang memiliki pengaruh yang signifikan dan jejaring yang kuat di desa. Kedua koneksi PEKKA ini secara bergantian membantu meyakinkan Kepala Desa untuk perlahan membuka pintu bagi program PEKKA.
Strategi ‘Aisyiyah untuk mendapatkan akses ke desa juga melibatkan pemanfaatan jejaring sosial yang ada di desa, dengan membangun jejaring yang dibentuk oleh anggota ‘Aisyiyah sebelumnya. Dalam dua puluh tahun terakhir, aktivis muda Muhammadiyah (yang berafiliasi dengan ‘Aisyiyah) telah membantu memberikan bakti sosial dan santunan kepada anak-anak yatim piatu di desa penelitian Cirebon, yang memberi mereka pemahaman awal tentang kondisi sosial dan ekonomi desa. Dari hubungan yang sudah berlangsung lama ini, ‘Aisyiyah mampu memanfaatkan hubungannya ke jejaring sosial untuk mengakses dan mendapatkan kepercayaan desa, meskipun desa secara keseluruhan mendukung organisasi massa Islam lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama.
“Awalnya saya menyantuni beberapa anak yatim. Tadinya cuma 9 [anak]. Tahun berikutnya bisa sampai 18 [anak], tahun berikutnya sampai 40 [anak]. Saya udah ga sanggup kan… Setelah saya lihat dari tahun ke tahun kenapa banyak anak yatim itu karena apa? [Karena] bapaknya dari SD itu udah kerja bangunan di Jakarta. Di mana kalau dia tidak lembur dia gak bisa ngirim [uang ke] keluarga… Nah orang kerja dengan keras seperti itu tuh, dengan semen, dengan pasir, dengan apa, terus-terusan [maka] itu banyak kasus TB [tuberkulosis]… Dan kebetulan saya pertama kali dateng ke sini itu 20 tahun yang lalu. Itu saya kenal sama aparat desa, dua-duanya udah abah-abah [bapak-bapak], Jadi saya nganggap orang tua saya di sini…. Itu awal saya mengenal orang [desa].” Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah di tingkat Kecamatan, 4 Maret 2019.
Memahami jejaring sosial dan pola pengaruh juga penting bagi strategi adaptif OMS untuk mendapatkan akses ke desa, juga untuk mendukung perempuan desa untuk menavigasi dan pada akhirnya memengaruhi struktur kekuasaan desa. Ini terutama penting di desa-desa yang paling sulit yang menolak inisiatif pemberdayaan dan perubahan norma gender, di mana kekuasaan sering terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Tetapi contoh-contoh di atas memang menunjukkan bahwa bukan tidak mungkin untuk perlahan-lahan memengaruhi perubahan bahkan ketika kegiatan awalnya mungkin ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin yang berpengaruh, khususnya Kepala Desa.
Lebih lanjut lagi, peta jejaring sosial menunjukkan bahwa OMS dalam beberapa kasus menenun hubungan penting antara kelompok perempuan, organisasi desa dan tokoh otoritatif, dan lembaga dan tokoh berpengaruh di tingkat kabupaten. Hal ini berguna untuk menghubungkan tokoh berpengaruh di tingkat kabupaten dengan inisiatif pemberdayaan tingkat desa dan kelompok perempuan desa dan pengalaman desa untuk memformulasikan kebijakan. Peta jejaring sosial desa intervensi Gresik pada Gambar 28 menunjukkan dalam hubungan antara tokoh di desa dan kabupaten, dengan Mitra MAMPU, KP2SK menjadi simpul penting hubungan tersebut, terutama untuk memfasilitasi akses perempuan desa ke pembuat kebijakan. Melalui hubungan ini muncul kesadaran yang lebih besar tentang perubahan yang sedang berlangsung di kedua tingkat. Perubahan yang terjadi di desa penelitian intervensi di Gresik memang menjadi inspirasi penting bagi forum tingkat kabupaten untuk memperoleh peningkatan dukungan bagi inisiatif Sekolah Perempuan serupa di tempat lain. Hal ini dapat diamati dalam cerita perubahan berdasarkan studi kasus di Kotak 32 di bawah ini.
