
Pada tahun 2014, Indonesia memulai agenda yang ambisius untuk menyerahkan sebagian kewenangan pembangunan daerah kepada pemerintah desa melalui diberlakukannya UU Desa, sehingga anggaran langsung disalurkan ke hampir 75.000 desa di seluruh nusantara untuk melaksanakan inisiatif di tingkat desa. Sebelumnya, kewenangan yang signifikan untuk pengambilan keputusan dan anggaran terkait telah dilimpahkan ke pemerintah kabupaten pada tahun 1999 (dan sebagian kewenangan dialihkan ke pemerintah provinsi) melalui Undang-Undang otonomi daerah.1
Berdasarkan Undang-Undang tahun 1999, desa ditetapkan sebagai unit pemerintahan otonom yang berkedudukan di wilayah kabupaten. Melalui reformasi demokratisasi, pemilihan umum langsung diselenggarakan mulai dari pemilihan Presiden hingga Gubernur, Bupati, dan Kepala Desa. Melalui desentralisasi dan reformasi demokratisasi, penduduk desa tidak membutuhkan waktu lama untuk terbiasa dengan kewenangan baru yang mereka miliki sebagai suatu desa2 otonom, dengan Kepala Desa yang mereka pilih sendiri (dan pemerintah yang terdiri dari pejabat administratif), serta adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Berlakunya UU Desa tahun 2014 dapat dianggap sebagai upaya untuk mendukung desentralisasi dalam rangka mendorong pengambilan keputusan terdesentralisasi di seluruh nusantara dan mengakui beragam bentuk tata kelola pemerintahan di tingkat desa. UU Desa tidak hanya memperjelas status desa dalam struktur tata kelola pemerintahan di Indonesia, tetapi juga mengesahkan pengambilan keputusan secara partisipatif oleh masyarakat untuk menentukan prioritas pembangunan desa. UU Desa mengakui keragaman desa dan adat di seluruh nusantara dan menekankan upaya pengurangan kemiskinan melalui pembangunan desa, sehingga pembangunan desa harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan gender dan berdasarkan pengambilan keputusan yang demokratis. Dengan tersedianya anggaran tahunan sekitar USD75.000—bahkan lebih di daerah yang lebih padat penduduk, lebih luas secara geografis, atau lebih miskin masyarakatnya—desa mampu memenuhi kebutuhan spesifik desa, merancang inisiatif sesuai dengan kebutuhan desa dan melaksanakan inisiatif tersebut untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.
Pada tahun 2014, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes, selanjutnya disebut Kementerian Desa) dibentuk untuk mengawasi perubahan signifikan pada kebijakan dan kelembagaan yang terjadi sejak berlakunya UU Desa, bersama dengan Kementerian Dalam Negeri yang telah lama berwenang atas desentralisasi.
Inklusi gender dan aksi kolektif
Sementara itu, selama dua dekade reformasi, perempuan Indonesia, gerakan perempuan Indonesia dan banyak organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia—termasuk organisasi massa perempuan—yang peduli dengan inklusi gender telah melakukan terobosan yang signifikan untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui advokasi untuk menerbitkan atau mengubah perundang-undangan, kebijakan dan program. Selain itu, lembaga pemerintah juga telah mengarah pada peningkatan kesetaraan gender di sejumlah sektor melalui berbagai inisiatif lintas sektor, penerbitan atau perubahan peraturan dan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah meskipun belum tentu merupakan hasil advokasi yang disebutkan sebelumnya. Perubahan ini termasuk menyusun kerangka kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan perempuan secara lebih baik, memperkuat hak-hak perempuan dan memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan—misalnya dengan menerapkan kuota gender dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. Berbagai program telah diluncurkan sesuai dengan kerangka kebijakan tersebut agar tercapai perbaikan secara meluas dalam perlindungan sosial misalnya kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan, serta pengentasan kemiskinan, yang berdampak signifikan bagi perempuan.
Meskipun telah tercapai berbagai peningkatan dalam dua dekade terakhir, misalnya Indonesia telah mencapai ‘tingkat kesetaraan menengah (medium equality)’ antara laki-laki dan perempuan menurut peringkat United Nations Development Programme tahun 2018—peningkatan tersebut terjadi secara inkremental dan tidak merata, terutama di daerah pedesaan. Ketidaksetaraan struktural masih ada. Setiap daerah di Indonesia juga memiliki kebutuhan dan tantangan pembangunannya tersendiri, terutama mengingat keragaman geografis, infrastruktur, kebutuhan layanan, kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, dan norma sosial budaya, terutama norma yang berkaitan dengan peran gender dimana perilaku patriarkal masih mengakar di beberapa daerah sehingga mempersulit upaya mengurangi hambatan terhadap inklusi gender.
