
Bentuk aksi kolektif perempuan di daerah perdesaan Indonesia merupakan suatu kontinum, mulai dari bentuk pengaruh informal, misalnya dengan membangun jejaring interpersonal dengan tokoh pemerintahan dan pemimpin sosial, hingga bentuk yang lebih formal melalui partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, institusi dan forum. Berbagai bentuk aksi kolektif ini membentuk suatu aksi kolektif berjejaring yang saling terkait, terkadang terangkai secara sekuensial, dan sering kali saling memperkuat satu sama lain.



Pendahuluan
Bab-bab sebelumnya mengkaji dimensi yang berbeda pada konteks kabupaten dan desa yang membatasi atau justru memampukan aksi kolektif dan pemberdayaan perempuan, memberikan gambaran awal tentang dampak UU Desa yang berhasil diidentifikasi oleh penelitian ini, dan mengeksplorasi bagaimana perempuan memandang dan mengalami perubahan dalam bersuara dan memberikan pengaruh. Bab 5 ini akan menjelaskan bentuk utama aksi kolektif akar rumput yang diidentifikasi di lokasi penelitian dan pola dalam bentuk serta intensitas aksi kolektif melalui kelompok dan jejaring di seluruh desa penelitian, dengan fokus khusus pada bagaimana kapasitas individu dan kolektif berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan suara perempuan. Banyak bentuk aksi kolektif yang saling terkait, saling menguatkan, dan terkadang tumpang tindih dalam proses yang menyebabkan perempuan memiliki pengaruh yang lebih besar pada struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Penting untuk dicatat bahwa studi ini tidak mencoba menjelaskan semua dimensi kehidupan pergaulan perempuan dan dinamika rumah tangga di setiap desa, tetapi lebih untuk mengidentifikasi pola dalam proses dan pengalaman yang tidak hanya mendukung peningkatan kesejahteraan perempuan secara luas, tetapi juga memengaruhi struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan dalam pemerintahan desa dan lebih luas lagi.
Bab ini dimulai dengan sejarah singkat tentang gerakan perempuan di Indonesia, dengan penekanan pada organisasi inti perempuan—terutama yang menjangkau pedesaan Indonesia—dan bagaimana rezim otoriter sebelumnya berupaya menciptakan struktur yang menentukan sifat dan bentuk peran perempuan dalam masyarakat tertentu, yakni sebagai istri dan ibu yang bertanggung jawab atas keluarga dan rumah tangganya. Penting untuk memahami bagaimana organisasi perempuan dari periode tersebut (yang masih ada hingga saat ini) tentunya memiliki pengalaman dalam mengorganisir dan meningkatkan kesejahteraan perempuan di bidang tertentu (misalnya kesehatan, pendidikan). Namun pengorganisasian semacam itu juga terbatas dalam mendorong partisipasi politik perempuan dan peran perempuan yang lebih beragam. Malahan, pengorganisasian semacam itu justru malah memperkuat peran gender. Bab ini kemudian membahas secara lebih rinci bentuk-bentuk aksi kolektif yang nyata terjadi di lokasi penelitian dan trajektori perubahan yang dapat ditelusuri melalui studi kasus. Analisis tersebut kemudian mengeksplorasi secara komparatif pola dalam bentuk-bentuk aksi kolektif perempuan—baik formal maupun informal—yang nyata terjadi di lokasi penelitian dan kemudian memilah pola-pola tersebut berdasarkan jenis konteks. Isi utama dari Bab 5 ini dapat dilihat dalam Gambar 14 di bawah ini.
Gambar 14: Struktur dan Isi Utama Bab 5

Sejarah aksi kolektif perempuan: Aksi kolektif perempuan sebelum 1998
Aksi kolektif perempuan melalui jejaring, organisai massa dan kelompok perempuan bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pada tahun 1914 organisasi perempuan Sapa Tresna didirikan untuk mempromosikan pendidikan perempuan dan anak perempuan. Organisasi tersebut adalah pendahulu ‘Aisyiyah, yang berafiliasi dengan organisasi massa Islam modernis Muhammadiyah. Organisasi massa Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama juga mendirikan sayap perempuan Muslimat pada tahun 1946, diikuti empat tahun kemudian oleh Fatayat untuk perempuan yang lebih muda, yang juga berfokus pada pendidikan dan kesehatan perempuan. Organisasi-organisasi ini terus memiliki pengaruh yang signifikan hingga saat ini.
Kebangkitan nasionalisme dan perkembangan yang terjadi di tahun-tahun berikutnya setelah kemerdekaan menjadi pendorong bagi partisipasi politik perempuan. Perempuan juga secara konsisten dimasukkan dalam retorika pemerintah untuk memajukan negara dan mereka disebut sebagai ‘penenun persatuan nasional’ (Davies, 2005, 232) yang menugaskan perempuan sebagai ibu bangsa. Selama dua dekade pertama kemerdekaan, perempuan terlibat dalam partai politik dan didorong untuk mendirikan organisasi perempuan (Davies, 2005, 232). Organisasi-organisasi ini biasanya dibentuk berdasarkan garis agama atau etnis. Beberapa organisasi, seperti PERWARI (Perhimpunan Perempuan Republik Indonesia) dibentuk mengikuti struktur nasional dengan cabang di daerah sedangkan yang lain berbasis lokal atau regional (Migunani, 2017, 2).
Periode saat ada dorongan yang cukup kepada organisasi perempuan dan partisipasi politik tiba-tiba berakhir di bawah rezim Orde Baru, yang dipimpin Presiden Suharto (1966-1998). Nasib yang sama juga dialami oleh banyak organisasi massa dan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Seperti banyak organisasi sosial lainnya, kelompok perempuan di tingkat masyarakat hampir menghilang kecuali kelompok agama (seperti kelompok pengajian) dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) (Migunani, 2017, 2), yang sebagaimana kita lihat di bab-bab sebelumnya adalah kelompok penting di desa, hingga saat ini. Satu atau dua organisasi korporatis negara yang dibentuk oleh kabupaten tertentu untuk sektor ekonomi seperti pertanian terkadang juga membentuk kelompok seperti KWT (Kelompok Wanita Tani), yang tetap ada di sejumlah desa penelitian.
Hanya organisasi dan kelompok yang didukung negara yang diizinkan untuk beroperasi. Rezim ini memang mendirikan korporatisme yang diprakarsai negara di semua sektor ‘fungsional’ (profesi, pelajar, petani, buruh, nelayan, dan untuk perempuan), sebagai salah satu instrumen kunci yang mengatur dan memengaruhi masyarakat. Organisasi-organisasi ini membentang dari tingkat nasional hingga desa, yang banyak di antaranya juga terus ada hingga saat ini. Namun dari pertengahan 1980-an dan sepanjang 1990-an, beberapa perempuan terlibat dalam gerakan yang lebih luas dan jejaring aktivis yang secara ekstensif melakukan gerakan hak asasi manusia global dan ide-ide feminis, dan berusaha untuk melawan rezim (Blackburn, 2004, 27-28; Davies, 2005).
Secara keseluruhan, kebijakan Orde Baru mempromosikan keluarga inti dan peran ibu, sebagaimana termaktub dalam konsep yang disebut ‘ibuisme’ negara (Suryakusuma, 1987). Peran perempuan terbatas pada ranah domestik, sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga (Robinson, 2008). Di puncak kebijakan adalah organisasi perempuan resmi Dharma Wanita, untuk istri pegawai negeri sipil yang memiliki jabatan cukup tinggi, dan PKK yang menjangkau sampai ke pedesaan (Blackburn, 2004). PKK didirikan di seluruh Indonesia sejak awal tahun 1970-an, di bawah Kementerian Dalam Negeri dan dipimpin langsung oleh istri menteri.12
PKK menjadi satu-satunya organisasi khusus perempuan yang secara resmi disahkan untuk bekerja di tingkat desa. Dengan dorongan pengaruh politik istri Presiden Suharto, struktur kepemimpinan PKK dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Cabang di tiap tingkat PKK dipimpin oleh istri pejabat negara. PKK menyebarkan ideologi gender resmi negara, yang menekankan pada peran domestik perempuan. PKK mengorganisir sukarelawan perempuan untuk ikut dalam program pembangunan negara (Blackburn, 2004; Robinson, 1994). Pada era Soeharto, PKK bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga di pedesaan melalui pelaksanaan program pengentasan buta huruf dan pembentukan kelompok layanan kesehatan ibu dan anak (Posyandu).
Posyandu telah diakui secara luas karena memiliki dampak positif dalam menekan tingkat kematian dan kesakitan ibu dan bayi (Marcoes, 2002; Robinson, 2008). Walaupun melalui PKK dan Posyandu perempuan desa dilibatkan dalam urusan pendidikan dan kesehatan, organisasi-organisasi ini lebih difokuskan untuk mendukung prioritas pembangunan negara daripada pemberdayaan perempuan secara individu dan kolektif. Faktanya program-program ini dan struktur organisasinya dikritik karena bersifat top-down, berpusat pada elit, dan memiliki bias Jawa-sentris (Marcoes, 2002, 188). Meskipun demikian, bagi sebagian perempuan yang terlibat dalam PKK, mereka memperoleh keterampilan berorganisasi dan memiliki pengaruh kolektif pada politik desa dan kehidupan melalui ikatan keluarga dan hubungan dekat dengan jejaring pejabat negara, dalam batas-batas yang diizinkan oleh negara. Jadi meski perempuan memang memiliki ruang dan bentuk representasi yang terorganisir yang memungkinkan perempuan untuk mengekspresikan suara mereka tentang isu-isu tertentu, jarang sekali kelompok-kelompok semacam itu dapat memengaruhi dan mengubah distribusi kekuasaan di desa.
12 PKK pertama kali didirikan dengan nama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga oleh istri Gubernur Jawa Tengah pada tahun 1967 sebagai bentuk formal kelompok perempuan organik yang dibentuk untuk melakukan kegiatan lingkungan (Migunani, 2017, 2; Wieringa, 1993, 24).
Sejarah aksi kolektif perempuan: Aksi kolektif perempuan pasca-1998
Berakhirnya otoritarianisme menjadi katalisator bagi peningkatan aksi politik perempuan (Davies, 2005). Jejaring perempuan baru, serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil lainnya muncul di tingkat nasional dan lokal di seluruh Indonesia, termasuk Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang didirikan sebagai organisasi negara independen pada tahun 1998, dan banyak organisasi masyarakat sipil lainnya, termasuk yang disebutkan dalam penelitian ini. Banyak organisasi yang lebih besar berada di pusat kota dan di ibu kota (beberapa memiliki jejaring organisasi sampai ke tingkat daerah), sementara yang lain didirikan secara lokal. Beberapa organisasi berfokus pada mengatasi ketidaksetaraan dalam struktur kekuasaan yang lebih luas melalui, misalnya, mengadvokasi perubahan undang-undang dan kebijakan untuk mendukung perwakilan politik perempuan, sementara yang lain berfokus pada masalah seperti pengurangan kekerasan dan perdagangan manusia (dan menyediakan rumah aman serta bantuan hukum), pembangunan perdamaian, penguatan hak atas tanah, kesehatan, akses pendidikan, dan banyak masalah lainnya.
Tema umum di antara organisasi-organisasi ini adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan gender agar perempuan Indonesia dapat terus mendorong perubahan dan berupaya memengaruhi dan mengubah struktur kekuasaan. Meskipun pemahaman dan persepsi tentang apa yang membentuk gerakan perempuan Indonesia berbeda-beda di antara para pemimpin, organisasi, dan aktivis perempuan, yang terpenting adalah tema ini mempertemukan organisasi-organisasi, jejaring dan koalisi perempuan yang lebih luas yang berupaya mengubah struktur kekuasaan patriarki.
