Ringkasan
Studi kasus ini menguraikan bagaimana perempuan di desa penelitian di Labuhan Batu berupaya untuk memengaruhi perubahan terkait penanganan tindak kekerasan, dan untuk memberikan pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi kasus kekerasan di desa ini beragam menurut masyarakat desa, antara lain kenakalan remaja, perkawinan anak, penggunaan narkoba, serta beban rumah tangga yang berat akibat kemiskinan. Hambatan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan selama ini antara lain adalah ketidaktersediaan pusat pengaduan tindak kekerasan di tingkat desa dan kecamatan, dan minimnya kolaborasi di antara aktor-aktor yang berkepentingan.
Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu kemudian hadir untuk memberikan dukungan bagi perempuan
desa untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Langkah yang dilakukan ialah dengan memperkuat aksi kolektif perempuan melalui pembentukan kelompok SPI di tingkat desa. SPI Desa ini menjadi motor penggerak advokasi dan pendampingan perempuan korban kekerasan di desa. SPI Labuhan Batu berupaya meningkatkan kemampuan perempuan yang tergabung dalam SPI Desa melalui pendidikan mengenai kesetaraan gender, pelatihan paralegal, dan pelatihan lainnya untuk perempuan desa serta anggota masyarakat lainnya. SPI Desa juga membentuk Posko Peduli Perempuan untuk membantu penanggulangan tindak kekerasan di desa dan juga menyediakan ruang aman serta pendampingan bagi perempuan korban kekerasan. Ditambah lagi, pembentukan kelompok SPI Desa memberikan kesempatan bagi anggota-anggotanya untuk membangun jaringan dengan tokoh pemerintahan di desa, khususnya Ketua BPD, untuk mengadvokasikan dukungan yang lebih luas terkait pencegahan tindak kekerasan. Upaya pendekatan yang dilakukan pada akhirnya berhasil menggalang dukungan dari pemerintah desa, serta tokoh elit dan kelompok masyarakat lainnya di desa.
Kolaborasi antar pihak seperti demikian membuahkan hasil dengan terbentuknya Layanan Berbasis Komunitas (LBK) di tahun 2016, yang diisi oleh anggota SPI Desa, aktor kunci di pemerintahan desa terutama Ketua BPD, organisasi pemuda, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya. Kerjasama multipihak ini melahirkan penetapan Peraturan Desa No. 02 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, dan juga membuka jalan bagi pengalokasian Dana Desa untuk kegiatan LBK di desa.
Di desa penelitian di Labuhan Batu ini, peningkatan kesadaran masyarakat tentang prevalensi tindak kekerasan di desa berhasil memperluas pemahaman masyarakat mengenai definisi kekerasan terhadap perempuan. Pada awalnya, pemahaman masyarakat masih terbatas pada kekerasan fisik dan kekerasan psikologis berbentuk verbal. Kini masyarakat mulai memahami bahwa bentuk kekerasan psikologis lain, seperti perselingkuhan dan penelantaran rumah tangga, termasuk ke dalam definisi kekerasan terhadap perempuan, walaupun pemahaman ini belum terkodifikasi dalam peraturan di tingkat kabupaten.
Pendampingan dan pemberdayaan perempuan yang dilakukan SPI Labuhan Batu sudah berjalan sejak tahun 2001,
yaitu sejak bergabung dengan HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia). Sejak tahun 2001-2015, SPI lebih
banyak bekerja sendiri dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan. Upaya yang dilakukan lebih pada pendampingan perempuan korban kekerasan, mediasi sampai pada proses pendampingan perceraian. Sejak tergabung dengan mitra MAMPU yakni Forum Pengada Layanan (FPL) di tahun 2015, aktivitas SPI Labuhan Batu meluas dengan memberikan pendidikan adil gender bagi perempuan desa dengan materi yang lebih komprehensif, melakukan sosialisasi UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), penguatan ekonomi anggota, serta mulai berjejaring dengan pemerintah desa demi penguatan kelembagaan. Terbentuknya LBK juga memberikan legitimasi bagi keberadaan SPI sebagai watchdog anti kekerasan terhadap perempuan di desa penelitian.
Namun demikian, masih terdapat beberapa tantangan bagi SPI. Pertama, alokasi Dana Desa yang sudah diatur di dalam Perdes No. 2 Tahun 2018 belum terealisasi sepenuhnya pada praktiknya. Kedua, walau perdes sudah mengatur mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan, penerapan sanksi masih terbatas dan tanpa pengawasan, terutama ketika pelaku adalah tokoh elit di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa norma sosial yang ada belum luruh sepenuhnya. Ketiga, terhambatnya koordinasi dengan institusi negara di tingkat kabupaten karena siklus politik yang dinamis. Studi kasus ini dengan demikian menunjukkan bahwa aksi kolektif perempuan desa, dengan dukungan SPI Labuhan Batu, memiliki peran yang cukup signifikan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kolaborasi yang lebih luas diperlukan agar kasus kekerasan dapat ditangani secara lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Baca studi kasus lain tentang tema sektoral kekerasan berbasis gender.