Peraturan Desa Mengenai Itsbat Nikah: Memperkuat Klaim Perempuan terhadap Hak Sipil dan Meningkatkan Akses atas Perlindungan Sosial

Penulis:
Indah Surya Wardhani
Anastasia Imelda Cahyaningrum

Unduh PDF dalam Bahasa Indonesia

Ringkasan

Studi kasus ini menggambarkan perubahan yang terjadi di sebuah desa di Bangkalan setelah keluarnya “Perdes Itsbat Nikah” pada tahun 2017. Perdes ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang dialami oleh warga desa, perempuan pada khususnya, untuk mendapatkan dokumen administrasi kependudukan yang diakui pemerintah. Di desa ini masih marak praktik pernikahan yang hanya berbasis keagamaan tanpa dicatat resmi oleh negara. Kondisi geografis desa yang minim akses transportasi juga menyuburkan praktik percaloan yang berbiaya mahal. Selain itu, norma sosial dan agama yang kuat membatasi gerak perempuan di ruang publik dan mendorong praktik perkawinan anak yang tidak tercatat secara formal. Hal-hal ini kemudian mengakibatkan hak dasar warga (termasuk perempuan dan anak), seperti hak mendapatkan bantuan pemerintah, menjadi sangat terbatas.

Permasalahan di atas mendorong terbentuknya Kelompok Pekka yang tergabung ke dalam Serikat Pekka untuk secara kolektif melakukan advokasi pemenuhan hak sipil perempuan di desa penelitian. Dimotori oleh Kader Pekka dari aktor perempuan setempat, Serikat Pekka dan Kelompok Pekka melaksanakan program Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi (KLIK). Program KLIK ini turut membangun kesadaran di antara warga terkait pentingnya dokumen kependudukan untuk akses terhadap program perlindungan jaminan sosial. Selain itu, data yang terkumpul melalui KLIK ini memberikan gambaran riil mengenai pemetaan prioritas kebutuhan warga akan dokumen surat nikah, yang menguatkan komitmen desa untuk menertibkan administrasi kependudukan. Serikat Pekka, dengan didukung oleh PEKKA, mendorong pemerintah desa menerbitkan “Perdes Itsbat Nikah”, yang dijadikan landasan hukum bagi pemerintah desa untuk menyelenggarakan sidang itsbat nikah di balai desa serta mengalokasikan dana APBDes sebesar Rp28 juta per tahun untuk memfasilitasi kegiatan tersebut. Tanpa adanya fasilitasi dari pemerintah desa ini, sidang itsbat hanya dapat diselenggarakan di kantor Pengadilan Agama di pusat kota Bangkalan yang jauh dari desa.

“Perdes Itsbat Nikah” membuat tiga perubahan penting di desa. Pertama, bagi perempuan miskin, Perdes memberikan kepastian layanan surat nikah sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus identitas kependudukan lainnya sehingga mereka memenuhi persyaratan untuk mengakses layanan perlindungan sosial negara. Kedua, Perdes ini membuka ruang bagi gerakan kolektif dan pengembangan kapasitas dan jaringan perempuan dalam membantu pengurusan legalitas identitas kependudukan. Ketiga, bagi tata kelola pemerintahan desa, Perdes berhasil menata data kependudukan warga, serta mengikis praktik percaloan pengurusan dokumen identitas. Perdes ini menjadi landasan hukum bagi pemerintah desa mengalokasikan Dana Desa untuk penyelenggaraan proses sidang itsbat nikah di desa.

Keberhasilan Serikat Pekka dan Kelompok Pekka mendorong Perdes tidak terlepas dari pendampingan PEKKA. Antara tahun 2016 dan 2017, PEKKA menempuh dua jalur gerakan untuk mendorong perumusan dan penetapan Perdes, yaitu jalur akar rumput melakukan pemberdayaan perempuan, dan jalur pemerintahan desa melakukan advokasi kebijakan perlindungan sosial. Diawali pemetaan struktur kekuasaan sosial yang dilakukan PEKKA sebelumnya, teridentifikasi orangorang kunci di desa yang kemudian didekati secara formal and informal. Proses pemetaan dan pendekatan membuahkan hasil dengan terbukanya pintu bagi Serikat Pekka membentuk Kelompok Pekka untuk berkegiatan di desa.

Proses pendekatan yang dilakukan oleh Serikat Pekka pada dasarnya adalah memanfaatkan struktur kekuasaan patriarkis yang ada di desa, melalui penguatan Kader Pekka yang berhubungan dekat tokoh-tokoh struktural tradisional di desa. Kader-kader ini memiliki posisi yang strategis dalam memperluas jaringan pengaruh, dengan meyakinkan tokoh-tokoh tersebut agar mendukung terbitnya Perdes. Walaupun begitu, penerbitan Perdes Itsbat Nikah belum mampu mengubah seluruh struktur kekuasaan yang ada. Norma sosial yang membentuk konservatisme relasi baru berubah secara bertahap, di mana perempuan mulai terlibat di ruang publik, namun masih seputar kegiatan yang bersifat domestik. Secara sosial politis, proses pengambilan keputusan di desa masih didominasi oleh tokoh laki-laki senior di desa. Namun demikian, studi kasus di Bangkalan ini menunjukkan bagaimana dengan strategi dan pendekatan yang tepat, gerakan kolektif perempuan melalui pembentukan kelompok-kelompok dan jaringan justru mampu memanfaatkan struktur kekuasaan yang ada, yang semula resisten, kemudian menjadi lebih mendukung pemenuhan hak-hak perempuan.

Baca studi kasus lain tentang tema sektoral perlindungan sosial.