Dimensi Konteks: Menghambat atau Memampukan Pengaruh Perempuan

Setiap provinsi, kabupaten, dan desa di Indonesia memiliki tingkat keragaman yang signifikan dalam konteks sosial, politik-ekonomi, dan kelembagaan. Hal ini berdampak pada bagaimana keputusan dibuat, bagaimana prioritas ditetapkan, bagaimana kebutuhan ditentukan, bagaimana program didanai, bagaimana norma-norma sosial-budaya berkembang dan diekspresikan, bagaimana kekuasaan dan suara digunakan, dan pada akhirnya bagaimana persepsi dan pengalaman masyarakat. Bab ini membahas cara berbagai aspek konteks yang berbeda ini, secara bersama-sama, menciptakan lingkungan yang memampukan atau menghambat pengaruh perempuan, aksi kolektif perempuan, dan upaya masyarakat sipil mendukung inklusivitas gender guna meningkatkan kesejahteraan sosial, politik, dan ekonomi perempuan.

Dimensi Konteks: Menghambat atau Memampukan Pengaruh Perempuan
Dinamika konteks berpengaruh pada pilihan perempuan, jalur aksi kolektif, dan (beragam) pendekatan yang diambil OMS untuk mendukung perempuan desa dan untuk berupaya serta melakukan perubahan dalam lingkungan kebijakan, baik secara terencana atau secara reaktif berdasarkan realita politik-ekonomi dan sosial di setiap kabupaten. Dinamika konteks juga memengaruhi sifat (dan variasi) inisiatif di lapangan yang dikembangkan oleh perempuan, desa, pemerintah, OMS pendukung atau kolaborasi antara ketiganya, untuk memperkuat kapasitas, sumber daya, dan bentuk pengaruh yang dimiliki perempuan untuk memenuhi kebutuhan perempuan. Terakhir, dinamika konteks juga memengaruhi tantangan yang dihadapi perempuan serta bentuk dan target aksi kolektif perempuan akar rumput. Hal ini kemudian berimplikasi pada sejauh mana perempuan dapat memengaruhi tata kelola pemerintahan desa, termasuk dalam implementasi UU Desa, agar dapat berkontribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan perempuan.
Dari penelitian terlihat jelas bahwa konteks kabupaten dan desa serta interaksi di antara keduanya memengaruhi peluang dan hambatan untuk mencapai inklusivitas gender dan cara perempuan secara individu dan kolektif memengaruhi implementasi UU Desa. Di bawah ini kami meninjau karakteristik utama dari konteks kabupaten dan desa yang membentuk variasi dalam lingkungan yang memampukan terwujudnya pengaruh perempuan dan inklusivitas gender. Kami juga mengidentifikasi peluang dan tantangan yang membentuk aksi kolektif perempuan dan dukungan akar rumput yang diberikan oleh OMS untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Pembahasan ini kami lakukan untuk menyusun kerangka kerja guna memahami variasi dalam konteks agar dapat menganalisis:
- Bagaimana perempuan secara individu dan kolektif berupaya untuk menggunakan suara, dan memengaruhi implementasi UU Desa dalam konteks yang berbeda,
- Pendekatan yang digunakan OMS untuk mendukung perempuan desa dalam konteks yang berbeda, dan
- Strategi yang diterapkan OMS untuk mengarahkan konteks ini ke tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah secara terencana dan tidak terencana.
Variasi dalam konteks di kabupaten
Setiap kabupaten memiliki perbedaan dalam topografi, ketersediaan infrastruktur, geografi, kepadatan dan penyebaran penduduk, serta tingkat pendidikan dan kesehatan. Masing-masing faktor ini memengaruhi akses ke pusat aktivitas penduduk serta akses ke layanan publik, permintaan atas layanan ataupun penyediaannya. Setiap daerah juga memiliki pengelompokan identitas yang berbeda (misalnya budaya, adat, agama, etnis), institusi sosial dengan otoritas dan pengaruh moral yang signifikan (seperti masjid, gereja dan organisasi adat), dan organisasi sosial yang membentuk kehidupan dan kegiatan sosial. Lingkungan kelembagaan—termasuk kebijakan, program dan layanan yang disediakan oleh pemerintah dan organisasi lainnya, bagaimana lembaga pemerintah didesain dan didanai untuk mendukung inisiatif di lapangan, dan bagaimana organisasi lainnya memengaruhi pemerintah—juga berimplikasi pada keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan inisiatif untuk mempromosikan inklusi yang didukung dan dilaksanakan oleh pemerintah, OMS dan organisasi lainnya.
Di bawah ini kami membahas karakteristik utama dari konteks kabupaten yang membentuk kondisi yang memampukan dan menghambat cara perempuan menggunakan suara dan pengaruhnya (tema analisis utama dapat dilihat pada Gambar 6), termasuk:
- Karakteristik utama dari lingkungan kelembagaan yang menandakan kondisi pendukung yang lebih kondusif atau kurang kondusif bagi pengaruh dan pemberdayaan perempuan, serta bagaimana kondisi ini berubah seiring waktu.
- Cara-cara ekonomi politik yang mungkin dapat menghambat inklusi gender.
- Kemauan politik yang dimiliki para pemimpin di tingkat kabupaten untuk mendukung inklusi gender.
- Tingkat keselarasan antara kebutuhan, kesenjangan, prioritas pembangunan yang ada dan kepentingan politik, serta perhatian utama perempuan desa dan OMS, yang dapat menghambat atau mendorong agenda inklusi gender.
- Pertimbangan untuk daerah yang memiliki banyak program yang didanai donor.
Gambar 6: Karakteristik Utama Konteks di Kabupaten—Menjadi Kendala dan Peluang bagi Pengaruh Perempuan dalam Struktur Kekuasaan dan Pengambilan keputusan

Lingkungan kelembagaan: Tingkat dukungan pemerintah dan dukungan lainnya yang ada untuk inklusi gender
Lingkungan kelembagaan di kabupaten bervariasi dalam hal kerangka legislatif, kebijakan dan peraturan, program, kapasitas fungsional dan sumber daya (anggaran, staf dan keterampilan) untuk melaksanakan program-program tersebut, dan peluang untuk memperoleh pendapatan pajak dan retribusi dari kegiatan ekonomi (disebut juga Pendapatan Asli Daerah—PAD) untuk mendanai program-program tersebut. Kabupaten juga bervariasi dalam hal lama berdirinya—di beberapa daerah, ada kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari daerah yang lebih besar berdasarkan desentralisasi dan baru membangun kantor pemerintahan dan kerangka kebijakan. Setiap daerah juga memiliki kekayaan sumber daya yang berbeda, ada yang sedikit dan ada yang berlebih, dalam hal mata pencaharian, penciptaan kekayaan dan peluang usaha. Hal ini tidak hanya akan berdampak pada pilihan pekerjaan dan mata pencaharian masyarakat, tetapi juga PAD dan pendapatan anggaran lainnya yang digunakan untuk mendanai inisiatif pembangunan di masyarakat.
Ketika MAMPU memulai programnya, beberapa daerah merupakan ladang subur bagi tumbuhnya aksi kolektif perempuan, dan juga bagi munculnya inisiatif-inisiatif OMS, baik yang baru atau yang diperluas skalanya. Berdasarkan hasil analisis, pada kabupaten di mana sudah ada upaya untuk mengakomodasi prioritas yang ditetapkan perempuan sendiri dalam pembangunan, pengaruh perempuan pada kebijakan dan pembangunan desa melalui aksi kolektif dapat segera berjalan dan menghasilkan dampak signifikan pada masa yang mendatang. Upaya tersebut didukung oleh tata kelola pemerintahan yang ada di kabupaten (dan provinsi) yang sudah mulai mendukung pengambilan keputusan yang inklusif gender.