Banyak program yang diluncurkan atau dijalankan oleh pemerintah, OMS, organisasi massa, atau lembaga lainnya menjadikan perempuan sebagai lini pertahanan terdepan dalam pengurangan kemiskinan karena beban kemiskinan acap kali harus ditanggung oleh perempuan di keluarga termiskin di Indonesia secara tidak proporsional. Menanggulangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan dan pengakuan hak, serta akses terhadap layanan bagi perempuan memang merupakan agenda berkelanjutan dalam program pembangunan berskala besar, serta bagi organisasi dan jejaring perempuan lintas daerah, dan ribuan organisasi kecil yang bekerja di banyak kabupaten di Indonesia. Meskipun program-program tersebut secara perlahan dan bertahap mungkin telah meningkatkan posisi perempuan, atau para perempuan mungkin telah memperoleh keterampilan baru dan akses ke layanan, upaya ini mungkin, walau belum tentu dapat mengatasi hambatan struktural yang mendasar terhadap inklusi gender yang lebih luas dalam pengambilan keputusan.
Oleh sebab itu, perempuan secara individu dan organisasi perempuan dalam gerakan perempuan Indonesia juga memiliki tujuan yang lebih luas untuk mengubah struktur sosial dan politik agar lebih inklusif terhadap perempuan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perempuan terlibat dalam struktur kekuasaan yang menetapkan agenda, merumuskan atau memengaruhi perundang-undangan, kebijakan dan program, serta membentuk norma sosial dan budaya, sehingga akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan. Sebagai negara kepulauan yang luas dan beragam, struktur politik dan sosial tersebut terdapat di berbagai ranah dan tingkatan, dari desa ke kabupaten hingga provinsi dan secara nasional.
Dalam struktur tata kelola pemerintahan bertingkat di Indonesia, perubahan melalui berlakunya UU Desa memberikan peluang yang signifikan bagi perempuan untuk semakin memengaruhi keputusan dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa. Penelitian ini mengkaji bagaimana aksi kolektif perempuan memengaruhi tata kelola dan pengambilan keputusan, inisiatif pembangunan, dan struktur kekuasaan yang lebih luas di tingkat desa dan kabupaten di Indonesia, dengan fokus khusus pada implementasi UU Desa. Meskipun kami berfokus pada implementasi UU Desa tahun 2014 di tingkat desa, kami juga mempertimbangkan dinamika di tingkat kabupaten, mengingat Indonesia menerapkan struktur tata kelola pemerintahan bertingkat.
Kami menggali dua dimensi dalam aksi kolektif perempuan dan interaksi di antara kedua dimensi tersebut. Kami berfokus pada aksi kolektif perempuan akar rumput di pedesaan di Indonesia—aksi yang dilakukan oleh perempuan desa untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara umum, dan aksi kolektif perempuan untuk menggunakan kekuatan dan suara perempuan dalam upaya memengaruhi keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka, terutama dalam pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Kami juga mengkaji advokasi dan dukungan OMS yang lebih luas kepada perempuan desa melalui kelompok akar rumput yang berupaya untuk meningkatkan inklusi gender dan memberdayakan perempuan. Strategi dan tindakan adaptif OMS juga merupakan bentuk pengorganisasian aksi kolektif perempuan yang lebih terstruktur di tingkat daerah di Indonesia. Dalam mempelajari kedua dimensi tersebut dalam aksi kolektif perempuan dan interaksi di antara kedua dimensi tersebut, kami bermaksud untuk memahami bagaimana aksi kolektif perempuan memengaruhi lingkungan desa dan kabupaten, dan pada akhirnya implementasi UU Desa.
Pertanyaan dan metodologi penelitian
Untuk mengisi kesenjangan penelitian yang diidentifikasi dalam Bab 2, penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama penelitian berikut: dalam konteks apa, sejauh mana dan melalui mekanisme apa aksi kolektif lokal oleh perempuan memengaruhi implementasi UU Desa, dan apa peran OMS dalam proses ini? Analisis yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut mencakup analisis tentang:
- Cara perempuan desa menggunakan suaranya dan melakukan aksi (dan perubahan yang terjadi seiring waktu) melalui kolektivitas, kelompok dan jejaring perempuan desa dan bersama tokoh-tokoh lainnya, serta pengalaman perubahan yang dialami perempuan dari waktu ke waktu,
- Peran dan strategi OMS dalam upaya mendukung perempuan desa dan melakukan advokasi yang saling berkaitan di tingkat desa dan kabupaten,
- Bagaimana dinamika ini bervariasi dalam konteks yang berbeda, termasuk hambatan dan peluangnya, dan
- Jalur (yang bervariasi) yang dilalui agar aksi perempuan berdampak pada implementasi UU Desa.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis komparatif multi-tingkatan berdasarkan data kualitatif yang secara ekstensif dikumpulkan dengan melibatkan lebih dari 600 orang peserta penelitian, terutama perempuan yang lebih rentan di pedesaan. Metode penelitian kualitatif campuran ini dilengkapi dengan analisis terhadap data monitoring kuantitatif yang dikumpulkan dari 27 provinsi. Melalui wawancara dan analisis riwayat hidup secara mendalam dengan lebih dari 450 narasumber, lebih dari tiga puluh diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) yang melibatkan 150 peserta, analisis penelusuran perubahan dari waktu ke waktu yang terjadi di desa dan kabupaten (kajian studi kasus aksi kolektif perempuan perdesaan), analisis jejaring sosial desa, analisis konteks di desa dan kabupaten, dan analisis pengorganisasian OMS, kami mengidentifikasi jalur-jalur yang dilalui perempuan untuk menggunakan suaranya dan melakukan aksi untuk memengaruhi implementasi UU Desa. Kami juga mempelajari lebih dalam apakah OMS mendukung pemberdayaan perempuan dalam konteks yang berbeda dan bagaimana OMS memberikan dukungan tersebut.