Seiring berjalannya waktu, gerakan perempuan telah membuat kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kesetaraan gender dengan memusatkan perhatian politik pada isu-isu terkait hak dan kesejahteraan perempuan dan telah berhasil berkontribusi membawa perubahan hukum, peraturan, kebijakan dan program nasional serta subnasional untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia. Seperti yang disebutkan di Bab 2, laporan Indeks Pembangunan Manusia UNDP tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara yang mengalami ‘kesetaraan menengah’ untuk laki-laki dan perempuan (UNDP, 2019). Namun, perubahan tersebut tidak merata, terutama bagi perempuan miskin di pedesaan yang menjadi fokus studi ini.
Perubahan dalam kelompok dan institusi korporatis negara
Perubahan juga terjadi pada struktur organisasi perempuan yang didirikan oleh Orde Baru pasca reformasi 1998. Pada tahun 2000, PKK mengadakan pertemuan nasional khusus dan saat itu nama PKK berganti menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dengan penekanan lebih pada ‘pemberdayaan’ daripada ‘pembinaan’ sebagai fungsi utamanya. Meskipun PKK masih berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, namun para pemimpin PKK kini dipilih, dan organisasi tersebut telah berupaya melalui penyusunan agenda nasional untuk memprioritaskan partisipasi dalam politik dan kesetaraan gender (Kurniawati, 2015, 45).
Namun sebagian besar kegiatan PKK tetap terkait dengan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, dan keberagaman keanggotaan di desa berbeda dari satu tempat ke tempat lain di seluruh nusantara. PKK menerima sejumlah dana tertentu, berkisar antara Rp10-15 juta per tahun, yang didistribusikan melalui transfer anggaran ke desa-desa tetapi di luar transfer Dana Desa khusus berdasarkan UU Desa. Meskipun dalam praktiknya dan nyatanya terlihat di lokasi penelitian studi ini, terkadang PKK menerima alokasi ini dari pos Dana Desa (dan dalam beberapa kasus pendanaan tambahan) tergantung pada dinamika di masing-masing desa.
Cakupan PKK untuk memenuhi visinya tentang keluarga sehat, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia baru-baru ini diperluas melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2013. Berdasarkan peraturan ini, Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati, dan Lurah menjadi ketua pembina tim penggerak PKK (Ketua Pembina TP PKK) di masing-masing jenjang. Selanjutnya Perpres No. 99/2017 memberlakukan kontrol yang lebih besar pada provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa atas agenda PKK melalui pemantauan dan evaluasi (Brown, 2019, 17).
Karena bantuan anggaran ini, dan juga keberadaan dalam jangka waktu lama dan struktur organisasi yang memiliki cakupan luas, PKK (dan Posyandu) terus disegani (Migunani, 2017, 25). Walaupun demikian, pengaruhnya terhadap pemerintahan desa, struktur kekuasaan, dan jangkauan serta keragaman keanggotaannya sangat bervariasi di seluruh nusantara sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini dan sumber-sumber lainnya (misalnya Migunani, 2017). Fokus tradisionalnya yang adalah untuk mempromosikan peran perempuan sebagai istri dan ibu, sulit diubah di banyak tempat (untuk pembahasan lebih lanjut lihat Bab 6). Selanjutnya dalam banyak kasus, di tingkat desa, keanggotaan PKK cenderung didominasi oleh perempuan desa yang lebih ‘elit’ (seperti istri Kepala Desa). Pada saat yang sama, beberapa kelompok PKK di tingkat desa (termasuk kelompok penyuluh PKK seperti Posyandu) telah mengalami beberapa perubahan di beberapa desa untuk menciptakan keanggotaan yang lebih beragam dan untuk memasukkan pemahaman yang lebih luas tentang gender dan perempuan, terutama dalam kasus di mana PKK telah bekerja dengan organisasi lain dalam upaya memenuhi agenda ‘pemberdayaan’ baru mereka.
Bentuk dan karakteristik aksi kolektif
Bab ini meninjau kembali bagaimana kami mengkonseptualisasikan aksi kolektif dalam penelitian ini, dan kemudian membedakan antara bentuk aksi kolektif informal dan formal.
Mendefinisikan aksi kolektif
Dalam latar belakang studi tentang aksi kolektif dan agensi perempuan, Evans dan Nambiar (2013, 3) mendefinisikan aksi kolektif sebagai ‘tindakan untuk memobilisasi orang atas kepentingan bersama atau umum’. Mereka selanjutnya menjelaskan bahwa aksi kolektif dapat:
- menjadi rutin atau sporadis,
- berlangsung secara informal atau formal,
- dibuat bersifat lokal atau transnasional,
- difokuskan pada artikulasi hak atau penyediaan layanan, dan
- berkembang secara organik dari dalam sekelompok orang atau dibentuk dari luar.
Definisi ini sejalan dengan studi Migunani (2017) tentang aksi kolektif perempuan di Indonesia, yang penulisnya mendefinisikan aksi kolektif perempuan sebagai:
Pembentukan dan aktivitas secara formal maupun informal suatu kelompok atau jejaring yang didominasi perempuan yang bertujuan untuk membawa perubahan positif dalam kehidupan perempuan. Aksi kolektif adalah proses bekerja untuk memengaruhi perubahan, dan [proses] bagaimana lembaga-lembaga sukarela dibentuk dan dipertahankan, serta [proses bagaimana] kelompok-kelompok memutuskan untuk melakukan aksi bersama (Migunani, 2017, vii).
Teori aksi kolektif telah berkembang dari asalnya di bidang ekonomi sampai ke penerapannya di bidang pembangunan masyarakat (Evans dan Nambiar, 2013). Dalam konteks ekonomi, penulis-penulis berpengaruh seperti Olson (1965) lebih fokus pada tantangan di mana orang-orang yang kurang bersedia berpartisipasi aktif alih-alih menuai keuntungan dari aksi kolektif yang dilakukan oleh orang lain—sering dikenal sebagai masalah “penumpang gelap”. Masalah ini juga diangkat oleh Wetterberg dkk. (2015, 4) dalam studi mereka tentang alat akuntabilitas sosial yang dapat digunakan warga negara untuk meminta pertanggungjawaban penyedia layanan di Puskesmas. Mereka berpendapat bahwa ‘mobilisasi warga untuk aksi kolektif’ bergantung pada kapasitas peserta dan kemauan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang relevan.
Ostrom dan Ostrom (1986) telah menunjukkan bagaimana kegiatan aksi kolektif seperti infrastruktur koperasi, aturan dan norma dapat mendukung masyarakat berpenghasilan rendah yang hidup di daerah pedesaan, khususnya ketika kondisi pasar dan negara mungkin telah gagal berkembang. Kami melihat bukti nyata mengenai dinamika semacam ini dalam pemerintahan desa dan dari hasil-hasil lainnya yang dicapai oleh kelompok-kelompok di desa. Secara khusus, aksi kolektif menjadi penting dalam konteks pengelolaan sumber daya alam karena secara teoritis aksi kolektif ini dapat menghasilkan pembagian hasil yang lebih adil (Pandolfelli, dkk., 2008).
Sementara aksi kolektif dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda, perbedaan antara aksi kolektif ‘formal’ dan ‘informal’ menjadi sangat penting karena adanya pemikiran bahwa keterlibatan pada berbagai bentuk aksi kolektif ini mungkin berbeda berdasarkan pada gender (Pandolfelli, dkk., 2008; Agarwal, 2000).
Aksi kolektif formal umumnya terjadi melalui organisasi atau struktur pemerintahan (Evans dan Nambier, 2013). Organisasi-organisasi ini antara lain meliputi kelompok keuangan mikro, asosiasi pengelola sumber daya alam (seperti air) atau koperasi (Pandolfelli, dkk., 2008). Di Indonesia, kita mungkin melihat aksi seperti itu dalam kelompok dan asosiasi, serta melalui partisipasi individu dan kelompok dalam struktur pemerintahan, seperti forum pengambilan keputusan di tingkat desa dan kabupaten, atau partisipasi kelompok dalam struktur sosial lain yang berpengaruh, yang membentuk norma atau mengalokasikan sumber daya, di luar fungsi utama negara.
Aksi kolektif informal terjadi dalam lebih banyak ‘jejaring sosial cair’ yang memiliki fleksibilitas yang lebih besar sehingga anggota dapat berpartisipasi sesuai dengan kebutuhan mereka yang mungkin berubah-ubah (Pandolfelli, dkk., 2008, 3). Penciptaan ruang informal dan sosial diperlukan untuk aksi kolektif perempuan karena ruang informal ini akan membantu perempuan melakukan refleksi dan mengidentifikasi masalah sehari-hari serta membayangkan realitas alternatif. Lebih jauh lagi, saat menciptakan dan melalui ruang-ruang seperti itu, perempuan juga dapat menyebabkan disrupsi pada proses pengambilan keputusan yang didominasi laki-laki (McEwan, 2005). Oleh karena itu, dalam beberapa konteks, tampaknya perempuan lebih cenderung terlibat dengan kelompok aksi kolektif informal alih-alih kelompok formal (Pandolfelli, dkk., 2008; Agarwal 2000). Hal ini terlihat baik di lingkungan berpenghasilan rendah (misalnya, penelitian Agarwal (2000) tentang aksi kolektif di desa-desa pedesaan di Asia Selatan) dan di lingkungan mereka yang berpenghasilan tinggi (lihat studi Gerard dan Kleiber tahun 2019 tentang perempuan Norwegia di industri perikanan).
Contoh aksi-aksi kolektif yang diidentifikasi dari lokasi penelitian yang sebagian besar berada di pedesaan bersifat formal dan informal dan aksi-aksi ini sering kali saling terkait, bertumpang tindih dan bentuknya berbeda-beda dalam proses perubahan pengaruh perempuan pada struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan yang lebih lama. Aksi kolektif formal meliputi kepemimpinan formal dan partisipasi dalam struktur pemerintahan—misalnya, partisipasi dalam Musdes (musyawarah desa dan musyawarah untuk pengambilan keputusan) dan/atau Musrenbangdes (musyawarah perencanaan pembangunan desa), di desa dan forum perencanaan di tingkat kabupaten dan satuan tugas untuk membentuk dan melaksanakan program dan inisiatif lainnya.
Di persimpangan aksi kolektif formal dan informal terdapat partisipasi dalam kelompok perempuan yang terorganisir (dibahas lebih lanjut di Bab 6), yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan perempuan secara kolektif. Meskipun partisipasi semacam itu dapat dianggap formal atau informal berdasarkan definisi di atas, untuk tujuan analisis penelitian ini, kami menganggap bentuk ini sebagai bentuk terpisah, khususnya karena dukungan untuk kelompok dan kegiatan perempuan yang terorganisir merupakan dukungan inti pada semua kasus studi dan OMS yang terlibat dalam penelitian.
Perempuan juga terlibat dalam aksi kolektif secara informal, misalnya melalui lobi pribadi dengan aktor berpengaruh dan berwenang di pemerintah kabupaten dan desa, dan berpartisipasi dalam ‘ruang untuk perempuan’ dan kelompok informal yang tidak memiliki struktur formal—seperti pertemuan di Pusat Pendidikan Usia Dini (PAUD). Utamanya, salah satu bentuk aksi kolektif perempuan yang paling umum di daerah pedesaan yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah, seperti yang kita lihat di bab sebelumnya, cara perempuan mengakses ruang pengambilan keputusan publik dan membawa pengaruh yaitu dengan mengakses dan memanfaatkan jejaring sosial strategis dan berhubungan dengan pemimpin dan mereka yang berpengaruh secara sosial dan politik. Sering kali, perempuan dan para aktor berpengaruh ini secara bersama-sama melakukan suatu bentuk aksi kolektif berjejaring untuk memengaruhi forum pengambilan keputusan agar lebih inklusif gender dan memberi perhatian pada prioritas perempuan. Kami akan kembali ke tema ini di akhir bab, tetapi pertama-tama, di bawah ini kami menganalisis bentuk-bentuk inti dari aksi kolektif yang berkontribusi pada semakin banyaknya perempuan yang menjalankan kekuasaan dan pengaruh di desa untuk memperkuat kapasitas sosial, politik, dan ekonomi mereka, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diri mereka sendiri dan keluarga mereka, serta menentukan arah implementasi UU Desa. Bentuk-bentuk ini diuraikan pada Gambar 15.