Hal tersebut disebabkan pada daerah tersebut, sudah ada kesempatan bagi perempuan untuk menggunakan suaranya dan bagi organisasi masyarakat sipil—termasuk kelompok perempuan yang lebih kecil yang didukung—untuk mengadvokasi hak, kebutuhan dan pemberdayaan perempuan. Hal ini cenderung terjadi di daerah yang memiliki peraturan, kebijakan dan program yang sudah mulai memprioritaskan kebutuhan perempuan. Indikator kemunculan inklusi gender termasuk (antara lain):
- Peraturan daerah (Perda) di kabupaten dan provinsi, atau Surat Keputusan Bupati/Gubernur yang menerapkan kebijakan tentang pemberdayaan perempuan, prioritas yang ditetapkan perempuan sendiri, dan/atau representasi perempuan dalam forum pengambilan keputusan,
- Dinas dan program yang aktif, didanai dan memiliki staf yang berfokus pada prioritas dan isu perempuan, dan/atau
- Peningkatan representasi perempuan dalam struktur kekuasaan daerah, misalnya di DPRD dan dalam peran kepemimpinan lainnya.
Meskipun banyak kabupaten belum memiliki kerangka kelembagaan yang berkembang sepenuhnya untuk memastikan perempuan dilibatkan dalam forum pengambilan keputusan, jelas bahwa di daerah dimana pemerintah dan pemangku kepentingannya sudah mengakui atau mulai mengakui hak dan prioritas perempuan, terlihat adanya lingkungan yang kondusif untuk (meningkatkan) pengaruh perempuan pada pengambilan keputusan dan memperluas program inklusi gender dan pemberdayaan gender ke berbagai tingkat yang lebih tinggi. Lingkungan kelembagaan di kabupaten pada akhirnya berpengaruh pada implementasi UU Desa di kabupaten-kabupaten tersebut dan dapat membantu mengurangi hambatan pemberdayaan perempuan di tingkat desa.
Provinsi Lampung misalnya, pada dekade pertama era reformasi Indonesia, upaya advokasi untuk meningkatkan posisi perempuan mendapatkan momentum melalui Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR (DAMAR) dan jejaring organisasi mitranya di tingkat kabupaten di Lampung, yang mendahului dukungan yang diberikan oleh MAMPU kepada DAMAR dan mitranya. Antara tahun 2000-2010, DAMAR mencatat 2.326 kasus kekerasan terhadap perempuan dari pemberitaan media lokal (DAMAR, 2019). Mengingat tingginya angka kekerasan di Provinsi Lampung, DAMAR awalnya memfokuskan advokasi pada pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Advokasi awal ini menghasilkan terbentuknya Unit Pelayanan Terpadu bagi korban kekerasan, dengan dukungan pemerintah, rumah sakit setempat dan lembaga lainnya. Beberapa peraturan pemerintah provinsi ditetapkan untuk mendukung Unit tersebut (lihat Kotak 5). Ketua DAMAR yang karismatik tersebut kemudian terpilih menjadi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2013-2014, dan menjadi anggota Komnas HAM periode 2012-2017. Hal ini membantu memperkuat hubungan antara DAMAR yang merupakan salah satu pendiri dengan anggota lainnya dari konsorsium organisasi perempuan di Sumatra—PERMAMPU—dan organisasi advokasi nasional serta pembuat kebijakan.
Kotak 5: Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR
Setelah tahapan perencanaan strategis, ELSAPA (Lembaga Studi Advokasi Perempuan dan Anak) di Lampung kembali melakukan restrukturisasi untuk membentuk Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR dengan jejaring organisasi mitra di kabupaten-kabupaten pada Provinsi Lampung. DAMAR juga merupakan salah satu anggota pendiri konsorsium organisasi perempuan yang lebih luas di Sumatra yang disebut PERMAMPU pada tahun 2012. Dalam rencana strategis 10 tahun awalnya, DAMAR berfokus pada advokasi yang lebih luas bagi perempuan, tetapi juga secara khusus pada perlindungan korban kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, dan advokasi untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan. DAMAR mengadakan Nota Kesepahaman (MOU) dengan Pemerintah Provinsi Lampung, kepolisian, pengadilan militer dan sipil, dan rumah sakit daerah pada tahun 2002 untuk membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang terletak di rumah sakit untuk memberikan layanan gratis kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hal ini juga cukup memengaruhi pembuat kebijakan yang merumuskan beberapa Peraturan Daerah (Perda) —misalnya Perda No. 6/2006 tentang Pelayanan bagi Perempuan dan Anak Korban KDRT, dan Perda No. 4/2006 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. DAMAR tidak hanya berfungsi untuk membantu melindungi perempuan dan anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga melakukan penelitian dan pemantauan.
Antara tahun 2000-2010, DAMAR mampu mendukung 563 perempuan baik melalui layanan litigasi maupun layanan lainnya. Selain memantau tren, DAMAR memperluas programnya untuk membantu perempuan mengakses layanan seksual dan reproduksi, konseling bagi laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan lebih luas lagi untuk mendukung pengakuan dan pemenuhan hak-hak perempuan, meningkatkan kesadaran gender di antara laki-laki dan perempuan, dan menangani kekerasan berbasis gender.
Pada tahun 2010, DAMAR memperluas rencana strategisnya untuk berfokus pada memperjuangkan hak-hak perempuan (termasuk hak-hak perempuan di bidang kesehatan, pendidikan, dan hukum) dan representasi perempuan di kancah politik (Wawancara, pemimpin DAMAR, 18 Juli 2019). Seiring dengan melakukan advokasi tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan, DAMAR memperluas fokusnya karena sejumlah alasan: angka kematian ibu yang tinggi, akses yang terbatas ke layanan kesehatan, tingkat pengetahuan yang rendah di antara perempuan tentang tubuh dan kesehatan reproduksi, dan rendahnya representasi perempuan dalam kepemimpinan dan forum kebijakan dan pengambilan keputusan yang berpengaruh.
Seperti yang terlihat jelas dari Kotak 5, OMS di Lampung telah lama melobi pemerintah provinsi dan bekerja dengan pembuat keputusan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan dan masalah perempuan di wilayah tersebut. Seiring waktu, OMS di Lampung mampu melembagakan beberapa inisiatif, yang dibangun di atas dasar kerja sebelumnya dan jejaring yang dibentuk di seluruh kabupaten. Artinya, ketika MAMPU memberikan dukungan kepada DAMAR untuk memperluas kerjanya di tahun 2013, sudah ada indikator lingkungan kelembagaan yang mendukung di daerah tersebut sehingga tidak perlu memulai dari awal. Dalam kasus lain, lingkungan kelembagaan dan sifat aktor berpengaruh di sektor tertentu juga berpengaruh terhadap lingkungan operasional mitra yang didukung MAMPU pada awalnya. Misalnya di Sumatera Utara, terdapat sejarah panjang gerakan dan advokasi buruh yang aktif meskipun tidak secara eksplisit difokuskan pada penguatan fokus kebijakan pada isu-isu gender secara keseluruhan, sehingga lingkungannya sangat mendukung untuk membangun dukungan bagi advokasi upah minimum di sektor informal dan untuk meningkatkan kondisi kerja pekerja rumahan.