Kotak 32: Cerita Perubahan di Gresik—Perubahan Norma Sosial dan Perluasan Inisiatif Pemberdayaan Perempuan
Desa intervensi di Kabupaten Gresik merupakan desa yang memiliki pendapatan rendah, pengangguran tinggi, dan norma patriarki yang kental, sehingga perempuan sering kali terkungkung dalam ranah domestik. Angka perkawinan anak relatif tinggi. Norma-norma setempat mendorong perkawinan anak perempuan yang tidak bersekolah, dengan tujuan mencegah kemungkinan berhubungan seks sebelum menikah. Seorang perempuan mengenang:
“Nikah umur 13, punya anak umur 15. Saya dijodohkan. Tinggal 4 hari di pondok [pesantren], langsung diambil, disuruh nikah. Lulus SD langsung ke pondok, langsung dibawa pulang diajak menikah. Wajah suami kayak apa nggak tau Mbak. Empat hari lagi sudah diambil nikah gitu. Itu yang dijodohkan.” Nining, desa ‘intervensi’ penelitian di Gresik, 24 Februari 2019.
Pada tahun 2014, lingkungan peraturan di kabupaten Gresik relatif kondusif untuk program peningkatan kesadaran gender karena telah berlaku peraturan daerah tentang pengarusutamaan gender, meskipun belum diterapkan dan belum serta merta diterjemahkan ke dalam praktik di lapangan di desa. Pada tahun 2014, KAPAL Perempuan dan KP2SK, dengan dukungan program MAMPU, mendapatkan persetujuan dari pemerintah kabupaten melalui MoU yang memungkinkan mereka untuk membentuk kelompok perempuan di tingkat desa, yang disebut Sekolah Perempuan. Sekolah perempuan ini berupaya memenuhi kebutuhan kompleks perempuan termiskin di desa.
Melalui Sekolah Perempuan, keterampilan berbicara di depan umum perempuan, kesadaran gender, dan kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam forum publik dipupuk. Meskipun beberapa perempuan desa telah berpartisipasi dalam Musrenbangdes sebelum Sekolah Perempuan melobi untuk diundang secara eksplisit, mereka secara kolektif menemukan bahwa prioritas pembangunan sosial dan gender perempuan umumnya diabaikan:
“Kemudian dalam Musrenbang itu, dari tahun 2016 kalau saya Musrenbang itu. Awalnya sih sama seperti teman-teman. Kayak kita itu nggak diundang, tapi kita itu selalu tanya ke desa, “Kapan Pak Musrenbang Desa itu? Kapan? Kapan?” jadi kan desa itu karena kita sering tanya, lama-lama kan pusing juga. Ternyata Sekolah Perempuan itu juga pingin. Akhirnya kami diundang. Tapi, beda. Memang usulan kita sama, sepuluh usulan itu. Tapi kalau [yang diusul oleh anggota Sekolah Perempuan] itu, empat itu distop.” Endang, desa ‘intervensi’ penelitian di Gresik, Februari 2019.
Mengingat pemerintah desa tidak mendukung, kader Sekolah Perempuan kemudian beralih untuk melobi pemerintah kabupaten. Mereka memanfaatkan hubungan mereka yang berkembang dengan pejabat kabupaten untuk mendapatkan dukungan. Pemerintah kabupaten yang telah berkomitmen untuk mendukung Sekolah Perempuan memberikan tekanan kepada pemerintah desa yang kemudian mengalokasikan sebagian dana untuk kelompok tersebut. Aksi kolektif berjejaring tersebut menunjukkan hasil dalam hal akses ke Dana Desa, meskipun advokasi terus dilakukan di desa untuk melembagakan Sekolah Perempuan melalui Peraturan Desa.
Di tingkat kabupaten, anggota Sekolah Perempuan juga membuat rekomendasi kepada tokoh yang berpengaruh di kabupaten untuk melakukan investasi yang lebih besar dalam masalah kesehatan perempuan dan perkawinan anak. Hal ini mengakibatkan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) yang melarang perkawinan anak, dan pembentukan forum Musrenbang khusus untuk perempuan.
Terlepas dari kentalnya norma-norma patriarki, setelah lima tahun upaya kolektif perempuan desa dengan dukungan OMS di desa penelitian, perempuan memengaruhi implementasi UU Desa dengan diperolehnya alokasi Dana Desa untuk mendukung Sekolah Perempuan yang membangun pengetahuan dan keterampilan perempuan.
“Ya karena, kalau ini kan tahun 2017 itu karena Pak Bupatinya mendukung, karena kita juga membuktikan [dengan kegiatan Sekolah Perempuan]. Ini lho fungsinya Sekolah Perempuan itu apa, gitu lho. Jadi kita membuktikan ke kabupaten terus ya sama dinas-dinas itu tadi. Kita kan nggak hanya Sekolah Perempuan saja yang bekerja, ada yang namanya komite kabupaten. Komite pemantau kabupaten itu ada. Jadi ngambilnya dari dinas-dinas, jadi kita saling bekerja sama, begitu. Makanya di tahun 2017 itu. Awalnya kita kan mengikuti musrembang [desa]. Musrenbang itu kita memang yang uber-uber itu Dana Desanya. Pada saat 2017 itu baru bisa direalisasi.” Indah, Pemimpin kelompok Sekolah Perempuan, 22 Februari 2019.