Gambar 15: Bentuk-Bentuk Kunci dari Aksi Kolektif Perempuan yang Dibahas di Bagian 5.2

Bentuk formal aksi kolektif
Dalam tingkatan yang bervariasi dan dengan perubahan dari waktu ke waktu, perempuan desa menjalankan bentuk aksi kolektif formal yang membuat mereka secara langsung berfokus pada kepemimpinan formal dan partisipasi dalam pemerintahan. Ada beberapa bentuk aksi kolektif formal yang dilakukan oleh perempuan desa pedesaan, sebagai perwakilan dari, atau melalui kelompok, perkumpulan dan secara kolektif. Bentuk-bentuk kunci tersebut antara lain:
- Partisipasi dalam, dan penyelenggaraan, pemilihan umum, dan/atau secara strategis dan kolektif menggunakan suara untuk mendukung kandidat tertentu yang dikenal inklusif terhadap perempuan,
- Partisipasi dalam rapat pengambilan keputusan pemerintah dan forum lainnya (baik forum tingkat desa maupun kabupaten),
- Partisipasi dalam satuan tugas, jejaring asosiasi dan program pengembangan dan inisiatif implementasi, dan
- Memberikan masukan untuk regulasi dan kebijakan yang memberi manfaat bagi mereka.
Aksi kolektif formal merupakan bentuk kuasa untuk mengarahkan keputusan politik dan kebijakan yang memengaruhi kesejahteraan perempuan, serta untuk menggeser norma sosial yang membatasi pilihan dan partisipasi perempuan dalam ranah publik. Dalam menemukan kesamaan di antara orang-orang yang memiliki kepentingan berbeda serta dalam membangun kekuatan kolektif melalui partisipasi kelompok sebagaimana disebutkan di atas, perempuan juga telah menemukan kuasa dengan anggota kelompok lainnya dengan saling mendukung satu sama lain (Lihat Bab 2), dan dengan aktor, kelompok, dan perkumpulan lainnya guna mengarahkan keputusan dari struktur yang berwenang agar lebih inklusif gender. Masing-masing bentuk aksi kolektif ini dibahas lebih lanjut di bawah ini.13
Partisipasi dalam pemilihan dan pemungutan suara secara strategis
Perempuan telah melakukan aksi kolektif melalui partisipasi dalam pemilihan desa dan kabupaten atau secara strategis dan kolektif menggunakan suara mereka, sekali lagi untuk mengekspresikan kuasa mereka bersama dengan yang lain, untuk memengaruhi proses dan hasil politik, meskipun hal ini belum umum terjadi di semua lokasi penelitian.
Misalnya, pemimpin kelompok Sekolah Perempuan di desa penelitian di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menjadi begitu vokal dan populer sehingga ketika berita keberhasilan sekolah dan kegiatannya sampai ke kabupaten, ia diundang untuk mencalonkan diri di DPRD pada tahun 2019. Meskipun dia tidak berhasil, dia sangat bangga telah mencalonkan diri karena, menurut dia sendiri, itu adalah sesuatu yang tidak pernah dia pertimbangkan sebelum pendirian Sekolah Perempuan. Di desa penelitian di Tanggamus, salah satu perempuan yang memimpin kegiatan peningkatan kesadaran gender berencana (dan masih berniat) mencalonkan diri sebagai Kepala Desa dalam pemilihan Kepala Desa tahun 2020, meskipun pemilihan ditunda karena pandemi COVID-19.
Di desa penelitian di Lombok Timur, perempuan yang terlibat dalam Kelompok Konstituen memobilisasi perempuan lain untuk menggunakan suara mereka secara strategis dalam pemilihan Kepala Desa untuk mendukung pencalonan ketua kelompok tersebut (yang awalnya laki-laki) sebagai Kepala Desa. Ketua Kelompok Konstituen ini berhasil terpilih sebagai Kepala Desa dengan dukungan dari para perempuan di desa ini (lihat kotak di Lombok Timur di Bab 3 dan 4), karena ia telah membuktikan dirinya berkomitmen memerangi kekerasan terhadap perempuan dan juga mendorong peningkatan layanan kesehatan di desa dengan menyediakan layanan ambulans yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Hal inilah yang meningkatkan profil dan popularitasnya.
Partisipasi dalam pengambilan keputusan desa
Partisipasi perempuan dalam pertemuan pengambilan keputusan seperti Musdes dan Musrenbangdes memungkinkan mereka untuk mengangkat isu-isu yang relevan dengan kebutuhan perempuan sehingga menjadi perhatian pemerintah desa dan memengaruhi pengambilan keputusan (yaitu menunjukkan kuasa bersama dengan yang lain untuk mengarahkan keputusan politik dan kebijakan). Partisipasi ini bervariasi di seluruh desa penelitian—jarang terjadi di lokasi ‘kontrol’ dan di sejumlah desa penelitian lainnya, meskipun dalam kasus-kasus yang berkembang di desa penelitian terllihat peningkatan partisipasi dari waktu ke waktu.
Di beberapa desa, kelompok perempuan harus terlebih dahulu memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Di desa penelitian di Cirebon misalnya, awalnya tidak ada perempuan dalam Musrenbangdes dan jarang ada di Musdes. Seperti diilustrasikan pada Bab 3 Cerita Perubahan di desa penelitian Cirebon, pertemuan dilakukan pada malam hari dan norma sosial di desa melarang perempuan berada di luar rumah pada malam hari. Kader kelompok perempuan melobi Kepala Desa untuk mengubah waktu Musrenbangdes. Musrenbangdes kemudian dipindahkan ke Minggu siang, sehingga ada kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi. Mereka kemudian mengadvokasi pendanaan untuk sejumlah inisiatif perempuan dan Peraturan Desa yang baru.
Begitu perempuan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam forum ini, kepercayaan diri mereka tumbuh setiap kali mereka turut serta menyuarakan dan mengajukan usulan (lihat juga Bab 6). Di desa penelitian di Hulu Sungai Utara, dalam pertemuan rutin Pekka, anggota berlatih keterampilan bicara di depan umum, yang meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk kemudian menyuarakan gagasan mereka dalam pertemuan desa:
“Sekarang berani ngomong, berani curhat, sama-sama teman gitu, Percaya diri itu mungkin 2 tahun 3 tahun lah. Belajar ngomong, kalau memimpin acara satu-satu kalau minggu ini, kamu harus memimpin acara, Ibu itu ga bisa sama sekali dulunya. Di desa ini cuman aku yang bisa ngomong. Sekarang di depan bupati dia sudah bisa ngomong.” Ketua kelompok Pekka, desa penelitian di Hulu Sungai Utara, 13 Juli 2019.
Mereka kemudian mengadvokasi peningkatan pelayanan kesehatan di desa dengan merekomendasikan pembelian peralatan Posyandu desa dengan menggunakan Dana Desa.
Demikian pula di Lombok Timur, kemampuan perempuan untuk mengangkat isu-isu yang penting bagi mereka dalam forum-forum ini menghasilkan alokasi dana. Ketua Posyandu yang juga merupakan anggota Kelompok Konstituen diundang untuk mengikuti Musrenbangdes:
“Diundang, karena saya kader Posyandu, konstituen juga. Ngusulin perlengkapan Posyandu, sama-sama kita usul, ngedaftarin kita butuh ini, butuh ini. Di kasih anggaran sedikit.” Ketua Kader Posyandu dan Kelompok Konstituen di desa penelitian di Lombok Timur, 8 Juli 2019.
Partisipasi aktif perempuan dalam musyawarah desa juga berdampak pada posisi mereka di ranah domestik. Misalnya di Hulu Sungai Utara, anggota Pekka mulai mengikuti Musrenbangdes dan dalam pertemuan, mereka melakukan advokasi untuk peningkatan pelayanan kesehatan, dan pelatihan keterampilan ekonomi untuk meningkatkan kemampuan perempuan mendapatkan penghasilan, selain memperkuat posisi tawar mereka di rumah.
Partisipasi dalam forum di tingkat kabupaten untuk memengaruhi keputusan politik dan kebijakan
Selama penelitian, kami menemukan banyak contoh yang menunjukkan bahwa perempuan desa tidak hanya berpartisipasi dalam proses pemerintahan di tingkat desa, tetapi juga di tingkat kabupaten untuk lebih menekankan bahwa mereka dapat menunjukkan kekuasaan mereka bersama dengan yang lain untuk mengarahkan proses dan hasil, khususnya (tetapi tidak selalu) setelah mereka dapat menunjukkan manfaat aksi dan inisiatif kolektif mereka di desa.
Misalnya, di Gresik, anggota Sekolah Perempuan membuat rekomendasi kepada tokoh yang berpengaruh di tingkat kabupaten untuk melakukan investasi yang lebih besar dalam masalah kesehatan perempuan serta program penyuluhan pendidikan bagi perempuan. Di Lombok Tengah, perempuan desa telah dilibatkan dalam memberikan masukan pada inisiatif di tingkat kabupaten untuk mendukung pendaftaran pekerja migran dan untuk membantu menjawab tantangan yang dihadapi pekerja migran. Contoh-contoh lain akan dipaparkan di bab selanjutnya.
Partisipasi dalam satuan tugas, jejaring asosiasi dan desain program, serta mengembangkan program dan implementasi inisiatif
Berpartisipasi dalam inisiatif yang berkontribusi pada pembangunan desa, kabupaten, serta penyediaan layanan tidak hanya merupakan cara untuk memengaruhi desain dan pelaksanaan inisiatif-inisiatif ini sehingga dapat menguntungkan perempuan dan lainnya, tapi juga untuk menunjukan kuasa untuk mengarahkan proses dan hasil, yang sering kali dilakukan dengan perempuan lainnya. Partisipasi dalam inisiatif tersebut juga merupakan cara bagi perempuan untuk membangun profil publik dan legitimasi mereka sebagai aktor yang berpengaruh dan berwenang yang dapat menggunakan kekuasaan lebih lanjut di masa depan. Hal ini sangat membantu para perempuan yang tidak terbiasa terlibat dalam aktivitas yang berhubungan dengan publik, terutama di tempat-tempat dimana terdapat norma gender yang membatasi perempuan di rumah.
Misalnya di Bangkalan, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, kami melihat bagaimana perempuan seperti Ati, Nurul dan Indah berpartisipasi dalam Klinik Konsultasi dan Informasi Desa (KLIK). Ini tidak hanya menambah pembelajaran dan pengetahuan mereka, tetapi juga membantu mereka mengembangkan hubungan dan profil publik yang menjadikan mereka semakin terkenal dan dipercaya. Mereka kemudian menggunakan pengalaman ini untuk melobi dukungan lebih lanjut untuk kegiatan verifikasi dan pendaftaran pernikahan agama berdasarkan prosedur negara. Di Labuhan Batu (lihat Kotak 21 di bawah), perempuan SPI aktif dalam forum multi-pihak untuk memberikan layanan dan dukungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang kemudian meningkatkan pengaruh dan masukan mereka ke dalam rancangan Peraturan Desa untuk mendukung pencegahan kekerasan.
Perempuan desa dalam studi kasus di berbagai lokasi juga berpartisipasi dalam satuan tugas kabupaten dan forum lain untuk merancang dan melaksanakan inisiatif dan layanan lain di bidang kesehatan (Cirebon), pengarusutamaan gender dan replikasi Sekolah Perempuan (Gresik, Pangkep), pencegahan kekerasan (TTU, Tanggamus, Lombok Timur), perubahan praktik penyelesaian sengketa adat (TTU), perlindungan pekerja migran (Lombok Tengah), dan lain-lain.
Dengan mengambil peran publik seperti ini (dan lainnya), perempuan-perempuan ini memberikan teladan bagi perempuan lain dan membantu mematahkan persepsi masyarakat di beberapa desa bahwa peran dan keterampilan utama perempuan hanya berkaitan dengan tugas rumah tangga—kami melihat bagaimana Mita di Bangkalan dan Gita di Lombok Tengah (lihat juga Bab 4) dan banyak perempuan lain menemukan cara untuk mengejar peran aktif yang berorientasi publik sekaligus memiliki keluarga, melalui keinginan dan tujuan mereka menjadi teladan bagi perempuan lain.