Dalam kasus lain, dukungan kelembagaan dan keterbukaan politik untuk mengembangkan peraturan dan kebijakan kelembagaan yang lebih inklusif gender dapat tumbuh bersama, dan berinteraksi erat dengan, inisiatif Mitra MAMPU. Hal ini terjadi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), tempat para pimpinan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sedang melakukan sejumlah langkah untuk memperkuat inklusivitas gender di lembaga, kebijakan dan program kabupaten.
Jika kami membandingkan situasi di Kabupaten Tanggamus di Lampung dengan Kabupaten Bangkalan di Provinsi Jawa Timur, situasinya sangat berbeda. Sebelum Mitra MAMPU, yaitu PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) memulai advokasi dan dukungan akar rumput untuk perempuan di wilayah tersebut, hanya ada beberapa kelompok perempuan di luar lembaga keagamaan atau OMS yang aktif. Tidak ada juga peraturan pemerintah yang terkait dengan inklusi gender atau pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tidak ada layanan terpadu untuk memberikan bantuan kepada korban KDRT, dan tidak ada juga champion dalam pemberdayaan perempuan yang terkoneksi dengan Komnas HAM. Seperti diuraikan dalam Kotak 6, tingkat kemiskinan di Bangkalan mencapai 21%, sedangkan Kabupaten Tanggamus sebesar 13,5% (BPS Tanggamus, 2019). Di dalam lingkungan ini, PEKKA berupaya mendukung perempuan melalui kelompok dan Serikat Pekka (kelompok perempuan desa berbasis masyarakat yang berbeda dari Yayasan PEKKA dan program PEKKA itu sendiri), yang akan dibahas selanjutnya dalam laporan ini.
Kotak 6: Kabupaten Bangkalan
Kabupaten Bangkalan terletak di pulau Madura di lepas pantai timur laut Jawa. Penduduknya 98% beragama Islam dan sebagian besar adalah orang Madura (BPS Kabupaten Bangkalan, 2019). Mayoritas penduduknya menganut nilai-nilai keislaman yang kuat dan mengikuti norma-norma adat Madura, yaitu laki-laki cenderung menduduki peran kepemimpinan dan mendominasi kehidupan bermasyarakat. Struktur politik terjalin erat dengan jejaring pesantren di kabupaten tersebut—terdapat sekitar 220 pesantren di seluruh kabupaten.
Narasumber menjelaskan secara detail bagaimana jabatan kepemimpinan lokal di lembaga eksekutif dan legislatif lebih terkait erat dengan calon pemimpin yang berpengetahuan agama dan memiliki ikatan yang kuat dengan kelembagaan agama, bukan ikatan yang kuat dengan partai politik, meskipun untuk mencalonkan diri calon pemimpin tersebut harus memiliki dukungan partai. Setiap bupati selama dua dekade terakhir adalah keturunan laki-laki dari Syaikhona Kholil (1820-1925)—seorang pemimpin karismatik yang menyebarkan Islam ke daerah tersebut dan mendidik pendiri organisasi massa terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama—yang menunjukkan bahwa struktur sosial dan politik dibentuk melalui jejaring keluarga dan agama. Di lembaga legislatif daerah periode 2014-2019, dari 50 anggota hanya ada dua orang perempuan dan keduanya merupakan anggota sementara dari Partai Gerindra.
Masyarakat Bangkalan cenderung memprioritaskan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren, bukan sekolah negeri karena kentalnya norma agama dan adat yang ada. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Bangkalan (2005-2025), pemerintah daerah menekankan pendidikan melalui pesantren dan madrasah yang biasanya dikelola secara individu dan yayasan, dibandingkan sekolah negeri (Pemerintah Kabupaten Bangkalan, 2019). Hanya ada sedikit OMS di kabupaten Bangkalan selain organisasi agama dan yayasan yang memiliki afiliasi keagamaan. Sebagian besar mata pencaharian bergantung pada pertanian atau usaha kecil. Penduduk tinggal di rumah-rumah di dekat ladang yang mereka garap dan cenderung memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat.
Sebanyak 21,3% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS Kabupaten Bangkalan, 2019). Sebelum PEKKA melakukan advokasi di Kabupaten Bangkalan dengan dukungan MAMPU, tidak ada peraturan khusus yang berfokus pada inklusi gender, pemberdayaan maupun perlindungan perempuan. Pemerintah kabupaten memang memiliki beberapa program yang berkaitan dengan perempuan di pedesaan, terutama untuk memberikan sedikit dukungan kepada organisasi korporatis negara yang telah lama berdiri, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK—Lihat Bab 5), dan sedikit dukungan untuk Kelompok Kesehatan Ibu dan Anak desa (Posyandu), serupa dengan yang ditemukan di banyak kabupaten lainnya. Istri Bupati diberi kewenangan untuk mengembangkan program yang terkait dengan organisasi-organisasi tersebut dengan alokasi anggaran yang rendah. Kantor pemerintah yang bertanggung jawab atas perlindungan perempuan dan anak hanya dialokasikan anggaran tidak sampai satu persen dari anggaran kabupaten.
Pada akhirnya, di daerah dengan lingkungan kelembagaan yang lebih kondusif untuk mendukung inklusi gender dalam pengambilan keputusan dan inisiatif pemberdayaan perempuan (baik di awal, atau melalui perubahan dari waktu ke waktu melalui upaya advokasi), ada kemungkinan yang lebih besar bahwa perempuan mampu untuk melakukan aksi kolektif guna memengaruhi lingkungan kebijakan dan implementasi UU Desa. Indikator utama kondusifitas yang diidentifikasi dan ditetapkan oleh penelitian ini meliputi:
- Mengembangkan dan menerapkan peraturan inklusi gender,
- Program yang dirancang dengan jelas untuk inklusi gender dan pemberdayaan perempuan dengan anggaran yang sesuai,
- Upaya untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan (lihat pembahasan lebih lanjut di bawah ini), dan dalam proses perancangan kebijakan dan program,
- Memberi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam forum yang berpengaruh, dan
- Memberi perhatian pada kebutuhan yang diidentifikasi perempuan dalam prioritas kebijakan.
Dengan kata lain, indikator utama mencakup ‘proses’, misalnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, dan kerangka kerja pendukung seperti kebijakan yang dapat membentuk hasil yang inklusif bagi perempuan atau mendukung inisiatif pemberdayaan perempuan. Penting untuk dicatat bahwa seberapa besar pengaruh perempuan mencerminkan sejauh mana perempuan mengidentifikasi sendiri kebutuhan mereka melalui partisipasi dalam forum pengambilan keputusan, dan mampu menyuarakan kebutuhan tersebut serta memberikan pengaruh terhadap perancangan dan pelaksanaan kebijakan dan program. Dalam beberapa kasus, perempuan lebih berperan sebagai penerima pasif dari kebijakan yang menurut orang lain telah ‘memenuhi’ kebutuhan perempuan. Misalnya di beberapa tempat, terdapat kecenderungan untuk menganggap perhatian pada kesehatan atau anak-anak dalam kebijakan dan alokasi anggaran sebagai ‘pemenuhan’ kebutuhan perempuan, bahkan ketika perhatian tersebut bukan diperoleh dengan melibatkan perempuan dalam proses penentuan prioritasnya.