Selain kemampuan perempuan untuk berbicara dan melobi untuk kepentingan mereka di ruang publik, keterampilan yang mereka peroleh melalui Sekolah Perempuan juga meningkatkan kemampuan mereka menggunakan suara mereka di ranah privat:
“Dulu itu kalau suami mengamuk aku cuma bisa nangis nggak ngomong hanya dipendam saja, malah dia yang marah kalau aku hanya nangis saja. Sekarang aku bisa ngomong mbak, mungkin kayak ngomel, tapi sebenarnya omonganku benar, dulu nggak berani. Sekarang bisa diskusi-diskusi kecil.” Lasinem, 19 Februari 2019.
“Pada saat kita itu sadar kalau itu kebutuhan, kebutuhannya si perempuan, ada aja jalannya untuk bisa berdiskusi dengan anak dan keluarga. Yang dulu saya nggak bisa meninggalkan anak saya di rumah, itu saya bisa bernegosiasi dengan suami.” Indah, 19 Februari 2019.
Oleh karena itu, Sekolah Perempuan telah memberi perempuan keterampilan dan suara untuk menuntut dan menegosiasikan lebih banyak kekuasaan baik di ranah privat maupun publik. Pemerintah kabupaten telah menyadari bahwa Sekolah Perempuan merupakan model pemberdayaan gender yang kuat, dan telah mereplikasi Sekolah Perempuan di sepuluh desa lain di Gresik.
Kemitraan dengan organisasi lain
Bergantung pada karakteristik konteksnya, kemitraan OMS dengan pemerintah atau organisasi non-pemerintah memiliki tingkat kepentingan yang berbeda untuk program. Sifat kemitraan ini juga berimplikasi pada inisiatif Mitra MAMPU—apabila kemitraan ini berjalan dengan baik, kemitraan ini saling menguatkan. Jika tidak, kemitraan ini justru dapat melemahkan kemajuan dalam pemberdayaan perempuan (lihat juga pembahasan di Bab 3).
Kemitraan dengan pemerintah
Salah satu cara untuk memperkuat dan memperluas dampak inisiatif pemberdayaan adalah melalui kemitraan dengan pemerintah. Sebagian besar OMS membentuk MoU dan Forum multi-pihak, tetapi beberapa juga menjalin kemitraan yang lebih formal untuk berkolaborasi dalam program dan penyampaian layanan. Di satu sisi, hal ini berguna untuk melakukan kegiatan yang membutuhkan dukungan administratif, hukum, atau pemerintah lainnya (seperti menangani kasus hukum, menyediakan dokumen identitas hukum dan menangani kasus kekerasan), tetapi di sisi lain, ketika OMS membantu pemerintah untuk mereplikasi inisiatif OMS tetapi tidak mengendalikan pelaksanaan inisiatif tersebut, OMS tidak selalu dapat memastikan pelaksanaan inisiatif tersebut memiliki kualitas dan dampak yang sama dengan ketika OMS menjalankan inisiatif tersebut sendiri.
Meskipun demikian, kemitraan terbukti penting bagi banyak OMS untuk memberikan layanan dan menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih mampu untuk berpartisipasi dalam masyarakat, dan pada akhirnya mengalami peningkatkan agensi dan suara. Di Bangkalan, misalnya, Seknas PEKKA pada tahun 2005 menandatangani perjanjian kemitraan dengan Mahkamah Agung tentang pernikahan. Disusul dengan kesepakatan kemitraan antara Kantor Pengadilan Agama dan PEKKA di tingkat kabupaten pada tahun 2011. Kesepakatan tersebut untuk memprioritaskan perempuan miskin dampingan PEKKA untuk mengakses layanan itsbat nikah secara gratis. Ketua Pengadilan Agama Bangkalan menjelaskan:
“Saya justru begini, tanpa kerjasama dengan semacam ini [antara Pengadilan Agama dan Serikat Pekka] kita ada kesulitan untuk menggunakan uang itu [kuota prodeo]. Karena masyarakat, mereka tidak tahu kalau ada program itu di pengadilan agama, sementara kebutuhan mereka sangat mendesak. Mereka butuh pengakuan dari pemerintah bahwa saya punya suami, saya punya istri, anak, cucu, tapi belum ada bukti. Belum diakui oleh negara. Nah itu mereka mau untuk itu. Mungkin kendala dengan uang, mungkin infomasinya. Mungkin ada uang, tapi ada saja halangannya. Atau ada bayangan bahwa ‘Ah berperkara itu pasti tinggi [harganya] itu.’” Ketua Pengadilan Agama, Bangkalan, 18 Februari 2019.