Namun, tanpa dukungan dan sokongan dari kelompok (yaitu kuasa yang dimiliki bersamaan dengan orang lain), sulit bagi perempuan untuk mengadvokasi dan mengambil peran kepemimpinan sendirian, khususnya ketika hal ini bukanlah norma yang umum. Kami menemukan situasi ini pada dua perempuan berpengaruh di lokasi ‘kontrol’ penelitian Gresik. Setiap kali penduduk desa ditanya apakah ada pemimpin perempuan atau perempuan berpengaruh di desa, kedua perempuan inilah yang secara konsisten akan ditunjuk. Pertama, ketua PKK, yang dihormati oleh laki-laki dan perempuan pada umumnya di desa—hal ini banyak terkait dengan posisinya di PKK dan organisasi keagamaan perempuan Fatayat—dan telah berhasil memiliki beberapa pengaruh—walaupun terbatas—terhadap implementasi UU Desa, misalnya saat ia mengusulkan pendanaan desa. Selanjutnya, menurut masyarakat, adalah seorang perempuan yang menjadi ketua RT perempuan pertama pada tahun 1999 (dan merupakan salah satu dari sedikit perempuan yang pernah memegang peran seperti itu) yang tidak memiliki kelompok pendukung khusus. Saat diminta memberikan lebih banyak contoh, masyarakat desa sepertinya kesulitan menyebutkannya.
Tidak banyak yang mempertanyakan integritas Ketua PKK, apalagi PKK ini terdiri dari sekelompok kecil elit perempuan di desa dan cenderung menegaskan norma gender perempuan sebagai istri dan ibu. Namun, mantan Ketua RT perempuan ini sempat berjuang untuk melawan norma gender saat ini, mengingat ketika diwawancarai, banyak yang mengatakan bahwa perempuan memang tidak memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin. Akibatnya dia harus bekerja jauh lebih keras lagi untuk mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat, tanpa bantuan orang lain untuk membantah pandangan ini. Penduduk desa di Gresik menjelaskan:
“Saya nggak dengerin Mbak kalau ada yang ngomong jelek-jelek…Ini perempuan bisanya apa..bisa po jadi Ketua RT…lha kan nyatanya kerja saya bagus…saya gesit..lincah gitu kalau nyelesaian kerjaan. Bisa dibandingkan dengan RT yang lelaki. Malah lebih bagus….mungkin terus warga melihat kenyataan itu….akhirnya malah saya dipilih terus.” Perempuan desa, desa ‘kontrol’ penelitian di Gresik, 9 November 2019.
“Ya kita jadi tahu kalau perempuan itu bisa jadi pemimpin karena Ibu Mafiroh jadi Ketua RT. Tahu kalau perempuan itu ya malah lebih gesit, cepat kerjanya dibanding RT lelaki.” Laki-laki desa, desa ‘kontrol’ penelitian di Gresik, 14 November 2019.
“Kalau dulu, kita perempuan ragu-ragu ya…[kita tanya] bisa apa enggak?…ya mungkin karena melihat Ibu ya jadi saya tahu kalau saya perempuan saya bisa kok ngerjain ini itu.” Perempuan desa, desa ‘kontrol’ penelitian di Gresik, 10 November 2019.
“Apa sih istilahnya…inspirasi ya bagi kita perempuan di sini.” Perempuan desa, desa ‘kontrol’ penelitian Gresik, 12 November 2019.
Contoh-contoh di atas menunjukkan pentingnya dukungan kelompok bagi perempuan yang mulai mengambil peran sebagai pemimpin untuk menghadapi rintangan yang sering kali dialami.
Memengaruhi muatan dan pengesahan peraturan desa
Perempuan juga terlibat dalam aksi kolektif dengan memengaruhi muatan peraturan, sekali lagi untuk menggunakan kuasa untuk mengarahkan kebijakan dan hasil, yang sering kali bersama dengan orang lain. Misalnya, di Cirebon, disahkannya Peraturan Desa tahun 2017 tentang Pengelolaan Kesehatan Reproduksi merupakan hasil negosiasi antara kader ‘Aisyiyah dengan pemerintah desa. Para kader yang di tingkat provinsi pernah didampingi oleh kalangan akademisi mengikuti forum FGD di mana mereka terlibat langsung dalam penyusunan peraturan:
“Jadi selain [informasi] yang dikumpulkan oleh kader di dalam forum FGD pertama itu, kemudian ada penambahan, penguatan [dari drafnya], ada juga sanggahan [di beberapa pasal] begitu ya dari pihak-pihak semua yang hadir di FGD kedua, gitu. Nah setelah penyusunan oleh tim desa, kemudian uji publik gitu. Dipanggil [lah] warga masyarakat. Kalau dalam penyusunan kan tidak semua masyarakat ikut ya … Disampaikan, dibacakan satu persatu masih ada nggak sanggahan dan lain sebagainya. Selesai dari situ baru naiklah ke pengesahan. Begitu. Jadi prosesnya seperti tu.” Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah di Jawa Barat, 28 Februari 2019.
Di Lombok Timur, Kelompok Konstituen juga berperan penting dalam disahkannya Peraturan Desa tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Begitu pula di Lombok Tengah, kader DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) dilibatkan dalam perumusan Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dari Desa. Untuk ini, DESBUMI sangat mengandalkan survei yang dilakukan sebelumnya:
“Dari hasil situ kita survei kan kita buat apa-apa saja yang harus dituangkan dalam Perdes [baru] itu. Seperti gimana mereka harus mengurus dokumen mereka, dari mulai sejak mengurus sampai pemberangkatannya. Itu yang poin utama di Perdes itu. Jadinya setelah semua bahan kita terkumpul baru desa membuat rancangannya.” Sekretaris Desa, 5 Juli 2019.
Contoh dari Lombok Timur ini juga menggambarkan bagaimana berbagai bentuk aksi kolektif saling mendukung dan memperkuat satu sama lain, mulai dari pendataan secara partisipatif hingga perumusan substansi peraturan.
13 Seperti yang telah didiskusikan dalam Bab 2, VeneKlasen dan Miller (2002, 39) mengidentifikasi beberapa tipe kuasa, yakni (i) kuasa atas, yaitu tipe kuasa yang paling umum dan memiliki asosiasi negatif untuk banyak orang, termasuk represi, kekayaan, pemaksaan, koersi, diskriminasi, korupsi dan penganiayaan, di mana kuasa dianggap sebagai hubungan yang menguntungkan satu pihak namun merugikan pihak lain; (ii) kuasa dengan, terkait dengan menemukan titik temu antara berbagai kepentingan yang berbeda dan menumbuhkan kekuatan kolektif; (iii) kuasa untuk, merujuk pada potensi unik di setiap individu untuk mengarahkan hidup dan dunianya; dan (iv) kuasa diri, merupakan persepsi setiap orang atas harga diri dan pengetahuan pribadi mereka sendiri.
Jalan di persimpangan: Berpartisipasi dalam kelompok formal dan mendapatkan pengakuan kelompok
Seperti yang telah jelas dari Bab 4, bentuk kunci dari aksi kolektif perempuan dilakukan melalui partisipasi perempuan dalam kelompok perempuan, kelompok gender campuran dan kelompok multi-pihak (kami membahas ini lebih lanjut di Bab 6). Ini terjadi di kedua lokasi ‘kontrol’ dan ‘intervensi’. Partisipasi dalam kelompok seperti itu, terutama kelompok perempuan, dengan sendirinya merupakan bentuk aksi kolektif untuk membangun agensi perempuan (yang sangat terkait dengan kuasa untuk, yakni potensi unik setiap orang untuk membentuk kehidupannya—lihat Bab 2), dan memperkuat kuasa diri perempuan desa (yaitu kepercayaan diri dan harga diri mereka), dan membuat perubahan positif dalam kehidupan perempuan. Menggunakan agensi dan membuat perubahan positif adalah aspek kunci untuk memahami aksi kolektif perempuan dalam studi ini karena hal itu merupakan bentuk kuasa perempuan dengan perempuan lainnya, atau yang dapat dianggap sebagai sebuah bentuk agensi kolektif. Partisipasi dan aksi kelompok juga dapat menjadi bagian dari jalan bagi perempuan untuk memberikan lebih banyak (tapi tidak secara eksklusif) kuasa atas struktur yang lebih luas di masyarakat dan dalam pengambilan keputusan di desa dan ranah yang lebih luas. Melalui jalur ini, perempuan menjalankan pengaruh atas struktur yang memengaruhi tata kelola dan struktur yang membentuk norma sosio-budaya, terutama ketika kelompok berusaha untuk berinteraksi dan melakukan perubahan dalam struktur kekuasaan ini (tidak semua kelompok melakukannya, bahkan ketika mereka dapat meningkatkan kesejahteraan).
Peningkatan agensi perempuan
Kami mengamati, sebagaimana dibahas dalam Bab 4, banyak manfaat yang diperoleh dari partisipasi kelompok sebagaimana dijelaskan oleh para perempuan, yang sebagian besar merupakan manfaat berbentuk modal sosial yang membantu mendukung agensi perempuan. Hal ini didiskusikan lebih lanjut dalam Bab 6. Seperti yang telah dibahas di Bab 3, perempuan di dua lokasi ‘kontrol’ sebagian besar berpartisipasi dalam kelompok korporatis negara seperti PKK dan Posyandu, yang mendukung sebagian perempuan di desa-desa ini untuk meningkatkan kesejahteraan dalam batasan norma gender tertentu. Di lokasi ‘intervensi’, kelompok perempuan (dan kelompok beranggotakan gender campuran yang bertujuan mengadvokasikan kepentingan perempuan) lebih bervariasi dengan keanggotaan yang beragam, contohnya dikutip dalam seluruh laporan ini dan lebih banyak contoh akan dikutip dalam Bab 6. Misalnya, cerita perubahan berdasarkan studi kasus di desa penelitian di Cirebon, perempuan dalam kelompok Balai Sakinah ‘Aisyiyah (beberapa anggotanya tapi tidak semuanya merupakan anggota PKK), sekarang secara rutin menghadiri rapat pengambilan keputusan desa.
Memengaruhi struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan
Berdasarkan UU Desa semua anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam Musdes dan Musrenbangdes, namun pada praktiknya keikutsertaan di dalam forum-forum tersebut cenderung hanya berdasarkan undangan. Kami melihat hal ini terjadi di dua desa ‘kontrol’ penelitian, dijelaskan di Bagian 3, dan juga di banyak desa penelitian lainnya. Berkaca pada realitas di banyak desa, penelitian ini menunjukkan jelas ketika kelompok-kelompok perempuan diakui secara sah dan resmi sebagai mitra pemerintah di berbagai tingkatan, semakin terbuka kesempatan bagi kelompok-kelompok ini untuk mendapatkan undangan resmi dalam forum-forum pengambilan keputusan serta terlibat dalam berbagai jaringan, diskusi dan forum multi-pihak di berbagai isu.
Sebagai contoh, dalam studi kasus yang menunjukkan gambaran umum perubahan di desa penelitian di Lombok Timur yang disajikan pada Bab 4, kami melihat bagaimana pengakuan formal kepada Kelompok Konstituen Maju Mele dalam Peraturan Desa tentang Perlindungan Perempuan dan Anak telah membuat kelompok tersebut diundang ke rapat pengambilan keputusan desa. Hal serupa terjadi di desa penelitian lain yang memiliki kelompok-kelompok yang telah diakui dalam Peraturan Desa, yang juga membukakan jalan untuk alokasi Dana Desa bagi kegiatan kelompok. Kami dapat melihat bahwa proses-proses tersebut juga terjadi dalam studi kasus proses perubahan yang lebih besar di Labuhan Batu sebagaimana terlihat dalam Kotak 21. Di sini kami melihat dua jenis kelompok yang melakukan aksi—Serikat Perempuan Independen (SPI) di desa dan Layanan Berbasis Komunitas (LBK) multi-pihak. Aksi kolektif mereka dan advokasi yang lebih luas mengarah pada pembentukan Posko Pelayanan Perempuan, kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan dukungan untuk perempuan yang mengalami kekerasan, pengesahan Peraturan Desa untuk mendukung upaya kolaboratif ini dan janji alokasi Dana Desa.