Ekonomi politik: Membatasi pengaruh perempuan dan inklusi gender
Hambatan utama untuk aksi kolektif dan upaya advokasi perempuan di tingkat kabupaten adalah sejauh mana peningkatan pengaruh perempuan dan inklusivitas gender mengancam struktur kekuasaan yang ada dalam ekonomi politik kabupaten yang lebih luas, termasuk kepentingan ekonomi dan bagaimana keputusan politik atau kebijakan dibuat. Dalam situasi seperti itu, lebih sulit bagi aksi kolektif perempuan dan/atau upaya advokasi OMS untuk memiliki pengaruh—masih ada resistensi terhadap upaya advokasi yang dilakukan ataupun kemajuan yang lebih lambat, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mengatasi hambatan ini (lihat Bab 7).
Sektor ekonomi strategis
Misalnya, di Kabupaten Lombok Tengah (lihat Kotak 7), banyak pengusaha dan aktor pemerintahan yang memiliki kepentingan dalam pengiriman pekerja migran ke luar negeri tanpa pembatasan yang ketat. Remitansi pekerja migran mendukung perekonomian dan menjadi aliran pendapatan bagi usaha yang memfasilitasi penempatan pekerja migran di luar negeri, baik secara legal maupun ilegal. Ikatan kuat antara aktor pemerintahan berpengaruh dan aktor ekonomi di sektor pekerja migran berimplikasi pada kebijakan dan keputusan politik. Oleh karena itu, sulit untuk menantang agenda, kebijakan dan praktik yang telah ditetapkan agar dapat memberi dukungan kepada perempuan dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran.
Kotak 7: Ekonomi Politik tentang Remitansi Pekerja Migran di Lombok Tengah
Di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di bagian timur Indonesia, tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai oleh mayoritas penduduk usia 7-24 tahun adalah sekolah dasar (BPS Kabupaten Lombok, 2019). Sebesar 85% penduduk memperoleh pendapatan yang terbatas dari mata pencaharian di sektor pertanian dan perkebunan (BPS Kabupaten Lombok, 2019), dan masih sedikit peluang lainnya yang tersedia hingga saat ini. Industri pariwisata mulai berkembang, terutama sejak bandara internasional baru dibangun di kabupaten tersebut, dan Zona Ekonomi Khusus dideklarasikan pada 2017. Perkembangan ini meningkatkan pendapatan kabupaten dari pajak dan retribusi di sektor pariwisata sebesar enam kali lipat dalam dua tahun terakhir (narasumber Pemerintah Kabupaten, 4 Juli 2019).
Rendahnya tingkat pendidikan, upah yang tidak layak di sektor perkebunan dan pertanian, serta peluang ekonomi di bidang pariwisata dan Zona Ekonomi Khusus yang baru mulai berlaku, menyebabkan warga Lombok Tengah juga mencari pekerjaan dan penghasilan tambahan lain, terutama sebagai pekerja migran di luar negeri. Laki-laki cenderung bekerja di sektor formal sebagai buruh kontrak, kebanyakan di Malaysia. Pekerja migran perempuan cenderung bekerja di sektor informal sebagai asisten rumah tangga di luar negeri misalnya Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia, bahkan di Timur Tengah, seperti Arab Saudi—padahal pemerintah Indonesia telah memberlakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi (kecuali apabila memenuhi persyaratan kontrak formal berskala besar yang sangat ketat) akibat pelanggaran di masa lalu. Meskipun demikian sebagian pekerja migran telah melakukan migrasi ke negara tersebut sebelum diberlakukannya moratorium atau bahkan telah ditempatkan untuk bekerja di negara tersebut secara ilegal.
Di NTB, Kabupaten Lombok Tengah memiliki jumlah pekerja migran terbesar kedua yang melakukan pekerjaan sementara di luar negeri setelah Kabupaten Lombok Timur. Kabupaten Lombok Tengah juga merupakan kabupaten asal pekerja migran kedelapan terbesar di antara kabupaten pengirim pekerja migran terbanyak lainnya di seluruh Indonesia, meliputi: Indramayu, Cirebon, Lombok Timur, Cilacap, Ponorogo, Blitar, dan Malang.
Banyaknya jumlah pekerja migran yang berasal dari kabupaten-kabupaten tersebut menghasilkan tingkat remitansi yang signifikan untuk mendukung perekonomian kabupaten dan kesejahteraan pekerja migran, sehingga hal ini menjadi isu utama dalam kepentingan publik. Namun narasumber menjelaskan adanya resistensi dari beberapa Kepala Dinas dan anggota legislatif untuk menerbitkan peraturan baru yang mengatur perlindungan bagi pekerja migran, terutama karena peraturan tersebut akan menghambat upaya pengiriman. Banyak tokoh pemerintahan yang memiliki hubungan erat dengan perusahaan besar yang mengirim pekerja migran ke luar negeri.
Terdapat variasi yang signifikan di seluruh lokasi penelitian kabupaten dalam hal kepentingan ekonomi dan koalisi para aktor yang memiliki kekuasaan dan kendali dalam pengambilan keputusan, sehingga berpengaruh pada peran dan peluang perempuan untuk memiliki jabatan politik. Serupa dengan kondisi di Lombok Tengah, menurut narasumber di Kabupaten Pangkep dan di Provinsi Sulawesi Selatan, koalisi elit politik-ekonomi memiliki cengkeraman yang kuat di industri perikanan dan industri lainnya maupun di bidang politik. Para narasumber menjelaskan bahwa inisiatif apa pun yang mungkin mengancam kepentingan-kepentingan ini akan mendapat perlawanan yang kuat—hal ini juga dapat kami amati terjadi di tingkat desa dalam analisis dinamika Pangkep di bagian selanjutnya, namun seiring waktu Pemerintah Kabupaten Pangkep mulai cukup mendukung inisiatif untuk meningkatkan suara dan pengaruh perempuan dalam pengambilan keputusan (lihat Bab 7).
Di beberapa kabupaten, ada tumpang tindih antara kekuatan politik, ekonomi dan sosial, dengan praktik lama para tokoh dari jejaring yang sama (dan terkadang termasuk keluarga dan lembaga sosial) yang membuat keputusan dan kebijakan politik. Misalnya, di Bangkalan (Lihat Kotak 6), keputusan telah lama dibuat oleh sekelompok kecil pemimpin dari segelintir partai politik dan ulama-ulama dari pesantren yang mendukung partai politik tersebut. Hanya sedikit perempuan di DPRD, yang diangkat sebagai kepala dinas sektoral, atau yang menduduki jabatan berpengaruh lainnya. Kebanyakan perempuan yang memegang jabatan di lokasi penelitian merupakan istri atau anak perempuan dari tokoh politik yang berasal dari keluarga dan jejaring yang kuat. Dinamika di kabupaten dan desa tersebut dapat menghambat upaya untuk meningkatkan inklusi gender dalam struktur pengambilan keputusan, dan menjadi lebih parah lagi apabila dinamika tersebut menyebar di kedua tingkatan.
Struktur kekuasaan formal—representasi politik dan pengambilan keputusan kebijakan yang inklusif gender
Struktur kekuasaan politik formal di kabupaten dan desa sangat bervariasi di seluruh nusantara. Partai politik dan pimpinan eksekutif (Bupati, Wakil Bupati, dan Kepala Badan/Lembaga Pemerintah) membentuk dinamika politik dan kebijakan saat menjabat dan berpotensi menghambat atau mendukung terciptanya peluang dan hasil bagi perempuan. Hal ini termasuk representasi dan peluang perempuan dalam struktur politik, kepemimpinan dan jabatan lainnya di kantor pemerintahan, prioritas dan sifat kebijakan dan program, dan tingkat sumber daya (dan akses) terhadap inisiatif di lapangan yang didukung oleh negara.