Data penelitian dikumpulkan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, selama tahun 2019 di sembilan provinsi dan 12 kabupaten yang memiliki tingkat keragaman yang berbeda dalam mata pencaharian, tingkat kemiskinan, kondisi geografis dan infrastruktur, layanan dan program, sumber daya, tingkat kepadatan penduduk, afiliasi agama, serta norma sosial dan adat. Karena kajian ini secara spesifik berfokus pada dinamika di tingkat desa, kami tidak hanya melakukan penelitian di tingkat kabupaten (dan sebagian di tingkat provinsi), tetapi juga penelitian secara ekstensif dengan cara tinggal bersama penduduk desa di 14 desa dalam jangka waktu panjang, yaitu di satu desa pada setiap kabupaten tempat OMS memulai atau memperkuat dukungan bagi perempuan desa, dan di dua desa yang tidak teridentifikasi adanya intervensi OMS (satu desa di Jawa, sedangkan satu desa lainnya di luar Jawa).
Penelitian ini didukung oleh program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU), namun analisis yang disajikan dalam penelitian ini merupakan pandangan penulis sendiri. Sebagai kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dan Australia, Program MAMPU menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia. Dengan pendekatan kemitraan, MAMPU mendukung 13 organisasi dan jejaring konsorsium perempuan di tingkat nasional atau daerah yang tidak hanya berfokus pada berbagai isu sektoral perempuan, tetapi juga berupaya mendukung perempuan desa dan meningkatkan keterampilan mereka, termasuk kapasitas dan peluang untuk menggunakan suara dan pengaruh di masyarakat Indonesia. Sebagian besar organisasi dan konsorsium di tingkat nasional juga bermitra dengan OMS di tingkat provinsi dan kabupaten. Pada akhir 2019, MAMPU secara langsung dan tidak langsung mendukung 122 mitra di tingkat nasional dan daerah, serta bekerja di 147 kabupaten/kota dan 1.137 desa di 27 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
Saat kajian ini akan dilakukan dan untuk menjalin hubungan awal dengan perempuan di desa, sembilan dari 13 organisasi mitra MAMPU di tingkat nasional dan enam mitra organisasi tersebut di tingkat daerah berkolaborasi dengan para peneliti untuk memberikan dukungan dan umpan balik secara berkesinambungan terhadap rancangan dan analisis penelitian, serta memfasilitasi (salah satu) akses ke lokasi penelitian. Keterangan mengenai masing-masing dari 15 OMS dan organisasi massa perempuan yang terlibat dalam penelitian (selanjutnya secara bersama-sama disebut OMS) dapat dibaca di Bab 2 (pada pengambilan sampel) dan informasi lebih lanjut tentang ruang lingkup dan skala pekerjaan OMS tersebut di lokasi penelitian dijelaskan dalam Lampiran 3.
Dukungan yang ditujukan bagi perempuan dan advokasi yang dilakukan oleh OMS yang terlibat dalam penelitian ini berfokus pada lima isu utama perempuan—perlindungan sosial, kesehatan reproduksi dan gizi, perlindungan bagi pekerja migran, kondisi kerja yang lebih baik dan pengurangan diskriminasi terhadap perempuan yang bekerja di sektor informal (khususnya pekerja rumahan), dan pengurangan kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Kelima isu utama ini juga merupakan lima area fokus program MAMPU. Kajian ini juga mengungkapkan dinamika implementasi UU Desa terkait dengan kelima isu fokus tersebut melalui penelitian di 12 kabupaten/desa ‘intervensi’. Sebagai perbandingan, kami juga mengkaji dinamika inklusi gender dan potensi pengaruh perempuan terhadap implementasi UU Desa di dua lokasi ‘kontrol’, yaitu satu desa kontrol di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Provinsi Sulawesi Selatan, Pulau Sulawesi) dan satu desa kontrol lain di Kabupaten Gresik (Provinsi Jawa Timur, Pulau Jawa). Seperti disebutkan sebelumnya, tidak terlihat adanya intervensi atau dukungan OMS bagi perempuan di kedua desa ini. Penelitian di lokasi ‘kontrol’ ini dilaksanakan untuk mendapatkan analisis komparatif terhadap lokasi ‘intervensi’ agar dapat terlihat secara lebih jelas apakah terdapat dinamika yang bervariasi sehubungan dengan:
- Agensi dan aksi kolektif di akar rumput,
- Apakah dukungan OMS bagi perempuan desa dapat memfasilitasi atau meningkatkan agensi, aksi kolektif, dan pengaruh perempuan pada implementasi UU Desa dan inklusi gender yang lebih luas, dan jika iya, peningkatan tersebut terjadi karena dimensi dukungan OMS yang mana dan melalui jalur yang mana, dan
- Dimensi perubahan mana yang lebih bersifat endogen dalam proses perubahan yang sedang berlangsung di desa-desa di Indonesia sejak implementasi UU Desa.