Kotak 21: Cerita Perubahan di Labuhan Batu—Memengaruhi Perubahan dalam Penanganan KDRT melalui Forum Berbasis Komunitas
Di desa penelitian di Kabupaten Labuhan Batu di Sumatera Utara, perempuan desa berupaya memengaruhi perubahan cara penanganan kasus KDRT dan memberikan dukungan kepada perempuan yang mengalami kekerasan. Faktor-faktor penyebab tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di desa penelitian Labuhan Batu bervariasi menurut penduduk desa, antara lain kenakalan remaja, perkawinan anak, penggunaan narkotika, dan beban rumah tangga dalam kemiskinan. Berbagai hambatan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga terdapat, antara lain kurangnya tempat penampungan untuk menerima dan memproses pengaduan kekerasan di desa dan kecamatan, serta kurangnya kolaborasi antar layanan yang tersedia.
Serikat Perempuan Independen (SPI) di Labuhan Batu berupaya mendukung perempuan di desa penelitian Labuhan Batu untuk mengatasi beberapa tantangan ini melalui aksi kolektif. SPI mendukung perempuan desa untuk membentuk kelompok SPI di tingkat desa. Persatuan perempuan desa inilah yang menjadi motor penggerak dalam advokasi dan dukungan bagi korban KDRT di desa penelitian. SPI Labuhan Batu tingkat kabupaten memberikan pelatihan kesetaraan gender, paralegal dan pelatihan lainnya bagi perempuan dan orang lain di desa.
SPI desa mendirikan Posko Pelayanan Perempuan untuk menangani kasus-kasus KDRT dan memberikan ruang aman bagi perempuan untuk terlibat dan mendapatkan dukungan. Ketua serikat SPI desa, Yuli, menjelaskan pentingnya Posko ini untuk perempuan:
“Kalau dulu orang lebih banyak takutnya kalau cerita masalah keluarga, karena dianggapnya masih tabu. Jadi orang lebih diam daripada ngomong terus malah jadi omongan orang. Tapi setelah ada Posko SPI, sekarang orang dikit-dikit lapor ke posko. Posko jadi tempat curhat.” Yuli, 13 Oktober 2019.
SPI desa juga membangun jejaring dengan para pemimpin desa, khususnya Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), untuk mengadvokasi dukungan yang lebih luas untuk pencegahan KDRT, yang pada akhirnya didukung oleh pemerintah desa dan tokoh serta kelompok berpengaruh lainnya di desa. Kolaborasi dan aksi kolektif lintas pemangku kepentingan tersebut menghasilkan pembentukan Layanan Berbasis Komunitas (LBK) pada tahun 2016, yang terdiri dari SPI desa dan para tokoh kunci dari pemerintah desa, BPD, serta tokoh agama dan masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Dengan dibentuknya LBK pada tahun 2016, anggota SPI mengalihkan tanggung jawab penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari anggota SPI menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Anggota SPI juga mengundang anggota kelompok masyarakat lain seperti Karang Taruna, PKK, Posyandu serta kelompok religius dan pemuda untuk bergabung.
Kerjasama yang meningkat antara SPI dan Pemerintah Desa dipimpin oleh pemimpin seperti Wakil Ketua SPI, Tari yang mulai menghadiri rapat desa pada awal tahun 2016. Seperti banyak warga lainnya, Tari adalah pendatang dari Bandung, dan tiba di desa tersebut pada tahun 2004. Selama bertahun-tahun Tari tidak tertarik dengan SPI dan lebih memilih tinggal di rumah daripada mengikuti kegiatan komunitas. Tari awalnya datang ke pertemuan pada tahun 2015 karena merasa wajib.
“Pertama kali dateng kegiatan SPI karena diajak dan ya, saya pikir nggak rugi-rugi banget dapet kue dan kalau kegiatannya di luar desa bisa naik mobil. Tapi kemudian lama-lama kok saya paham sama materinya, dan saya suka.” Tari, desa penelitian di Labuhan Batu, 13 Oktober 2019.
Tari juga mengikuti pelatihan SPI tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dan dengan cepat menjadi lebih aktif di SPI dan LBK. Sejak 2016, Tari lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan desa serta dalam advokasi dan perumusan Peraturan Desa.
“Dulu kami diwajibkan datang musyawarah dusun awalnya sama Kak Liana, Ketua kami. Dan kalau datang harus ngomong. Ngapain datang duduk doang, katanya. Aku dulu males gitu ya datang gitu-gitu, apalagi ngomong. Males dan nggak peduli. Kadang mau ngomong, tapi mulut nggak bisa ngomong udah gemetar duluan, dan percuma gitu mikirnya kalau mau ngomong. Tapi kemudian ingat pesan Kak Liana. Akhirnya pelan-pelan berani ngomong. Misalnya pas sesi tanya jawab sekarang ya langsung tanya aja, tapi sebelumnya kita bekalin diri dengan baca undang-undang gitu. Minimal garis besar dan nomor undang-undangnya kita tahu, jadi saat orang dengar mereka pikir kita sudah paham.” Tari, desa penelitian Labuhan Batu, 13 Oktober 2019.
Memang aksi kolektif lintas pemangku kepentingan melalui LBK berhasil melahirkan Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan berdasarkan UU Desa, dan komitmen alokasi dana dari Dana Desa. Tari memiliki peran inti dalam memelopori kolaborasi tersebut. Ia rutin berinteraksi dengan Ketua BPD dan Kepala Desa untuk memastikan bahwa Peraturan Desa dirancang, disahkan (dan sekarang dilaksanakan) oleh lembaga pemerintah desa.
Di desa penelitian, peningkatan kesadaran akan prevalensi kekerasan juga telah menyebabkan perluasan definisi kekerasan dalam rumah tangga di desa penelitian melampaui kekerasan fisik dan mencakup kekerasan psikologis, seperti penelantaran, dan perselingkuhan, meskipun definisi tersebut belum dikodifikasi dalam Peraturan Daerah.
SPI di desa penelitian Labuhan Batu (dan SPI Kabupaten) juga merupakan satu-satunya organisasi yang mendata laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di tingkat desa dan memberikan nasehat paralegal kepada perempuan untuk melakukan proses perceraian. SPI menerima laporan kekerasan dan mendukung perempuan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Meskipun perempuan mempercayai SPI dan melaporkan kasus kekerasan, tuduhan ini mungkin tidak akan ditindaklanjuti oleh polisi.
“Polisi nggak bisa diandelin di sini. Saya cuma bisa lapor SPI aja, walaupun nggak banyak yang berubah juga dari laki saya—tapi yang penting saya punya tempat curhat. Mau ada Perdes juga, dulu dibawa ke kantor desa, dibilang ada sanksi dari Perdes kalau melakukan tindak kekerasan, lalu sanksinya uang. Bayarpun nggak bakal punya uang, apa yang mau dibayar?” Gina, desa penelitian di Labuhan Batu, 17 Oktober 2019.
Pengalaman Gina menggambarkan tantangan yang terus menerus dihadapi oleh perempuan desa dalam menangani kekerasan dan kebutuhan berkelanjutan untuk kerja sama yang lebih dalam.
Memang, semua perubahan ini sedang berlangsung di desa tetapi bukannya tanpa tantangan. Pertama, alokasi Dana Desa untuk pelaksanaan Peraturan Desa yang baru belum sepenuhnya dapat dicairkan. Kedua, meski Peraturan Desa telah mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan, implementasinya kurang diawasi, apalagi jika pelakunya adalah tokoh elit di desa. Hal ini menandakan norma sosial di desa hanya bergeser sebagian dan tertinggal dari perubahan kelembagaan yang lebih luas. Ketiga, kolaborasi dengan pemerintah kabupaten telah terhambat oleh seringnya pergantian pejabat pemerintah, seperti yang biasa terjadi pada titik tertentu dalam siklus politik. Meskipun demikian, studi kasus ini menunjukkan bagaimana pun, dengan dukungan aksi kolektif perempuan desa, SPI Labuhan Batu telah memainkan peran yang signifikan dalam memengaruhi perubahan pada pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Pengakuan kelompok perempuan dan kegiatan mereka dalam Peraturan Desa membantu, tetapi tidak sepenuhnya mencegah kelompok untuk dikecualikan dari struktur pengambilan keputusan. Kami melihat dalam pengalaman Juli (lihat Bab 4) dalam desa ‘intervensi’ di Pangkep bahwa Kepala Desa yang baru berusaha untuk tidak melibatkan lagi kelompok Sekolah Perempuan yang sebelumnya secara teratur diundang untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan, karena kelompok ini dianggap sebagai pendukung kepemimpinan sebelumnya. Meskipun demikian, upaya untuk mendapatkan pengakuan kelompok perempuan oleh para tokoh otoritatif, secara keseluruhan, di banyak tempat telah berperan penting dalam peningkatan aksi kolektif dan pengaruh perempuan.
Bentuk aksi kolektif informal
Seperti disebutkan di atas, bentuk aksi kolektif informal sangat penting untuk inklusi gender dan pemberdayaan perempuan. Bentuk aksi kolektif informal di satu sisi adalah umum di seluruh lokasi penelitian, tetapi di sisi lain sangat lazim dan penting di area yang paling sulit di mana norma-norma sosial atau hambatan lain sering menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif formal, atau karena perempuan memandang struktur informal lebih efektif (lih. Agarwal, 2000). Terlepas dari itu, strategi informal perempuan mungkin memainkan peran penting dalam kohesi sosial (DeSena, 2000) dan pada gilirannya, ini memperkuat pengaruh kolektif perempuan di berbagai domain, dan dengan demikian memperbesar potensi kuasa mereka untuk dan dengan guna menciptakan perubahan.
Dalam pembahasan tentang aksi kolektif informal ini, kami mempertimbangkan bagaimana perempuan dalam penelitian ini berpartisipasi dalam aksi kolektif informal melalui banyak mekanisme, mulai dari pengumpulan data partisipatif (dengan data juga digunakan dalam forum pengambilan keputusan yang lebih formal untuk melobi perubahan kebijakan) hingga menciptakan ruang informal perempuan, aksi yang lebih berisiko, seperti protes atau hadir tanpa pemberitahuan pada pertemuan pengambilan keputusan yang tidak melibatkan perempuan. Gambar 16 menguraikan bentuk-bentuk kunci yang diidentifikasi di lokasi penelitian. Sebagian besar berkaitan dengan pembentukan dan penguatan jejaring informal dengan perempuan lain, anggota masyarakat, dan aktor otoritatif. Seperti yang akan kita lihat, jejaring seperti itu penting untuk mengaktifkan dan mendorong berbagai bentuk aksi kolektif yang saling terkait ke arah perubahan yang lebih luas, karena perempuan dapat memanfaatkan jejaring yang berkembang ini untuk mengumpulkan dukungan dari orang lain dan kemudian melakukan aksi kolektif lebih lanjut bersama-sama (dibahas terpisah di akhir Bab 5.3 ini).