Kemitraan dengan OMS dan organisasi non-pemerintah
Di tempat lain, OMS menjalin kemitraan dengan organisasi lain. Sebelumnya kami telah membahas bagaimana BaKTI telah mengelola banyak jejaring di Indonesia Timur dan kemitraan dengan organisasi lain yang melakukan inisiatif advokasi dan pemberdayaan, yang berfokus pada sejumlah permasalahan yang beragam. Demikian pula, banyak studi kasus dalam penelitian ini menggambarkan kemitraan antara organisasi dan konsorsium nasional dan daerah untuk berbagi keterampilan, sumber daya, dan agar memiliki kapasitas dan jangkauan kolektif yang lebih besar (lihat Savirani, dkk., 2020).
Ini juga terjadi di antara organisasi subnasional. Misalnya, sebagai bagian dari strateginya, YABIKU di Timor Tengah Utara melakukan pendekatan dengan OMS lain yang memiliki kepedulian yang sama terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. YABIKU bekerja sama dengan Amanekatob, sehingga kedua organisasi dapat berbagi wilayah kerja/desa. YABIKU melakukan inisiatif pemberdayaan di bagian utara kabupaten, sedangkan Amanekatob bekerja di bagian selatan. Mereka juga bekerja sama dengan perempuan desa untuk melobi dan memberikan masukan untuk pengesahan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. YABIKU juga memperluas jejaringnya ke tingkat provinsi, bermitra dengan OMS lain, seperti Rumah Perempuan, Truk F dan lain-lain. YABIKU merujuk korban KDRT yang ditemui di wilayah yang tidak memiliki kehadiran kuat bagi mitra tersebut. Saat penelitian berlangsung, YABIKU juga memiliki kemitraan dan kolaborasi dengan lembaga pemerintah, seperti Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan.
Dalam advokasi isu KDRT di TTU, YABIKU juga bekerja sama dengan lembaga gereja di desa penelitian di mana sebagian besar penduduk menganut agama Katolik dan norma agama (dan adat) yang kuat. YABIKU mengundang pastor paroki untuk berpartisipasi dalam kegiatan untuk menggalang dukungan atas agendanya dalam mengurangi KDRT di desa, yang memiliki tingkat KDRT yang tinggi. Salah satu terobosan yang dihasilkan dari kerja sama tersebut adalah Gereja telah menyematkan materi ajar tentang KDRT dalam materi pra nikah, yang diwajibkan oleh Gereja Katolik bagi pasangan yang hendak menikah. Lebih lanjut, gereja telah menjadi institusi informal yang menangani kekerasan dalam rumah tangga. Karena kepercayaan Katolik tidak mengizinkan perceraian, konflik rumah tangga sering kali dimediasi oleh Bapa Mama Serani, yang menjadi saksi resmi pernikahan di Gereja, maka gereja menjadi mekanisme awal mediasi.
“Kebanyakan mereka sebelum datang ke gereja, curhat terlebih dahulu ke Bapa Mama Serani. Dari sisi gereja, biasanya setelah menikah, untuk keberlanjutan hidup suami istri dalam menjaga sakramen itu dengan Bapa Mama Serani. Kalau ada kasus apa saja, sebenarnya orang tua wali mereka adalah Bapa Mama Saksi.” Pastor paroki, 6 Juli 2019.
Fitur utama dari strategi OMS yang efektif dalam konteks yang berbeda
Berdasarkan pembahasan di atas, di bawah ini kami mengidentifikasi aspek-aspek kunci dari strategi strategis dan adaptif OMS untuk menavigasi kendala yang ditimbulkan konteks dan memanfaatkan peluang di awal dan peluang yang timbul dari waktu ke waktu. Ini merupakan salah satu bentuk aksi kolektif strategis oleh organisasi perempuan, berbeda dari aksi kolektif akar rumput oleh perempuan desa (sering kali dengan dukungan dari OMS) yang dibahas di bab-bab sebelumnya.
Gambar 30: Kerangka Garis Besar Pendekatan OMS untuk Menavigasi Konteks, Memanfaatkan Peluang dan Mengatasi Tantangan untuk Memperkuat Inklusi Gender dan Pemberdayaan Perempuan