Meskipun OMS yang terlibat dalam studi ini banyak dan beragam (begitu pula semua mitra MAMPU lainnya), terdapat satu aspek pendekatan yang sama—bekerja dengan dan melalui kelompok akar rumput serta melakukan advokasi yang lebih luas pada saat yang sama. Organisasi-organisasi ini telah mendukung perempuan desa untuk membentuk kelompok baru (sering kali namun tidak selalu khusus untuk perempuan) atau selama ini telah mendukung dan berkolaborasi dengan kelompok dan organisasi perempuan desa yang sudah ada di desa, dengan tujuan mendukung perempuan desa memegang peran yang lebih transformatif secara sosial melalui aksi kolektif. Organisasi-organisasi ini juga banyak melakukan advokasi dan bentuk aksi kolektif terstruktur lainnya untuk mengurangi hambatan terhadap pengaruh perempuan dengan adanya struktur kekuasaan yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar sistem tata kelola pemerintahan yang berlaku secara formal di Indonesia.
Mengingat di lokasi penelitian yang dijadikan sampel dalam penelitian ini terdapat OMS Mitra MAMPU yang mendukung perempuan desa baik dengan bekerja bersama ataupun melalui kelompok-kelompok akar rumput, maka kajian ini mampu menggambarkan dinamika yang berkaitan dengan jenis intervensi OMS tertentu yang berfokus pada inklusi gender. Selain intervensi tersebut, kajian ini juga mengungkapkan banyak pengalaman aksi kolektif yang lebih luas di berbagai daerah di Indonesia dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, terdapat adanya kemungkinan bagi OMS, organisasi, lembaga, dan program lainnya untuk menggunakan beragam pendekatan yang berbeda, yang dapat berimplikasi pada aksi kolektif dan pengaruh perempuan terhadap tata kelola pemerintahan dan struktur kekuasaan, namun hal tersebut tidak dibahas secara lebih lanjut dalam kajian ini.
Bagaimana pun juga, temuan penelitian ini tetap berguna bagi khalayak yang lebih luas untuk memahami bagaimana aksi kolektif perempuan akar rumput dapat didukung oleh berbagai jenis struktur kelompok yang melibatkan perempuan, dan bagaimana, atau melalui mekanisme apa, tokoh eksternal (bukan hanya OMS) dapat membantu mendorong pengaruh perempuan di tingkat desa dan di tingkat yang lebih tinggi. Bahkan apabila dukungan terhadap inisiatif untuk meningkatkan inklusi gender dan pengaruh perempuan pada tata kelola pemerintahan dan struktur kekuasaan lainnya bukan dilakukan dengan cara bekerja bersama OMS atau melalui OMS sebagai mitra, sebagian aspek dari cara OMS mendukung perempuan di lokasi penelitian untuk memfasilitasi atau meningkatkan agensi perempuan merupakan pembelajaran yang benar-benar penting untuk konteks, tokoh dan lembaga lainnya yang berupaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan, struktur kekuasaan, dan pembangunan sosio-ekonomi yang inklusif gender.
Fokus: Pengalaman beberapa perempuan desa yang paling rentan di Indonesia
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar organisasi mitra MAMPU yang bekerja di daerah pedesaan berupaya untuk mengakses dan mendukung perempuan yang paling rentan di Indonesia, yang sering kali merupakan perempuan yang termiskin di desa yang cenderung secara keseluruhan memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Para perempuan ini termasuk diantaranya perempuan kepala keluarga, penyintas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender lainnya, atau pekerja rumahan dengan mata pencaharian tidak tetap dan pendapatan di bawah standar kehidupan layak. Oleh karena itu, melalui kolaborasi dengan organisasi mitra MAMPU dalam penelitian ini, kajian ini cenderung secara etnografis dan terperinci mengangkat suara dan pengalaman perempuan desa yang lebih rentan dan bagaimana mereka melakukan aksi untuk memengaruhi pembangunan dan pengambilan keputusan, terutama perempuan yang mengalami multi-dimensi kemiskinan. Perempuan yang lebih rentan inilah yang sering kali tidak terjangkau oleh program pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial, cenderung memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, dan mungkin secara signifikan terisolasi secara sosial, ekonomi, politik atau bahkan geografis.