Gambar 16: Bentuk Aksi Kolektif Informal Perempuan

Pengumpulan data partisipatif, peningkatan pengetahuan dan pemanfaatan data untuk melakukan lobi
Perempuan bekerjasama dengan pemerintah desa mengumpulkan data tentang masalah-masalah mendesak di masyarakat, terutama yang dialami perempuan. Hal ini tidak hanya memberi perempuan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan yang dihadapi, dan isu-isu penting lain bagi perempuan dan anggota masyarakat, tetapi juga merupakan bentuk aksi kolektif informal karena perempuan juga bekerjasama dengan perempuan lain. Pengumpulan data partisipatif mengembangkan pengetahuan perempuan sendiri (memperkuat kuasa diri mereka) dan dalam proses pengumpulan data, ada mekanisme yang memungkinkan perempuan berhubungan dengan penduduk desa untuk memengaruhi pengambilan keputusan desa (meningkatkan potensi kuasa perempuan untuk memberikan pengaruh, dan dengan lainnya). Perempuan juga kemudian menggunakan data baik untuk aksi kolektif formal mereka (seperti dalam mengajukan proposal di Musrenbangdes), tetapi juga dalam kegiatan lobi informal mereka untuk membujuk tokoh otoritatif untuk mendukung inisiatif mereka. Misalnya, kader DESBUMI di desa penelitian di Lombok Tengah melakukan survei tentang pengalaman dan isu pekerja migran. Hasil survei ini tidak hanya relevan dengan DESBUMI, tetapi juga pemerintah desa:
“Keberadaan Desbumi ini, sangat membantu pemerintah desa. Yang tadinya desa tidak punya data, sekarang sudah punya. Yang tadinya masyarakat tidak mau melaporkan siapa saja yang berangkat, sekarang mereka sudah melalui desa. Termasuk juga kasus-kasus yang terjadi di desa ini, sudah mampu difasilitasi oleh teman-teman kader Desbumi. Nah itulah manfaatnya, sehingga kan kita tidak hanya mengeluarkan uang, tapi tidak banyak kerjaan. Terbantulah mereka. Harusnya tanggung jawab desa, itu dilimpahkan ke mereka ini.” Mantan Kepala Desa, desa penelitian di Lombok Tengah, 7 Juli 2019.
“Kayak testimoni langsung kepada mereka kan. Sehingga nanti itu yang kita informasikan semua ke masyarakat, bahwa kita sudah melakukan survei di desa, dari 300 orang mantan pekerja migran, dan hasilnya itu ini. Dan hasil ini juga kita tunjukkan ke desa. Dan untuk membuka pikiran bahwa ternyata banyak kasus yang terjadi di desa saya yang selama ini saya nggak pernah tau.” Koordinator lapangan Panca Karsa, 2 Juli 2019.
Demikian pula melalui keterlibatannya di Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK), kader Pekka di desa penelitian di Bangkalan mengumpulkan data tentang kebutuhan prioritas masyarakat di desa, yaitu dokumen kehidupan vital yang diperlukan untuk mengakses program perlindungan sosial. Selama pengumpulan data, mereka juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya dokumen tersebut untuk legalitas identitas agar dapat mengakses program dan layanan yang tersedia. Data yang terkumpul diberikan kepada perangkat desa dan digunakan sebagai sarana untuk melobi perangkat desa agar dapat mengalokasikan sebagian Dana Desa untuk pengurusan akta nikah. Untuk memfasilitasi hal tersebut, pemerintah desa mengeluarkan Peraturan Desa baru untuk memberikan pelayanan gratis untuk mengurus akta nikah.
“Nah, setelah KLIK itu kami adakan diskusi kampung, karena kan untuk tindak lanjut hasil dari data itu. Data hasil KLIK itu [kita tanya] ‘Ini Pak Klebun [Kepala Desa] atau Pak Apel [Kepala Dusun] ini mau diapakan?’. Kami rapat dulu, ada namanya diskusi kampung. Jadi di sana ada tokoh masyarakat, tokoh agama, terus ada beberapa kader [PEKKA], masyarakatnya juga ada beberapa, sama Kepala Desa dan apelnya ada di situ, kumpul jadi satu di sana. Jadi kalau diisbat [disidangkan] Klebun itu harus saring dulu [warganya], karena kan kalau isbat itu yang masuk prodeo, kami melayani yang benar-benar miskin. Jadi tidak melayani orang yang mampu.” Kepala PEKKA Bangkalan, 25 Februari 2019.
Melalui survei ini, legitimasi kelompok perempuan (dan organisasi pendukung) ditingkatkan. Hal ini kemudian memengaruhi kemauan pemerintah desa untuk melibatkan perempuan dalam musyawarah desa.
Interaksi informal sehari-hari dengan tokoh-tokoh berpengaruh untuk membangun hubungan dan jejaring
Perempuan juga terlibat dalam aksi kolektif dengan mendekati tokoh-tokoh kunci dan berpengaruh di pemerintahan desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa, tokoh sosial, dan tokoh masyarakat berpengaruh lainnya, sering kali melalui interaksi sehari-hari secara informal. Interaksi ini membantu membangun hubungan dan jejaring dengan para tokoh tersebut yang dapat digunakan untuk menggalang dukungan atas inisiatif perempuan dari waktu ke waktu. Pada intinya, perempuan menemukan cara informal untuk menggunakan kuasa dengan orang lain untuk membuat perubahan yang positif bagi perempuan.
Misalnya, di Lombok Timur, perempuan bertemu dengan Kepala Desa di kantor dan rumahnya, di luar pertemuan formal (Musrenbangdes) untuk membahas masalah akses ke layanan air minum. Di Pangkep, perempuan bertemu Bupati di sebuah kedai untuk membahas masalah perempuan. Di Labuhan Batu, anggota Serikat Pekerja Independen membangun hubungan informal yang kuat dengan anggota BPD, yang penting untuk aksi kolektif berjejaring yang melibatkan perempuan dan para pemimpin yang akan dibahas di akhir pembahasan dalam bab ini.
Melalui pendekatan informal ini, tokoh-tokoh kunci di pemerintahan menjadi lebih akrab dengan OMS dan kelompok perempuan dan pada gilirannya terbukti lebih tanggap terhadap isu-isu yang mereka angkat. Selain itu, kelompok-kelompok ini sering kali membangun kepercayaan diri perempuan untuk berinteraksi dengan tokoh berpengaruh, dan dengan demikian, membentuk batu loncatan bagi keterlibatan perempuan secara informal dalam proses tata kelola pemerintahan desa:
“Ngobrol sih [dengan Sekretaris Desa], bisa langsung santai orangnya.” Kader DESBUMI, desa penelitian di Lombok Tengah, 6 Juli 2019.
Intervensi di forum yang menyisihkan perempuan
Perempuan juga terlibat dalam aksi kolektif dengan mengakses proses-proses yang belum mengikutsertakan mereka. Ini adalah cara perempuan mengakses forum yang dihadiri penduduk desa untuk menggunakan kuasa mereka atas keputusan yang diambil. Misalnya di Lombok Tengah, ada satu kejadian di mana Kepala Desa lupa mengundang kader DESBUMI ke pertemuan. Sebagai tanggapan, anggota DESBUMI memutuskan untuk tetap pergi ke kantor Kepala Desa:
“Nah, seperti yang diketahui mantan Kepala Desa tentang program kami, [kami pikir sebaiknya] santai saja! Kalau mau pakai apa saja [ruangan dan perlengkapan desa], kalau mau pelatihan misalnya mau pakai aula atau apalah, terserah kami. Sebelumnya, kami selalu terlibat dalam kegiatan dan diajak ke segala hal. Sekarang kami perlu surat, tapi mungkin dia hanya lupa. Dulu, pada saat penyusunan RPJMDes, kami adalah salah satu lembaga di desa, kenapa sekarang kami dilupakan seperti ini? Oh, [karena] tidak ada undangan, kami akan datang saja, itu yang kami katakan.” Kader DESBUMI, 6 Juli 2019.
Kami juga mengamati dalam Bab 4 bagaimana anggota kelompok Sekolah Perempuan di desa ‘intervensi’ penelitian di Pangkep hadir tanpa diundang di Musrenbangdes karena secara sengaja tidak diundang oleh Kepala Desa. Ini merupakan tindakan yang berani mengingat Kepala Desa telah secara terang-terangan memusuhi perempuan-perempuan ini.
Menciptakan ruang informal perempuan
Ruang informal tempat perempuan dapat terlibat dalam aksi kolektif, sering kali, tetapi tidak selalu merupakan perluasan kelompok formal yang mewadahi partisipasi perempuan. Melalui ruang informal ini, perempuan terlibat dalam aksi kolektif untuk membangun kesejahteraan dengan membangun kuasa bersama dengan perempuan lain dalam aktivitas sehari-hari. Di lokasi penelitian, ada banyak ruang informal tempat perempuan berkumpul, membangun hubungan atau memperkuat jejaring dan persahabatan dan menggunakannya untuk saling mendukung dan untuk mengakses bentuk lain dari modal dan sumber daya sosial. Ruang umum termasuk Kelompok WhatsApp, kelompok media sosial, berkumpul di Pusat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pusat kesehatan, dan antara lain, sering berkumpul di ruang tertentu di pasar.
Menciptakan ruang informal semacam itu juga memberikan perempuan kesempatan dalam banyak kasus untuk membangun hubungan yang lebih luas dengan masyarakat. Misalnya, DESBUMI di desa penelitian di Lombok Tengah meningkatkan kesadaran tentang migrasi yang aman dan mendengar keluhan dari penduduk desa melalui percakapan sehari-hari antar tetangga. Kader DESBUMI kemudian menindaklanjutinya dengan pemerintah desa. Anggota merasa ini cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang, karena di desa orang tinggal berdekatan satu sama lain. Oleh karena itu, lebih mudah untuk menyampaikan informasi melalui pendekatan pribadi, informal, dari mulut ke mulut daripada melalui acara formal di kantor desa. Misalnya, di Lombok Tengah kader DESBUMI bertemu di luar tanpa ada ruang untuk berkumpul:
“Karena kita kan dikira ngga aktif, karena memang kita ngga punya ruangan jadinya kita kalau ngantor itu dibawah pohon nangka itu saja.” Kader DESBUMI, desa penelitian di Lombok Tengah, 6 Juli 2019.
Ruang informal seperti itu terlihat jelas di lokasi penelitian lainnya (tetapi bukan subjek penelitian lapangan mendalam). Misalnya, di Kabupaten Lombok Utara, anggota kelompok perempuan yang dibentuk oleh salah satu mitra KAPAL Perempuan, yang bertindak cepat setelah gempa meluluhlantahkan wilayah tersebut pada 2018. Mereka memimpin kegiatan rehabilitasi dan mendukung banyak orang di desa yang kehilangan orang yang mereka cintai dan rumah mereka. Untuk mendapatkan dana dari Dana Desa dalam upaya rehabilitasi, mereka membangun balai pertemuan perempuan berupa pendopo bertingkat tepat di sebelah kantor desa.
Pendopo ini digunakan untuk pertemuan perempuan dan tempat penitipan anak. Perempuan di sana menjelaskan mereka sengaja membangunnya di depan kantor desa dan di atas tanah yang diuruk untuk mengingatkan bahwa perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam desa.
Protes
Protes adalah bentuk lain dari aksi kolektif yang dilakukan oleh kelompok perempuan di desa penelitian, meskipun jarang dan sering kali sebagai upaya terakhir di desa mengingat potensinya dalam memunculkan benturan kekuasaan dan menyulitkan kehidupan sosial di desa, serta memecah belah anggota kelompok. Namun dalam beberapa kasus, kelompok perempuan menganggapnya penting. Di desa penelitian Pangkep misalnya, pergantian Kepala Desa menunjukkan adanya upaya untuk menyingkirkan anggota kelompok Sekolah Perempuan dan mengingkari komitmen untuk menyediakan dana untuk kegiatan mereka dari Dana Desa sebagaimana yang dilakukan pimpinan desa sebelumnya. Anggota kelompok memasang spanduk di luar salah satu ruang pertemuan mereka, tepat di seberang kantor desa. Desa itu kecil, dan penduduk desa harus melewati spanduk ini untuk melakukan urusan sehari-hari. Sebagaimana disebutkan di Bab 4, aksi protes ini dilakukan untuk mempermalukan dan menekan pemerintah desa.