Secara keseluruhan, terdapat variasi yang signifikan di seluruh kabupaten lokasi penelitian berdasarkan analisis kualitatif dalam hal representasi perempuan pada struktur pengambilan keputusan formal di pemerintahan, baik pada awal program MAMPU maupun dari waktu ke waktu. Apabila diamati kembali tentang perbandingan antara Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Bangkalan, di antara anggota DPRD (menjabat hingga 2018), terdapat sembilan anggota perempuan di Tanggamus, sedangkan di Bangkalan hanya ada dua orang anggota perempuan. Di Tanggamus, terpilih seorang Bupati perempuan pada tahun 2018 (meskipun merupakan istri mantan Bupati) yang memperkenalkan serangkaian program yang populer bagi masyarakat lokal. Namun, semua Bupati di Bangkalan dalam dua dasawarsa terakhir ini adalah laki-laki keturunan dari tokoh agama ternama yang membawa masuk agama Islam ke daerah tersebut dan merupakan guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (lihat Kotak 6). Kerja advokasi untuk meningkatkan representasi perempuan di pemerintah kabupaten dan partai politik berjalan lambat di kabupaten ini. Representasi politik perempuan di parlemen juga masih terbatas di Lombok Tengah karena hanya empat dari 50 anggota DPRD adalah perempuan. Meskipun sudah terlihat adanya pencapaian yang diraih di sektor pekerja migran, sedikit banyak pencapaian tersebut terjadi karena kedua gender mendapatkan manfaatnya.
Temuan ini sejalan dengan penelitian terbaru tentang anggota parlemen perempuan dan kuota gender oleh Pratiwi (2019) dan lainnya (lihat Kotak 8) yang menunjukkan hambatan yang besar bagi perempuan untuk terjun ke dalam kancah politik. Perempuan yang berhasil mengatasi hambatan tersebut cenderung berasal dari latar belakang keluarga yang memiliki sumber daya finansial yang kuat atau memiliki ikatan dengan keluarga dinasti politik. Dalam mengkonfirmasikan temuan ini tentang manfaat yang diperoleh calon pejabat perempuan dari ikatan hingga dinasti yang berkuasa, penelitian lain dari Aspinall dkk. (2021, akan dipublikasikan) tentang pemilu 2019 dan calon pejabat perempuan, menyoroti bahwa semakin banyak calon pejabat perempuan yang berhasil masuk ke bidang politik di tingkat daerah adalah apabila misalnya calon pejabat perempuan tersebut bertahan selama beberapa pemilu yang diadakan secara berturut-turut dan akhirnya menjadi terkenal, kemudian apabila mereka mendapatkan dukungan dari jejaring asosiasi yang ada, seperti NU, Muhammadiyah dan OMS, dan apabila mereka menggalakkan kampanye tentang isu-isu perempuan.
Kotak 8: Gender dan Calon Pejabat dalam Pemilu
Kuota gender sebesar 30% (diamanatkan dalam UU No. 31/2002 dan UU No. 12/2003) mendorong peningkatan representasi perempuan dalam perhelatan politik di Indonesia yang dampaknya terlihat khususnya dalam pemilu 2019, tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kehadiran perempuan dalam ruang politik masih terkendala. Hal ini disebabkan besarnya biaya politik, budaya patriarki dalam partai politik, dan kurangnya kemauan politik untuk mendorong partisipasi politik perempuan (Bessel, 2010; Pratiwi, 2019; Prihatini, 2019b). Pratiwi (2019) menyoroti bahwa tingginya biaya politik di Indonesia menyebabkan politik didominasi oleh elit ekonomi dan calon pejabat yang terkait erat dengan elit politik (lihat juga Aspinall, dkk., 2021). ‘Politik uang’ tersebut cenderung membatasi calon pejabat perempuan dengan rekam jejak matang dalam gerakan perempuan (Pratiwi, 2019). Kajian Prihatini (2019b) menunjukkan bahwa sistem pemilu dengan daftar representasi proporsional yang terbuka telah dikaitkan dengan ketidakpastian yang lebih tinggi dan biaya kampanye yang lebih besar, yang menciptakan hambatan praktis bagi perempuan untuk dapat terpilih. Aspek kelembagaan politik tersebut cenderung hanya menguntungkan calon pejabat yang memiliki sumber daya ekonomi yang kuat.
Meskipun partisipasi perempuan tidak pasti meningkat sedangkan pencapaian pemenuhan kuota gender mengalami kemajuan, penelitian di atas menunjukkan bahwa masih ada isu kesetaraan dan kualitas di tingkat daerah. Prihatini (2019a) menganalisis profil demografi calon dan anggota parlemen terpilih dan menemukan bahwa pengalaman menjabat jabatan politik, usia, dan posisi daftar yang lebih tinggi di kertas suara berkaitan erat dengan keberhasilan perempuan memperoleh nominasi politik. Selain itu, mayoritas perempuan yang menjadi anggota dewan terpilih berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan dinasti politik. Misalnya, hampir separuh perempuan yang terpilih pada pemilu 2014 terkait dengan dinasti politik, yaitu istri atau anak perempuan dari pejabat politik laki-laki (Prihatini, 2019a).
Terlihat jelas pada tahun 2013 ketika MAMPU mulai mendirikan programnya, yaitu lebih dari satu dekade setelah Indonesia merombak sistem dan kelembagaan politik, terdapat variasi yang signifikan di seluruh kabupaten dalam hal lingkungan kelembagaan dan politik yang mendukung inklusi gender dalam struktur pengambilan keputusan politik. Beberapa lingkungan kelembagaan dan politik menjadi lebih kondusif untuk membangun agenda pemberdayaan.
Kemauan politik dan dukungan dari kepemimpinan di tingkat kabupaten: Peluang untuk meningkatkan inklusi gender
Tingkat kesulitan dalam peningkatan pengaruh perempuan di kabupaten juga bergantung pada seberapa besar kemauan politik para pembuat keputusan di kabupaten untuk mendukung inklusi gender dan agenda pemberdayaan perempuan—baik pemimpin eksekutif, legislatif, partai politik, maupun tokoh masyarakat. Hal ini saling terkait dengan kondusifitas lingkungan kelembagaan yang dijelaskan di atas, tetapi lebih berkaitan dengan sifat pemimpin yang menjalankan agenda kebijakan, menentukan prioritas kebijakan dan pendanaan, serta berkontribusi dan memengaruhi wacana publik. Tokoh-tokoh kunci yang memiliki pengaruh politik yang cukup besar di kabupaten termasuk (tetapi tidak terbatas pada):
- Bupati/Walikota dan Wakilnya, yang berwenang sebagai kepala pemerintahan yang dapat menerbitkan peraturan dan keputusan serta menentukan prioritas anggaran.
- Ketua DPRD, atau pimpinan dari partai politik yang dominan di kabupaten, yang dapat mendorong perumusan perundang-undangan yang mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan melalui parlemen.
- Kepala lembaga sektoral pemerintah, yang juga dapat menerbitkan peraturan dan keputusan, memiliki kendali atas anggaran yang signifikan atau pengaruh atas lembaga sektoral lainnya seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), atau lembaga sektoral yang memiliki anggaran besar (tergantung pada ketersediaan sumber daya di setiap kabupaten).