Studi ini juga mengangkat pengalaman perempuan lainnya di desa penelitian, yang sebagian mungkin masih mengalami tantangan yang signifikan tetapi tidak (atau tidak lagi) memiliki tingkat kerentanan yang sama. Selain itu, terdapat kemungkinan adanya jalur yang lebih lanjut untuk melakukan aksi kolektif (dengan dan tanpa dukungan eksternal) di daerah lainnya dan bagi orang lain dibandingkan dengan yang diungkapkan dalam kajian ini. Meskipun demikian, temuan penelitian ini akan bermanfaat bagi lembaga, program, dan jejaring fasilitator lainnya, antara lain, untuk memahami jalur dan mekanisme yang dapat meningkatkan aksi kolektif perempuan dan inklusi gender, khususnya bagi perempuan rentan di pedesaan Indonesia.
Building blocks: Memahami jalur
Setiap bab dalam laporan penelitian ini memaparkan hasil analisis penelitian dan berkontribusi pada penyusunan kerangka analisis penelitian untuk memahami bagaimana aksi kolektif perempuan telah memengaruhi implementasi UU Desa dan memberikan hasil yang bervariasi (Gambar 1). Kerangka ini disusun berdasarkan analisis secara berulang terhadap serangkaian data penelitian dan analisis komparatif. Kerangka ini juga dapat digunakan untuk menganalisis sampel desa yang lebih banyak dalam penelitian lainnya dan kemungkinan penggunaan instrumen kuantitatif dalam skala besar.
Dalam analisis ini, pertama-tama kami memaparkan karateristik utama dari konteks yang menghambat atau mendorong aksi kolektif dan pengaruh perempuan pada UU Desa (Bab 3). Kemudian, analisis tersebut dilengkapi dengan gambaran dampak utama dari UU Desa yang diidentifikasi oleh penelitian ini, dan persepsi serta pengalaman perempuan secara umum dari waktu ke waktu terhadap peningkatan suara dan upaya mereka untuk memengaruhi tata kelola pemerintahan desa dan pengambilan keputusan di tingkat desa (Bab 4). Kemudian, kami mengidentifikasi bentuk dan pola utama dari aksi kolektif perempuan akar rumput dan dukungan mendasar yang meningkatkan pengaruh perempuan di desa penelitian (Bab 5). Dalam pembahasan di Bab 6, kami mempelajari lebih lanjut apakah dan bagaimana OMS Mitra MAMPU telah berkontribusi pada aksi kolektif akar rumput melalui dukungan bagi perempuan melalui kelompok-kelompok di desa, terutama dukungan untuk memperkuat berbagai bentuk modal sosial dan agensi perempuan secara individu dan kolektif untuk melakukan aksi perempuan. Dalam Bab 6, kami juga mengungkapkan berbagai struktur dan model dukungan yang digunakan OMS untuk melaksanakan kegiatan OMS di lapangan dan variasi dalam cara OMS mendukung perempuan desa di seluruh lokasi penelitian, termasuk kelebihan dan trade-off berbagai aspek model dukungan yang diterapkan OMS.
Selanjutnya, kami membahas tentang jalur peningkatan pengaruh perempuan untuk menganalisis strategi yang digunakan Mitra MAMPU, baik secara terencana maupun tidak terencana, untuk mengurangi hambatan terhadap inklusi gender dan untuk mendukung pemberdayaan perempuan di daerah pedesaan di Indonesia, terutama cara Mitra MAMPU mengatasi berbagai kendala dan memanfaatkan peluang dalam dinamika konteks yang bervariasi, sehingga Mitra MAMPU dapat mendorong aksi kolektif dan pengaruh perempuan (Bab 7). Analisis ini mencakup pembahasan tentang dimensi penting dari kerja Mitra MAMPU bersama dengan tokoh pemerintah dan non-pemerintah di tingkat desa dan kabupaten untuk memfasilitasi pemberdayaan perempuan dan keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan dan proses pengambilan keputusan lainnya. Penelitian ini tidak hanya berfokus pada dinamika desa, tetapi juga lingkungan kabupaten secara lebih luas yang dapat memengaruhi dinamika desa.
Langkah terakhir dalam analisis penelitian ini membahas hasil analisis komparatif dampak dan jalur untuk menetapkan pola bagaimana perempuan dapat memengaruhi tata kelola pemerintahan dan struktur kekuasaan desa, dan implementasi UU Desa (Bab 8). Pertama-tama kami meninjau kembali pertanyaan penelitian tentang peran OMS dalam mendukung perempuan desa, terutama bagaimana dan sejauh mana OMS berkontribusi secara lebih luas terhadap inklusi gender dan pemberdayaan, aksi kolektif dan pengaruh perempuan. Melalui analisis komparatif, kami berusaha mengemukakan bagaimana dinamika dalam konteks di kabupaten dan desa memengaruhi dan berinteraksi dengan aksi kolektif perempuan dan strategi yang diterapkan oleh Mitra MAMPU, kemudian menguraikan apakah dan bagaimana hal ini berdampak pada implementasi UU Desa.