Perkumpulan Panca Karsa di Lombok Tengah juga pada awalnya mengalami penolakan ketika melakukan pendekatan kepada pejabat eksekutif di tingkat kabupaten, terutama pejabat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Instansi-instansi tersebut menolak gagasan untuk membuat Peraturan Daerah yang melindungi pekerja migran, karena peraturan tersebut dianggap tidak akan membantu menyelesaikan masalah pekerja migran. Panca Karsa kemudian membawa ide tersebut kepada anggota legislatif dan mendapatkan respons yang lebih positif. Mereka juga menggelar unjuk rasa bersama anggota DESBUMI dan keluarga pekerja migran dari lima desa, membawa poster dan spanduk untuk menyuarakan aspirasi mereka mengenai peraturan tersebut.
“Lupa temanya tapi banyak yang diusulkan dari hotel untuk curi perhatian publik, rame, kita teriak-teriak juga untuk terima. Kita orasi dulu depan kantor DPR baru kita diterima untuk diskusi.” Saripah, anggota La Tansa, desa penelitian di Lombok Tengah, 9 Juli 2019.
“Dalam proses penyusunan Perda, staf dan aktivis buruh migran di desa terlibat dalam hearing yang dilakukan oleh DPRD. Ada sekitar 16 orang yang ikut hadir meliputi staff DESBUMI dan anggota Kelompok Pemerhati Buruh Migran [La Tansa].” Staf Panca Karsa, 9 Juli 2019.
Pola dalam bentuk dan intensitas aksi kolektif perempuan
Perempuan terlibat dalam berbagai bentuk aksi kolektif, baik formal maupun informal, di semua lokasi penelitian. Namun, pola dapat dibuat terkait dengan intensitas berbagai bentuk aksi kolektif di desa penelitian, dipilah berdasarkan jenis konteks yang berbeda, sebagaimana terlihat dalam kerangka kerja yang kami cantumkan di Bab 3. Di bawah ini, Gambar 17 menguraikan pola berbagai bentuk aksi kolektif yang diidentifikasi di desa-desa penelitian, tidak hanya dalam studi kasus tentang Cerita Perubahan tetapi juga dalam analisis wawancara, diskusi kelompok terfokus (FGD), kisah perjalanan kehidupan perempuan, analisis konteks desa dan kabupaten, dan observasi.
Banyak bentuk aksi kolektif yang saling terkait, terkadang berurutan, terkadang tumpang tindih dan sering kali saling memperkuat dalam proses dan trajektori perubahan yang dipetakan di desa, terutama yang menyebabkan perempuan memiliki pengaruh yang lebih besar pada struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.
Pada Gambar 17, kami memilah bentuk-bentuk aksi kolektif dalam konteks yang sangat sulit (kuning), cukup sulit (hijau) dan cukup kondusif (biru). Warna yang lebih gelap menunjukkan bentuk aksi kolektif yang lebih sering dan intens. Abu-abu menunjukkan kami tidak menemukan contoh di lokasi penelitian dalam berbagai bentuk analisis. Pengurutan berbagai bentuk aksi kolektif harus digunakan sebagai alat heuristik, karena bentuk mana yang lebih atau kurang formal dapat diperdebatkan. Urutan telah diatur semaksimal mungkin untuk menyampaikan, dalam skala yang semakin besar, tingkat pengaruh langsung dan formal terhadap struktur tata kelola pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Pertama, pada Gambar 17 di bawah ini, kami dapat melihat bahwa di dua desa ‘kontrol’ terdapat bentuk dan intensitas aksi kolektif perempuan yang lebih terbatas dibandingkan dengan desa lain. Kami juga melihat bahwa ada upaya yang lebih intens di desa ‘intervensi’ untuk membentuk atau memperluas kelompok desa yang pada kebanyakan kasus adalah kelompok perempuan (selain kelompok lain dan kelompok campuran multi-pihak) dan dalam satu kasus adalah kelompok gender campuran dengan fokus utama pada masalah perempuan. Di semua lokasi penelitian, secara umum ditemukan ruang informal bagi perempuan, dengan intensitas tindakan yang lebih besar atau lebih kecil.
Pada Gambar 17 juga terlihat bahwa keragaman tertinggi dalam hal bentuk dan intensitas aksi kolektif dapat ditemukan dalam konteks yang cukup sulit (dengan pengecualian di desa ‘kontrol’ di Pangkep), seperti Lombok Tengah dan Timur, serta Cirebon dan Gresik. Dalam konteks ini, aksi kolektif formal perempuan mencakup penggunaan data yang dikumpulkan (meskipun kami telah menggabungkannya dalam pembahasan bentuk aksi kolektif di atas, kami telah memilah pengumpulan dan penggunaannya di sini), partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa dan/atau kabupaten, dan partisipasi perempuan dalam penyusunan dan pengesahan regulasi untuk mencoba dan menciptakan perubahan. Dalam konteks ini, kami juga melihat berbagai bentuk aksi kolektif informal, mulai dari ruang informal dan keterlibatan pribadi dengan tokoh-tokoh berpengaruh, hingga intervensi dalam forum. Berbagai macam bentuk aksi kolektif yang terlihat dalam konteks ini menunjukkan bahwa ketika terdapat indikasi bahwa perubahan mungkin saja atau mulai terjadi, aksi kolektif diintensifkan. Dalam beberapa hal, terlepas dari tingkat kesulitan yang ada, terdapat lingkungan yang merupakan ruang yang lebih kondusif untuk aksi kolektif dalam berbagai bentuk, terutama jika dibandingkan dengan konteks yang sangat sulit. Lebih penting lagi, terlibat dalam berbagai bentuk aksi kolektif juga membuka banyak jalan dan strategi bagi perempuan untuk menggunakan agensi mereka dan pada gilirannya kemampuan mereka untuk memengaruhi implementasi UU Desa.
Gambar 17: Pola dalam Bentuk dan Intensitas Aksi Kolektif Perempuan, Berdasarkan Desa

Dalam konteks yang sangat sulit, seperti Timor Tengah Utara, Bangkalan, Labuhan Batu, dan desa ‘intervensi’ penelitian di Pangkep, terdapat peluang yang jauh lebih kecil bagi kelompok perempuan untuk terlibat dalam berbagai bentuk aksi kolektif yang lebih formal, seperti dalam banyak kasus, aksi langsung tetap berisiko (bahkan berbahaya) dalam lingkungan yang sering kali sangat represif, atau disertai dengan kekhawatiran yang signifikan akan pengucilan sosial dari komunitas kecil dan erat. Namun bahkan dalam lingkungan yang menantang ini perempuan menemukan cara untuk terlibat dalam aksi kolektif, terutama bentuk aksi kolektif informal, sedangkan bentuk aksi kolektif yang lebih formal cenderung didorong oleh dukungan dari OMS. Melalui ruang informal perempuan, rasa memiliki dan komunitas dipupuk di antara perempuan, sehingga memberikan dasar bagi bentuk lain dari aksi kolektif perempuan. Demikian pula, dalam konteks ini, kegiatan pendataan memberikan jalan bagi perempuan untuk terlibat langsung dengan isu-isu mendesak di desa mereka dengan cara yang tidak konfrontatif, sekaligus memberikan informasi praktis kepada pemerintah desa. Pada gilirannya, hal ini memberikan legitimasi kepada kelompok perempuan yang lebih formal di desa-desa yang sangat penting bagi mereka untuk mengembangkan kegiatan. Seperti dalam konteks yang cukup sulit, mencari interaksi baru sehari-hari dengan aktor sosial dan politik otoritatif di luar kelompok penting untuk membangun kepercayaan dan mengenal aktor-aktor ini untuk dukungan kemudian dan aksi kolektif berjejaring.
Sementara itu, dalam konteks yang cukup kondusif (Tanggamus, Hulu Sungai Utara dan Bantul di Yogyakarta), aksi kolektif semakin bersifat formal. Hulu Sungai Utara dianggap cukup kondusif karena keterbukaan kepemimpinan di berbagai tingkat pemerintahan untuk meningkatkan inklusivitas gender, namun juga melihat berbagai aksi kolektif informal untuk mendukung proses ini.
Meskipun cakupan aksi kolektif bervariasi menurut konteks, banyak bentuk yang saling menguatkan. Ketika kami memadatkan pola-pola ini untuk meninjau kembali bentuk-bentuk aksi kolektif perempuan yang paling umum di setiap jenis konteks (lihat Gambar 18 di bawah), kami dapat mengamati bahwa intensitas bentuk-bentuk aksi kolektif perempuan yang lebih informal terlihat paling menonjol dalam konteks yang sangat sulit, dan bentuk tindakan yang lebih formal yang lebih mudah diakses dalam hal intensitas terdapat dalam konteks yang cukup sulit dan kondusif. Protes jarang terjadi di semua desa ‘intervensi’ penelitian, berpartisipasi dalam satuan tugas dan pelaksanaan proyek memiliki tingkat intensitas menengah yang serupa, sedangkan fokus untuk memberikan masukan dalam perumusan dan pengesahan peraturan terjadi secara signifikan setiap konteks, sebuah strategi yang sering didorong oleh OMS yang mendukung perempuan (lihat Bab 7).
Gambar 18: Pola dalam Bentuk dan Intensitas Aksi Kolektif Perempuan, Berdasarkan Konteks

Aksi kolektif berjejaring
Di seluruh lokasi penelitian, tetapi paling intens terjadi dalam konteks yang paling sulit, serangkaian proses aksi kolektif, terutama yang didorong oleh upaya perempuan untuk membangun hubungan dan jejaring kepercayaan dengan aktor otoritatif dengan pengaruh atas proses tata kelola dan norma sosial, berkontribusi pada apa yang disebut dalam penelitian ini sebagai aksi kolektif perempuan berjejaring. Yakni upaya yang dilakukan perempuan dan aktor lainnya untuk bersama-sama berupaya memengaruhi tata kelola, pembangunan, program kebijakan, dan struktur kekuasaan agar lebih inklusif gender. Aksi kolektif berjejaring melibatkan perempuan membangun atau memperkuat jejaring kepercayaan dengan perempuan lain (melalui kelompok dan ruang informal), dan dengan anggota masyarakat lainnya, terutama aktor otoritatif, yang sering kali melalui keterlibatan dalam kehidupan sehari-hari. Ini kemudian melibatkan perempuan yang memanfaatkan jejaring mereka yang baru terbentuk atau yang sudah ada untuk mendapatkan dukungan.
Dukungan ini kemudian menciptakan berbagai sumber tekanan pada tokoh yang berwenang dan pada akhirnya forum pengambilan keputusan dan struktur kekuasaan lainnya, sehingga memengaruhi hasil. Proses semacam itu juga membantu untuk mengatasi tantangan, terutama penolakan terhadap inklusivitas gender di antara tokoh-tokoh yang berwenang dan berpengaruh. Ruang informal perempuan dan kelompok yang lebih formal mendukung proses ini dengan memperluas jejaring, menyediakan arena baru untuk membangun agensi individu dan kolektif melalui pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya bersama, saling mendukung dan menjadi sumber perlindungan, serta menumbuhkan rasa solidaritas dan agensi kolektif.
Dalam beberapa kasus, tekanan lintas pemangku kepentingan diwujudkan melalui jejaring ini saja, dan dalam kasus lain diformalkan melalui pembentukan kelompok atau forum multi pemangku kepentingan yang melibatkan perempuan desa, anggota masyarakat lainnya, dan sering kali termasuk termasuk pemimpin yang berpengaruh dari dalam dan luar desa. Kelompok dan forum semacam itu selanjutnya memperkuat jejaring lintas pemangku kepentingan dan memberikan beberapa jenis manfaat yang sama dari kelompok yang disebutkan di atas—berbagi sumber daya, pengetahuan dan keterampilan. Ketika forum semacam itu (dan kelompok perempuan lainnya) secara resmi diakui dan menjadi tertanam di desa melalui kegiatan rutin, hal ini sering kali memberikan mekanisme untuk lebih melegitimasi agenda perempuan, memberikan kontinuitas yang lebih besar di luar siklus pemilu atau kepemilikan individu tertentu yang memimpin forum lintas pemangku kepentingan.