- Pemimpin lembaga sosial yang berpengaruh—organisasi agama, adat, etnis, atau organisasi besar lainnya yang memiliki banyak anggota—yang dapat membantu membentuk wacana lokal dan norma sosial atau cukup mampu melobi tokoh pemerintahan untuk mengembangkan kebijakan yang sensitif gender.
Kabupaten yang didukung kemauan politik terhadap inklusi gender dan agenda pemberdayaan perempuan, memiliki konteks yang lebih kondusif bagi aksi kolektif perempuan dan upaya OMS untuk memengaruhi konteks politik dan kebijakan. Hal ini juga berimplikasi pada bentuk dan target aksi kolektif perempuan akar rumput (lihat Bab 5) dan jenis strategi serta upaya advokasi yang dilakukan Mitra MAMPU untuk mengadvokasi kebijakan dan peraturan baru guna meningkatkan suara dan pengaruh perempuan dalam proses pengambilan keputusan (lihat Bab 7).
Misalnya di Lombok Tengah, OMS telah lama mengadvokasi kebijakan yang memperhatikan kebutuhan perempuan, terutama para pekerja migran yang berisiko dieksploitasi. Perkumpulan Panca Karsa juga telah bekerja untuk memengaruhi Pemerintah Kabupaten untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran selama lebih dari satu dekade sebelum bermitra dengan Migrant CARE dan MAMPU guna mengembangkan program yang lebih komprehensif tentang inklusi gender dan dukungan bagi perempuan desa. Di awal program Migrant CARE/Panca Karsa yang baru didukung oleh MAMPU, Bupati, anggota DPRD terpilih dan pemimpin lainnya memiliki kemauan politik untuk mengembangkan kebijakan, program dan inisiatif baru untuk mengatasi beberapa kesulitan yang dihadapi oleh pekerja migran, meskipun pada akhirnya tidak menghasilkan kebijakan dan program yang jelas dengan ruang lingkup yang luas. Kemauan politik tersebut sebagian disebabkan oleh adanya kepentingan publik terhadap isu pekerja migran dan liputan media nasional dan daerah tentang pekerja migran perempuan yang meninggal di negara tujuan (lihat juga pembahasan lebih lanjut di Bab 7 tentang champion dan isu yang sangat menarik kepentingan publik). Dibandingkan dengan beberapa kabupaten di lokasi penelitian, para pemimpin di Lombok Tengah terbuka untuk berkolaborasi dengan pemangku kepentingan yang peduli dengan kebutuhan pekerja migran, termasuk untuk menyediakan peluang ekonomi bagi mantan pekerja migran.
Kotak 9: Kemauan Politik untuk Mengubah Kebijakan di Lombok Tengah
Bupati Lombok Tengah, Wakil Bupati, Asisten Sekretaris Kabupaten Pertama dan beberapa Kepala Dinas di Kabupaten serta beberapa anggota DPRD, bersama dengan OMS di Lombok Tengah yang peduli terhadap perlindungan bagi pekerja migran, mengadvokasi pemberlakuan Peraturan Kabupaten tentang Perlindungan Pekerja Migran tahun 2017. Seorang narasumber di Lombok Tengah menjelaskan bagaimana:
“Yang membuat kita lega itu bahwa Asisten I itu, sangat mendukung. Kenapa sangat mendukung? Karena ada kejadian nyata yang dia saksikan sendiri. Dia punya anak angkat, dan anak angkatnya ini punya ibu yang bekerja menjadi pekerja migran. Begitu anaknya lahir, sampai sekarang anaknya sudah remaja, dia nggak tau kemana ibunya si anak ini. Jadinya kan, bener-bener emosionalnya itu dapet sekali karena kejadian di depan matanya sendiri. Sehingga dia yang betul-betul, sampai dipanggil Kepala Dinas waktu itu. Dipanggil Kadis sama Asisten I bahwasannya ini penting, jangan sampai kejadian yang terjadi anak angkatnya itu terjadi kepada anak-anak orang lain lagi.”
Sebanyak 17.198 pekerja migran Lombok Tengah telah mendaftar (9,6% pekerja migran perempuan) dari 1 Januari 2017 sampai 30 Juni 2019, dan 7.143 pendaftaran sedang dalam proses (13,43% pekerja migran perempuan) (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, 2019).
Konteks kabupaten yang lebih kondusif untuk inklusi gender dapat terbentuk oleh champion yang mendukung inklusi gender atau setidaknya adanya kemauan politik. Hal ini penting untuk mengatasi kendala dalam ekonomi politik di lingkungan kelembagaan dan politik kabupaten (lihat Bab 7). Di seluruh kabupaten lokasi penelitian, terdapat beberapa indikator empiris kemauan politik yang ditunjukkan oleh pimpinan kabupaten untuk mendukung inklusi gender dan agenda pemberdayaan perempuan yang lebih luas. Indikator tersebut termasuk adanya tindakan berikut yang dilakukan oleh para pemimpin, atau sudah mulai dilakukan, yang sering kali namun bukan selalu berasal dari hasil advokasi pemangku kepentingan lainnya, terutama lembaga sosial dan OMS (lihat pembahasan lebih lanjut di Bab 7):
- Memperhatikan isu-isu yang dianggap sebagai prioritas perempuan dalam kampanye politik.
- Membentuk forum seperti kelompok kerja untuk mengidentifikasi kebijakan dan program untuk mengatasi tantangan yang dihadapi perempuan.
- Menunjukkan kesediaan untuk berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya yang peduli dengan inklusi gender dan pemberdayaan perempuan.
- Mendukung atau mengadvokasi kebijakan dan peraturan baru yang relevan untuk inklusi gender.
- Mendorong diskusi publik tentang isu-isu yang memengaruhi perempuan, bahkan isu-isu yang dianggap tabu seperti kekerasan dalam rumah tangga atau kesehatan reproduksi,
- Menunjuk perempuan atau champion yang mendukung agenda pemberdayaan perempuan untuk memegang jabatan berpengaruh di partai politik, kantor pemerintah atau jabatan kepemimpinan lainnya,
- Memperkenalkan atau mendukung mekanisme pengambilan keputusan yang memastikan perempuan dilibatkan dalam penetapan agenda dan forum pengambilan keputusan, dan
- Mengalokasikan anggaran untuk kebijakan dan program yang ditentukan perempuan sebagai prioritas.
Hal penting dalam indikator ini adalah memastikan kebijakan dan kerangka kerja menjadi komitmen nyata dan terbukti dari pemimpin politik, bukan sekadar kerangka kerja yang tidak dilaksanakan melalui tindakan-tindakan nyata.
Kebutuhan, kesenjangan dan prioritas yang ada untuk perempuan: Tingkat keselarasan dengan prioritas politik dan kebijakan
Setiap kabupaten dalam sampel penelitian kualitatif menghadapi tekanan sumber daya dengan tingkatan yang berbeda. Masing-masing kabupaten memiliki lingkungan ekonomi, geografis, jumlah penduduk, tingkat kerentanan terhadap bencana, tingkat kesehatan dan pendidikan serta tingkat kemiskinan yang berbeda. Prioritas kebijakan, isu yang menjadi kepentingan publik, tantangan yang dihadapi oleh perempuan, dan norma sosial yang luas serta tabu budaya pun berbeda, sehingga dapat membentuk lingkungan yang lebih kondusif atau lingkungan yang lebih menantang bagi inklusi gender, potensi pengaruh aksi kolektif dan inisiatif baru dalam pemberdayaan perempuan.