Gambar 1: Kerangka Analisis Penelitian

Komponen, Pengaturan dan Pengawasan UU Desa
Rancangan
Rancangan, pengesahan, dan implementasi UU Desa 2014 bukanlah proses yang sederhana dan proses ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Substansi UU secara signifikan dibentuk oleh intervensi aktivis masyarakat sipil. Misalnya, pada tahun 2006, anggota organisasi Parade Nusantara mengadakan forum diskusi di Semarang, yang hasilnya antara lain mengusulkan perbaikan tata kelola desa dan aparatur pemerintah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Vel, dkk., 2017). Pada periode yang sama (2006 – Juli 2007), Kementerian Dalam Negeri melakukan penelitian tentang reformasi tata kelola desa bekerja sama dengan OMS dan organisasi pembangunan internasional. Pada tahun 2010, upaya mengembangkan rancangan UU Desa dipimpin oleh anggota DPR yang baru terpilih, Budiman Sudjatmitko, yang memandang UU ini sebagai prioritas dalam program legislasi nasional (prolegnas). Pada Desember 2013, DPR RI menerbitkan undang-undang yang kemudian disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2014 (Vel, dkk., 2017).
Otoritas dan pengawasan kementerian
Setelah UU Desa 2014 disahkan, tiga kementerian—Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang baru dibentuk (selanjutnya disebut Kementerian Desa)—masing-masing mengeluarkan peraturan terkait pelaksanaan UU Desa ini, termasuk anggaran, yang menurut sebagian orang bertumpang tindih dan memiliki ketentuan yang bertentangan (Vel, dkk., 2017, 465) yang memperlambat implementasi UU Desa 2014 (Antlov, dkk., 2017, 180). Ketentuan utama adalah pembentukan ‘Dana Desa’ yang dananya berasal dari 10 persen kontribusi pemerintah pusat yang dimasukkan ke dalam hibah pemerintah pusat ke daerah. Desa juga menerima pendanaan kabupaten melalui alokasi anggaran desa (ADD) setidaknya sebesar 10% dari hibah pemerintah pusat ke kabupaten (UU Desa No. 6 Tahun 2014) (Antlov, dkk., 2017, 174). Dana ini akan dihibahkan setiap tahun ke 75.000 desa di Indonesia untuk digunakan sesuai dengan prioritas yang ditentukan oleh daerah. Vel dkk. (2017) berpendapat bahwa masalah utama yang membutuhkan klarifikasi di seluruh peraturan saat ini adalah: bagaimana dana akan dikelola dan didistribusikan antar tingkat pemerintahan; pengelolaan badan usaha milik desa; penggunaan Dana Desa; dan langkah-langkah akuntabilitas.
Oleh karena itu, dalam rapat kabinet Januari 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pelaksanaan UU Desa 2014 dan pemerintahan desa dibagi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Selanjutnya, urusan administrasi yang berkaitan dengan pengawasan ketenagakerjaan PNS, yaitu pengawasan aparat desa penerima gaji PNS—seperti Kepala Desa dan perangkat desa, serta pengurus Badan Permusyarawatan Desa, anggota BPD—akan terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Desa yang baru dibentuk bertugas mengkoordinasikan, mengawasi, dan memberdayakan program pembangunan desa, termasuk melalui BPD, di bawah direktorat jenderal yang baru. Pembagian tanggung jawab tersebut dibakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 dan dengan dihapusnya ayat 14 dari Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang mendefinisikan ‘menteri’ sebagai ‘menteri yang menangani desa’ sehingga tidak ada satu kementerian pun yang ditunjuk.
Otoritas Kabupaten/Kota: Perdebatan terus berlanjut tentang sejauh mana kabupaten memiliki kewenangan pengawasan untuk desa. Kementerian Dalam Negeri telah mengkonseptualisasikan desa sebagai bagian dari struktur organisasi dan hierarki pemerintahan, sekaligus dianggap otonom. Kementerian Desa memandang desa sebagai unit pemerintahan otonom, yang bukan berada di bawah kewenangan kabupaten (Syukri, dkk., 2018, 16). Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84/2015, misalnya, kembali menegaskan peran pemerintah kabupaten dan pusat dalam pengawasan anggaran dan rencana pembangunan desa. Interpretasi ini menunjukkan adanya isu hukum yang sedang dihadapi terkait pembagian kewenangan untuk melaksanakan rencana pembangunan desa dan apakah desa harus memutuskan untuk menghentikan program yang ada atau mendanai inisiatif baru (World Bank, 2017, 3).