Kami dapat melihat proses-proses yang saling berhubungan ini terjadi dalam potongan studi kasus Cerita Perubahan di desa penelitian di Labuhan Batu (lihat Kotak 21) dan melalui analisis lain tentang bagaimana berbagai jenis dan bentuk aksi kolektif dapat saling berhubungan, dan bagaimana aksi kolektif berjejaring menjadi bagian dari cerita ini. Di desa penelitian di Labuhan Batu, meskipun Kepala Desa cukup mendukung pembentukan SPI di desa ini, proses ‘formal’ mengalami penundaan yang cukup signifikan karena tidak dianggap sebagai prioritas desa. Pengakuan kelompok ini penting karena mampu melakukan kegiatan tanpa beban, terutama yang melibatkan warga desa lain, kelompok dan anggota pemerintah desa itu sendiri. Oleh karena itu, perempuan desa memanfaatkan dukungan dari Ketua BPD dan lainnya untuk menciptakan sumber tekanan tambahan pada pemerintah desa untuk mempercepat prosesnya. Setelah kelompok ‘resmi’ terbentuk, maka dilakukan serangkaian pelatihan dan kegiatan lainnya tentang kesadaran gender, dan isu-isu terkait kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan para pemimpin desa dan semua jenis kelompok sosial lainnya di desa.
Secara bertahap melalui kegiatan berbagi pengetahuan ini, terkumpul dukungan untuk membentuk LBK (Layanan Berbasis Komunitas) lintas pemangku kepentingan, yang terdiri dari perempuan SPI, Kepala Desa dan banyak kelompok lain di desa. Melalui lobi yang berkelanjutan baik dari SPI maupun aksi kolektif lintas pemangku kepentingan melalui LBK, berhasil melahirkan Peraturan Desa Nomor 02 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan berdasarkan UU Desa, dan janji alokasi dana dari Dana Desa. Wakil Ketua SPI desa berperan penting sebagai ujung tombak kolaborasi. Ia rutin berhubungan dengan Ketua BPD dan Kepala Desa untuk memastikan bahwa Peraturan Desa disusun, disahkan (dan sekarang diimplementasikan) oleh lembaga pemerintah desa.
Gambar 19: Proses Aksi Kolektif Berjejaring, Kasus Desa Penelitian di Labuhan Batu

Kita dapat mengamati bahwa proses ini juga terjadi dalam Cerita Perubahan di desa penelitian di Bangkalan dalam Bab 4. Di desa ini para perempuan membangun jejaring dan mengumpulkan dukungan untuk mendirikan Serikat Pekka dan inisiatif lain melalui pertemuan pengajian dan ruang informal lainnya. Para perempuan kunci memanfaatkan, memperkuat dan membangun jejaring dengan tokoh otoritatif melalui setiap kegiatan dan setiap inisiatif baru, termasuk melalui penyediaan layanan seperti verifikasi dan pencatatan pernikahan agama dalam proses yang diakui pemerintah. Melihat manfaat dari Serikat Pekka dan kegiatan KLIK, aparat desa dan masyarakat luas semakin mendukung inisiatif para perempuan tersebut, dan pada akhirnya turut mendukung perancangan dan pengesahan Peraturan Desa tentang Itsbat Nikah, yang juga membukakan jalan bagi pengalokasian Dana Desa bagi kegiatan Serikat Pekka. Hal ini tercapai meskipun pada awalnya desa penelitian ini merupakan lingkungan dengan konteks yang sangat sulit untuk mengangkat isu-isu penting perempuan dan dalam hal pengaruh perempuan terhadap pembangunan desa.
Terkadang, ketika kemajuan melambat di desa, anggota kelompok perempuan, dengan dukungan OMS akan memanfaatkan jejaring kabupaten yang telah mereka bangun untuk mengumpulkan dukungan untuk memajukan agenda desa. Di desa ‘intervensi’ penelitian di Gresik, anggota Sekolah Perempuan sudah pernah mengikuti Musrenbangdes, tetapi prioritas mereka pada awalnya tidak diakomodasi oleh pemerintah desa dalam alokasi anggaran; sebaliknya, seperti pada umumnya, infrastruktur publik yang diprioritaskan. Para perempuan yang terlibat di kelompok Sekolah Perempuan kemudian mengalihkan perhatian mereka ke pemerintah kabupaten dan melobi untuk mendapatkan dukungan. Pemerintah kabupaten yang telah berkomitmen mendukung Sekolah Perempuan memberikan tekanan kepada pemerintah desa. Mengingat berbagai sumber tekanan tersebut, tetapi terutama dalam kasus ini dari tokoh-tokoh yang berpengaruh di kabupaten, maka pemerintah desa mengalokasikan sejumlah dana kepada kelompok tersebut. Di tingkat kabupaten di Gresik, anggota Sekolah Perempuan juga memberikan rekomendasi kepada tokoh-tokoh yang berpengaruh di kabupaten untuk melakukan investasi yang lebih besar dalam masalah kesehatan perempuan serta program pendidikan bagi perempuan.
Di desa penelitian di Tanggamus (lihat Kotak 22 di bawah) dan banyak desa lainnya, kami juga melihat bukti dari proses aksi kolektif perempuan yang saling berinteraksi dan saling memperkuat, termasuk yang memanfaatkan jejaring lintas pemangku kepentingan dan menciptakan berbagai sumber tekanan untuk perubahan melalui aksi kolektif berjejaring multi-pihak, untuk meningkatkan penanganan dan fokus pada isu-isu penting bagi perempuan di desa. Di Tanggamus, tidak banyak yang menolak agenda ini, bahkan sangat didukung oleh tokoh otoritatif seperti Kepala Desa, yang mempercepat prosesnya. Kasus ini menunjukkan bagaimana peningkatan kesadaran gender, penyebarluasan pengetahuan, penguatan jejaring dan aksi kolektif kolaboratif antara perempuan desa, pemimpin desa dan OMS pendukung, membawa perubahan dalam implementasi UU Desa. Dengan disahkannya Peraturan Desa baru, terdapat komitmen alokasi Dana Desa yang mendukung satgas tingkat desa untuk menelusuri data dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menjadi isu prioritas perempuan di desa ini.
Kotak 22: Cerita Perubahan Kesadaran Gender di Tanggamus—Peraturan Desa Baru dan Komitmen Dana Desa untuk Mendukung Perempuan dan Anak Korban KDRT
“Perubahannya banyak sekali, yang memang hal yang belum kita tau artinya. Kalau dulu kan memang laki-laki itu nomer satu iya kan, saya lho laki-laki apa-apa nanti perempuan.” Sulis, kader FAKTA-DAMAR, 12 Juli 2019.
Di Kabupaten Tanggamus, angka kematian ibu berada di posisi lima besar dari 15 kabupaten di Provinsi Lampung. Pada tahun 2014, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR berupaya menanggapi hal ini dan masalah lainnya, termasuk kurangnya dukungan kelembagaan di Tanggamus untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan di kabupaten dan pendidikan yang kurang memadai tentang hak dan kesehatan reproduksi. Bersama dengan mitra kabupatennya FAKTA, DAMAR melakukan pemetaan sosial di desa penelitian Tanggamus untuk menetapkan wilayah prioritas yang mengungkapkan kurangnya kesadaran akan hak kesehatan reproduksi perempuan.
“Melalui penelitian kami [DAMAR] pada tahun 2014, kami melihat bahwa kesadaran perempuan terkait tubuhnya masih sangat rendah. Selain itu, banyak terdapat praktik-praktik yang membuat perempuan tidak memiliki otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Saat ada kasus kekerasan seksual, contohnya, terkadang perempuan nggak bisa memilih mau melanjutkan kehamilan, atau diharuskan menikah. Dan ternyata yang memutuskan itu banyak tokoh-tokoh agama.” Direktur Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, Bandar Lampung, 18 Juli 2019.
Pemimpin perempuan desa telah memainkan peran penting dalam mendorong partisipasi dalam kelas kesadaran gender FAKTA-DAMAR. Awalnya, DAMAR mengundang sejumlah tokoh perempuan desa untuk berpartisipasi terlebih dahulu, yang kemudian mengajak teman-temannya, khususnya dari kelompok agama untuk bergabung. Para perempuan ini kemudian mengundang orang lain dalam jejaring mereka untuk juga mempelajari tentang konsep gender, mendapatkan lebih banyak informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual, serta untuk memetakan masalah perempuan dan proses pengambilan keputusan. Kelas pengarusutamaan gender terpisah juga diadakan untuk para pemimpin masyarakat, laki-laki desa dan pemuda untuk lebih memahami dinamika gender.
Salah satu peserta, Mariana, menjelaskan pendekatan mereka dalam mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam Kelas Ibu melalui jejaring informal.
“Harus telaten. Dulunya pakai undangan formal. Door-to-door memperkenalkan ada FAKTA-DAMAR. Lama-lama setelah banyak ya dari mulut ke mulut. Harus sabar awalnya, telaten harus mempromosikan bahwa DAMAR itu ilmunya bagus untuk kita, baru kita tularkan ke tetangga. Ya lama-lama mereka berangkat sendiri. Kita juga kasih materi. Jadi pakai kejadian sehari-hari, gitu.” Mariana, kader FAKTA-DAMAR, desa penelitian Tanggamus, 5 Juli 2020.
Sulis, yang berbagi pengalamannya di awal petikan studi kasus saat mengikuti Kelas Ibu, menjelaskan bagaimana dia membagikan materi yang dia pelajari di kelas dan pemahaman barunya tentang gender dan kesetaraan dengan suaminya. Demikian pula, peserta Kelas Remaja Putri FAKTA-DAMAR merefleksikan pentingnya kelas spesialis yang membantunya dan keluarganya memahami perbedaan antara norma gender dan pemahaman agama tentang perbedaan seksual (kodrat).
Kesadaran gender tersebut dan tumbuhnya kolaborasi antar kelompok dan jejaring menghasilkan gerakan kolektif lintas kelompok untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kemudian diformalkan menjadi Satgas yang menjalankan Posko Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Anak dan Keluarga. Satgas dan ‘Posko’ ini dijalankan oleh tokoh masyarakat desa, khususnya perempuan, yang menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh dari kelas pengarusutamaan gender. Satgas bertujuan untuk menyediakan ruang aman bagi perempuan melalui ‘Posko’, dan mekanisme untuk melaporkan, menangani, dan mengumpulkan data tentang tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di desa.
Ruang aman yang diciptakan oleh Satgas melalui ‘Posko’ telah berhasil mendukung perempuan untuk merasa nyaman dalam mengungkap dan melaporkan kasus kekerasan serta mendapatkan perawatan medis dan layanan sosial. Melalui upaya advokasi oleh perempuan desa dan Kepala Desa, bersama-sama dengan dukungan DAMAR dan FAKTA-DAMAR, Satgas ini kemudian diformalkan melalui Keputusan Kepala Desa Nomor 30 Tahun 2018 yang membuka jalan untuk penganggaran alokasi dari Dana Desa, sehingga meningkatkan keberlangsungan kegiatannya.
Anggota Satgas ini bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan klinik/fasilitas kesehatan desa dan kabupaten.
“Di [desa ini] sudah sering ada penyuluhan dari DAMAR, dan sekarang perempuan sudah nggak takut loh Mbak kalau mau ngomong. Tahun lalu itu ada kasus, dia TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan baru pulang setelah setahun. Dia dipukul sama suaminya, dia langsung ngadu ke Ibu Kaur Kesra. Sama Ibu Kaur Kesra dibawa ke Puskesmas lalu dirawat, dan langsung hubungi P2TP2A dan Polres. Artinya jaringannya cepet, kalau ada peristiwa seperti itu kita langsung peduli semua.” Bidan Desa dan Anggota Staf Puskesmas, desa penelitian di Tanggamus, 8 Juli 2019.
Perempuan di desa penelitian di Tanggamus berharap satuan tugas ini menjadi titik awal untuk advokasi di masa depan terkait masalah kesehatan reproduksi dan seksual perempuan dan akan terus memberikan dukungan kepada korban kekerasan.