Variasi tantangan yang dihadapi perempuan
Selain tantangan yang luas dalam pengurangan kemiskinan, bahkan lebih berat di beberapa daerah dan di kalangan perempuan kepala keluarga, kajian ini menegaskan bahwa isu prioritas OMS/Kemitraan MAMPU memang merupakan tantangan utama di lokasi penelitian. Sering kali perempuan juga menghadapi tantangan lainnya di setiap lokasi penelitian, sehingga memperparah kemiskinan dan berbagai dimensi kerentanan. Kotak 10 memberikan beberapa contoh ilustrasi dari variasi tantangan yang dihadapi perempuan di lokasi penelitian, serta isu-isu yang lebih luas di seluruh lokasi penelitian selain tingkat kemiskinan yang lebih tinggi di antara perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian dan khususnya pada perempuan kepala keluarga.
Area-area fokus ini terkadang diselaraskan dengan prioritas politik dan kebijakan para pembuat keputusan di kabupaten yang ditetapkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, guna mencapai inklusivitas gender dan pemberdayaan perempuan serta melaksanakan program. Di sisi lain, strategi khusus diperlukan untuk menghadapi lingkungan politik melalui aksi kolektif akar rumput (Bab 5), dukungan OMS untuk perempuan dan advokasi (lihat Bab 6 dan 7), guna mengatasi resistensi dan memperoleh dukungan terhadap peningkatan suara dan pengaruh perempuan.
Kotak 10: Variasi Kebutuhan dan Tantangan yang Dihadapi Perempuan di Kabupaten
Perlindungan pekerja migran: Di daerah seperti Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat, serta Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan tempat tinggal para pekerja migran, sebagian laki-laki dan perempuan yang paling miskin di desa-desa ini rentan terhadap perekrutan pekerja migran oleh perantara. Perantara tersebut sering menggunakan jalur gelap dan tidak resmi untuk memfasilitasi keberangkatan pekerja migran, dan membuat kontrak yang menawarkan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja migran yang berangkat melalui jalur formal. Pekerja migran yang berangkat melalui jalur gelap ini tidak memiliki perlindungan seperti yang disediakan melalui pemberangkatan resmi, baik dalam hal tingkat upah maupun bantuan pemerintah yang tersedia apabila mereka mengalami masalah di luar negeri.
Peluang mata pencaharian: Perempuan di daerah yang lebih terpencil menghadapi tantangan ini karena terbatasnya kekayaan sumber daya alam yang dapat memberikan banyak pilihan mata pencaharian. Hal ini terjadi di Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan, Kabupaten Pangkep di Sulawesi, Kabupaten TTU di NTT, dan Kabupaten Lombok Utara yang terdampak bencana gempa bumi.10 Di daerah ini banyak penduduk, khususnya perempuan, mencari nafkah dengan bekerja di lahan pertanian yang sangat kecil atau bekerja sebagai buruh tani.
Kejelasan Kewarganegaraan: Kejelasan identitas sebagai warga negara yang diperoleh melalui kepemilikan akta kelahiran, akta nikah, kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk dan dokumen lain yang diakui negara, dibutuhkan untuk mengakses layanan pemerintah dan banyak kegunaan lain di masyarakat Indonesia. Akses kepada dokumen tersebut merupakan hambatan bagi banyak penduduk desa, terutama yang termiskin dari yang miskin. Perempuan pada khususnya cenderung tidak memiliki pengetahuan atau sumber daya untuk memperoleh akses terhadap layanan administrasi pemerintah dan yang tinggal jauh dari akses tersebut. Hal ini berpengaruh pada kedua gender, tetapi masalah ini secara khusus dialami oleh perempuan kepala keluarga pada umumnya, dan terutama terjadi di banyak lokasi penelitian yang lebih miskin dan lebih terpencil seperti Kabupaten Bangkalan di Jawa Timur dan Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan. Keluarga yang dikepalai perempuan kemungkinan besar hidup di bawah garis kemiskinan dan menghadapi dimensi kemiskinan lainnya seperti pendidikan yang rendah, kesehatan yang buruk, pilihan mata pencaharian yang terbatas, masalah pengangguran dan risiko eksploitasi misalnya perdagangan manusia.
Kekerasan terhadap perempuan: Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah di banyak kabupaten lokasi penelitian, meskipun tidak selalu menjadi fokus penelitian ini. Kekerasan terhadap perempuan menjadi masalah utama di beberapa lokasi penelitian di Kabupaten Labuhan Batu dan Provinsi Lampung di Sumatera, Kabupaten TTU di NTT, dan Kabupaten Lombok Timur di NTB.
Pencegahan perkawinan anak: Perkawinan anak sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan dengan berbagi beban tanggungan, yang berkelindan dengan norma sosial yang membuat pernikahan di usia anak ini dianggap wajar di masyarakat, merupakan tantangan khusus yang teridentifikasi di Kabupaten Bangkalan di Jawa Timur (lihat Kotak 14), dan di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur di NTB.
Pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi: Di banyak daerah, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi perempuan masih terbatas, termasuk pemahaman tentang pentingnya identifikasi dini risiko kanker (melalui skrining kanker serviks), kesehatan seksual, dan banyak isu kesehatan lainnya. Beban kesehatan keluarga cenderung ditanggung oleh perempuan yang sering kali harus merawat anak-anak dan lansia. Peningkatan pengetahuan tentang isu-isu kesehatan ini merupakan tantangan di daerah yang sangat tabu untuk berbagi pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi.
Perlindungan sosial, khususnya dalam mengakses layanan dan program kesehatan, pendidikan dan pengurangan kemiskinan: Mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial lainnya cenderung menjadi tantangan khusus di daerah yang lebih terpencil (misalnya Kabupaten Hulu Sungai Utara di Kalimantan), sebagian daerah di Kabupaten Pangkep (terutama di pulau-pulau kecil lepas pantai), tetapi juga di daerah dengan tingkat kemiskinan lebih rendah di Jawa Timur seperti Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Gresik dan di Pulau Lombok seperti Lombok Timur dan di sebagian daerah NTT.
Kesadaran gender dan pengambilan keputusan sensitif gender: Sebagian besar lokasi penelitian tidak hanya menghadapi tantangan dalam kesadaran gender sehubungan dengan hak dan tanggung jawab gender, tetapi juga tantangan dalam upaya memastikan representasi perempuan dalam forum pengambilan keputusan dan penetapan prioritas, yang pada akhirnya memicu terjadinya banyak masalah lainnya yang disebutkan sebelumnya.
10 Meskipun penelitian lapangan secara mendalam tidak dilakukan di daerah ini, kunjungan singkat ke Lombok Utara dilakukan dan dapat diamati bahwa bencana gempa bumi sangat berdampak pada sebagian besar pulau tersebut.
Variasi dalam prioritas dan peluang sumber daya dan pembangunan di tingkat kabupaten: Penyelarasan agenda
Saat kepentingan dan kebutuhan perempuan diselaraskan dengan prioritas pembangunan pemerintah kabupaten (dan kesenjangan yang juga diidentifikasi) atau isu-isu yang menarik kepentingan publik yang menjadi perhatian para pembuat keputusan (meskipun sering kali tidak terdapat mekanisme yang tepat untuk mengatasi tantangan tersebut), tercipta lingkungan yang lebih kondusif bagi aksi kolektif perempuan dan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan dan program.