Sementara itu, kabupaten terus mengkonseptualisasikan desa sebagai unit di bawah kecamatan dalam hierarki pemerintahan dan rantai tanggung jawab. Kabupaten cenderung mengambil sudut pandang ini, karena berdasarkan UU Desa, mereka diwajibkan untuk menyumbangkan 10 persen dari pendapatan asli mereka, dana bagi hasil dan hibah dari pemerintah pusat ke anggaran desa (Lewis, 2015a; Lewis, 2015b). Selain menjalankan peran pengawasan yang diatur dalam UU Desa, kabupaten juga memiliki kepentingan untuk tetap mengontrol, atau memengaruhi penyediaan layanan di tingkat desa, terutama untuk memenuhi indikator kinerja utamanya dalam desentralisasi—yakni portofolio utama yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (Lewis, 2015a, 350). Selanjutnya, pada Februari 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 mengupayakan peningkatan kualitas layanan dan pemerintahan desa, termasuk kapasitas sekretaris desa dan perangkat ASN lainnya. Oleh karena itu, gaji Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan pejabat lainnya akan ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Pengambilan keputusan di tingkat desa, hak partisipasi dan dukungan desa
Secara khusus, masih terdapat beberapa perbedaan dalam cara masing-masing Kementerian mengimplementasikan UU Desa 2014, terutama terkait dengan siapa yang menyelenggarakan rapat pengambilan keputusan desa dan siapa yang dapat berpartisipasi dalam rapat tersebut.
Mengadakan pertemuan desa: Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114/2015 menyebutkan bahwa ada dua jenis musyawarah desa: Musdes yang diselenggarakan oleh BPD dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang diselenggarakan oleh Kepala Desa. Sebaliknya, Peraturan Menteri Desa No. 2/2015 yang diterbitkan pada tahun yang sama, menetapkan bahwa semua rapat desa harus diadakan dan diselenggarakan oleh BPD.
Peserta rapat: Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114/2015, partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa hanya diperbolehkan jika sudah mendapat undangan resmi dari BPD dan sudah terdaftar di DPRD. Perpres ini juga mengatur bahwa peserta/pemilih yang terdaftar memiliki hak untuk berpartisipasi dalam penyusunan anggaran desa dan rencana pembangunan. Sementara itu, Peraturan Menteri Desa No. 2/2015 menetapkan semua warga desa berhak menghadiri acara ‘terbuka dan tidak rahasia’ ini dengan mendaftar ke kepala BPD tujuh hari sebelum Musdes (Pasal 23). Selain menjaga pentingnya agar tetap diundang, para undangan menurut (Paragraf 7, Pasal 20) adalah ‘mereka yang bukan warga desa yang menghadiri musyawarah desa atas undangan kepala BPD’. Selain itu, warga desa yang hadir tetapi belum mendaftar sebelum rapat tetap memiliki hak untuk menghadiri Musdes, namun tidak dapat memberikan suara. Oleh karena itu, di satu sisi peraturan Kementerian Dalam Negeri mewajibkan individu untuk menerima undangan untuk menghadiri Musdes, sedangkan di sisi lain, peraturan Kementerian Desa mewajibkan pendaftaran untuk dapat hadir dan memberikan suara tetapi bukan undangan untuk hadir. Peraturan yang tumpang tindih ini mencerminkan perbedaan konsep kewenangan yang dilaporkan menyebabkan kebingungan di desa-desa (Syukri, dkk., 2018, 29).
Dukungan untuk desa: Dalam rangka melaksanakan portofolio pemberdayaan dan peningkatan kapasitas desa, dalam pembagian tanggung jawabnya dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa telah memprioritaskan untuk mempekerjakan pendamping desa. Para pendamping ini berada di bawah Kementerian Desa dan bekerja untuk memberdayakan penduduk desa dan pemerintah desa agar dapat membentuk dan melaksanakan rencana pembangunan mereka, serta meningkatkan ketersediaan lapangan kerja dan peluang investasi di desa. Peran pendamping ini pada awalnya ditetapkan oleh UU Desa sebagai hak juga untuk menghadiri musyawarah desa. Berdasarkan peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa setelah itu, para pendamping ini mewakili hubungan antara pemerintah pusat dan masyarakat, memfasilitasi pertemuan desa dan pembangunan partisipatif, serta meningkatkan solidaritas sosial. Hingga akhir 2016, 27.441 pendamping desa telah direkrut (Zakaria & Vel, 2017). Jumlah ini meningkat pesat. Menurut laporan Statistik Potensi Desa nasional 2018, 66.128 orang diklasifikasikan sebagai asisten desa ‘aktif’ dan ‘tersedia’ (Badan Pusat Statistik, 2018, 165). Kementerian Desa melaporkan bahwa saat ini ada sekitar 75.000 asisten desa yang bekerja. Akan tetapi, di lapangan, di banyak lokasi terlihat jelas bahwa fokus para pendamping adalah memberikan dukungan administratif kepada pemerintah desa, dan fungsi pemberdayaan mereka dalam memberikan dukungan kepada masyarakat kurang terlihat.