Misalnya, isu tentang pekerja migran di Lombok Tengah sudah lama diliput media. Media telah melaporkan secara rinci apa saja risiko, kekerasan, dan eksploitasi yang dihadapi sebagian pekerja migran baik di Lombok maupun di Indonesia secara lebih luas. Tantangan tersebut dialami terutama oleh pekerja migran yang dipekerjakan oleh perantara yang mengatur pekerjaan di luar negeri, mengurus dokumen administratif dan proses perjalanan serta dalam banyak kasus juga termasuk mengatur tingkat upah dan pembayaran, di mana sebagian proses-proses ini mungkin tidak mengikuti persyaratan yang ada. Para pekerja migran tersebut dijanjikan standar hidup yang lebih baik dan tunjangan yang menggiurkan, tetapi justru para pekerja migran tersebut mengalami kesulitan hidup seperti paspornya ditahan oleh pemberi kerja, gaji lebih rendah dari yang dijanjikan atau ditahan pembayarannya, harus memberikan pembayaran tidak sah lainnya kepada perantara, dan mengalami antara lain, kekerasan dalam rumah tangga serta pelecehan seksual di rumah tangga tempat mereka bekerja atau di tempat kerja mereka lainnya.
Mengingat liputan media ini dan tantangan yang dialami oleh pekerja migran, isu ini telah menjadi perhatian para pembuat kebijakan sejak dimulainya inisiatif Migrant CARE dan Panca Karsa yang didukung MAMPU di daerah tersebut (lihat Bab 3), meskipun sistem untuk mengatasi risiko ini belum diperkenalkan. Perhatian publik terhadap perlindungan bagi pekerja migran menjadi pintu masuk inisiatif perlindungan pekerja migran yang diperkenalkan oleh Migrant CARE/Panca Karsa. Meskipun masih sulit untuk memengaruhi kebijakan (lihat Bab 7), keadaan ini meningkatkan kemauan politik untuk mendukung upaya peningkatan perlindungan pekerja migran.
Saat tantangan yang dihadapi perempuan kurang selaras dengan isu yang menarik perhatian publik atau prioritas pemerintah, saat prioritas perempuan membuat tekanan baru secara signifikan pada anggaran, atau saat persoalan perempuan bersinggungan dengan tabu budaya (dibahas lebih lanjut di bagian Konteks Desa, meskipun sama-sama relevan untuk konteks kabupaten), maka lingkungan menjadi kurang kondusif untuk advokasi dan pengaruh perempuan. Hal ini terutama terjadi ketika pemerintah kabupaten lebih memprioritaskan infrastruktur kabupaten atau lebih mendukung perindustrian, dibandingkan isu-isu lainnya. Selama masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo dari 2014-2019, infrastruktur memang menjadi salah satu fokus utama kebijakan pembangunan ekonomi yang juga tercermin dalam prioritas kabupaten.
Kehadiran program dan donor lainnya
Salah satu kondisi akhir dalam lingkungan semula di tingkat kabupaten yang berpengaruh pada upaya untuk mendorong aksi kolektif perempuan, baik di tingkat akar rumput maupun dalam advokasi dan program kerja OMS Mitra MAMPU, adalah kehadiran dan cakupan program pembangunan dan organisasi lainnya yang berfokus pada inklusivitas gender atau pada pemberdayaan masyarakat di tingkat kabupaten. Dengan kehadiran program dan donor lainnya menjadi lebih mudah untuk membangun dari pengalaman program sebelumnya, juga dalam kerja advokasi dan kebijakan yang sudah dimulai, dan pemanfaatan jejaring yang sudah ada. Hal ini memungkinkan untuk saling berbagi sumber daya guna memberikan dukungan bagi perempuan di lapangan dan advokasi. Namun hal ini juga menjadi tantangan saat OMS dan organisasi lainnya memiliki agenda yang bersaing atau tumpang tindih, dengan nilai dan ideologi yang berbeda secara signifikan, ataupun ketika inisiatif akar rumput di desa mendapat dukungan yang bersaing atau tumpang tindih dari banyak donor, yang bekerja dengan organisasi-organisasi pendukung yang berbeda atau terkadang sama. Dinamika ini berkontribusi pada tingkat kompleksitas pelaksanaan program dalam lingkungan di tingkat kabupaten. Dalam beberapa kasus, donor yang berbeda memberikan manfaat yang berbeda pula kepada mitra OMS atau penduduk desa melalui program pembangunan, sehingga secara tidak sengaja menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan yakni timbulnya ketegangan antar warga desa atau OMS.
Hal tersebut dapat diamati dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Pangkep, yang menjadi sasaran sejumlah program pembangunan, struktur pendanaan, dan prioritas yang tumpang tindih—terkadang program-program ini saling melengkapi dengan menangani dimensi pengentasan kemiskinan, pembangunan dan pemberdayaan perempuan yang berbeda agar dapat saling mendukung. Dalam kasus lain, terdapat program yang bersaing untuk memperoleh staf, sumber daya, dan pencapaian keberhasilan di lapangan. Hal ini menimbulkan ketegangan di antara staf OMS yang ditemui dalam penelitian tidak hanya di tingkat kabupaten, tetapi juga di desa-desa dimana dukungan oleh program dijalankan melalui anggaran yang berbeda, jenis penggantian biaya yang juga berbeda, dan manfaat finansial langsung untuk desa yang dapat berbeda. Dalam kasus lainnya, dimensi pemberdayaan yang diadvokasi oleh OMS tertentu berlawanan dengan dimensi pemberdayaan yang diadvokasi oleh OMS lain, yang juga berupaya mendukung perempuan untuk menangani isu yang sama.
Meskipun hal ini tidak dibahas secara lebih lanjut dalam laporan penelitian ini, ketika program-program tersebut mampu mengkomunikasikan, mengkoordinasikan dan mensinergikan agenda, program, dan cara untuk mendukung desa, maka tingkat kompleksitasnya berkurang. Dalam hal tersebut, forum multi-pihak cenderung bekerja lancar untuk mengkoordinasikan inisiatif, mengidentifikasi tumpang tindih dan kesenjangan, dan mengkomunikasikan tantangan yang timbul sehingga program-program yang ada dapat saling mendukung untuk mencapai pembangunan yang inklusif gender. Oleh karena itu, sebelum memperkenalkan inisiatif baru, sejak awal penting untuk mengetahui apakah terdapat banyak program yang sama-sama bertujuan mendukung perempuan, apa saja proyek pembangunan yang ada, apa sifat organisasi dan jenis advokasinya dan apakah organisasi-organisasi tersebut memiliki agenda yang berbeda dan bersaing, serta apakah terdapat mekanisme koordinasi yang dapat membantu mengurangi tingkat kompleksitas di lingkungan kabupaten tersebut.
Sama halnya dengan ketika program-program yang berbeda mampu bersinergi—masing-masing menangani aspek yang berbeda terkait dengan lingkungan kelembagaan, sosial, politik dan ekonomi, atau sektor yang berbeda, atau kelompok penerima manfaat yang berbeda—maka muncul potensi untuk meningkatkan kondusifitas konteks dan kesejahteraan bagi penduduk miskin, dan perempuan secara lebih luas. Potensi ini dapat diamati di NTT karena terdapat kehadiran nyata dari program-program, lembaga lokal dan internasional, dan OMS yang berfokus pada sejumlah isu, termasuk isu-isu perempuan misalnya tingkat kesehatan dan mortalitas ibu dan bayi.