Pertama, pada bulan September, Kementerian Desa menetapkan pengalokasian Dana Desa 2020 melalui Peraturan Nomor 11 Tahun 2019. Peraturan ini secara signifikan menekankan pada penyediaan layanan sosial kepada masyarakat desa (yang sering kali menjadi prioritas perempuan), yang didefinisikan sebagai pengadaan, pembangunan, dan pengembangan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan permukiman, transportasi, energi, komunikasi, informasi dan sosial lainnya (Pasal 8). Oleh karena itu, penggunaan Dana Desa harus memprioritaskan program dan kegiatan yang ‘harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat desa.’ Prioritas khusus meliputi: penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, peningkatan pilihan mata pencaharian bagi keluarga miskin (Pasal 6.2); memutakhirkan pendataan tentang kemiskinan, memberikan modal dan pelatihan bagi pengangguran, serta pencegahan stunting dan malnutrisi (Pasal 6.3); dan industri rumah tangga dan pertanian skala kecil. Dalam hal pelaksanaan, peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa prioritas belanja Dana Desa akan diputuskan secara partisipatif dan swakelola melalui penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) dalam Musdes tahunan (Pasal 14). Hasil musyawarah desa harus dipublikasikan oleh Pemerintah Desa di tempat yang dapat diakses publik, ketentuan tersebut tercermin dalam draf pedoman yang diuraikan di Kotak 37.
Kedua, pada bulan Oktober, dalam Peraturan No. 17/2019 Kementerian Desa mengeluarkan arahan umum untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat desa. Hal yang penting untuk partisipasi masyarakat sipil dalam perencanaan desa, Peraturan tersebut juga menjelaskan siapa yang merupakan ‘elemen masyarakat’ dan peran mereka. Pasal 9 menyatakan bahwa unsur masyarakat individu dan kelompok tersebut berperan serta dalam semua tahapan perencanaan pembangunan desa, menyampaikan saran dan pendapat, berorganisasi untuk kepentingan individu dan kolektif, mendukung kegiatan pembangunan, dan mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan. Khususnya, pada Bab kedua tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, peraturan tersebut menetapkan bahwa ‘elemen masyarakat’ meliputi: organisasi dan kelompok perempuan, forum perlindungan dan pengasuhan anak, kader kesehatan, perwakilan berkebutuhan khusus dan penyandang cacat, perwakilan masyarakat miskin, kelompok tani dan nelayan, kelompok pengrajin, kelompok pemuda dan pelajar, aktivis lingkungan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya (Pasal 13). Kelompok-kelompok ini, termasuk kelompok perempuan, juga diidentifikasikan sebagai aktor yang melaksanakan program dan kegiatan pemberdayaan desa (Pasal 75), termasuk pendidikan, dan melakukan partisipasi desa, penguatan ketahanan dan kerjasama, penegakan hak, dan advokasi kebijakan (Pasal 76). Kotak 37 memuat rancangan pedoman untuk mengintegrasikan masalah gender ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa.
Kotak 37: Rancangan Pedoman Integrasi Gender Desa Tahun 2019 di Tingkat Desa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Rancangan pedoman ini telah dirumuskan oleh Misbah Hasan dari Kementerian Desa sebagai pedoman bagi pemerintah desa. Dibagi menjadi beberapa langkah dan dokumen contoh, diharapkan pedoman ini akan membantu pemerintah desa dalam perencanaan responsif gender yang lebih baik (dipahami sebagai proses dan hasil yang ‘mempertimbangkan kebutuhan aspirasi, dan masalah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan’); dan, penganggaran responsif gender, yang di dalamnya sumber daya desa dialokasikan untuk ‘meningkatkan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.’
Mencerminkan fokus studi ini pada hubungan antara kabupaten dan desa, pedoman ini menjelaskan bagaimana menyelaraskan prioritas kebijakan desa dan kabupaten yang inklusif dan responsif gender, terutama bagaimana program desa harus menerapkan kebijakan kabupaten. Misalnya, pedoman menyarankan bahwa desa harus mencatat data tentang keluarga miskin perempuan kepala keluarga, lansia, dan penyandang disabilitas untuk lebih memastikan pelaksanaan program perlindungan sosial (seperti Program Bantuan Tunai Bersyarat—Program Keluarga Harapan, dan bantuan beras—Beras Kesejahteraan). Mekanisme utama yang diuraikan dalam pedoman ini adalah pedoman langkah demi langkah untuk membuat laporan tentang kondisi sosial dan ekonomi desa, yang meliputi pelaksanaan dua jenis musyawarah (musyawarah), satu di dusun (dusun) dan satu dengan kelompok berdasarkan pekerjaan, jenis kelamin, usia, dan disabilitas.
1 UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, yang kemudian diubah oleh UU No. 32/2004 dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Berdasarkan UU Pemerintah Daerah tahun 2014, sebagian kewenangan kabupaten, terutama yang terkait dengan kebijakan dan perizinan berskala kecil di sektor sumber daya dialihkan ke pemerintah provinsi.
2 Berdasarkan UU tahun 1999, desa ditetapkan sebagai unit pemerintahan otonom yang diakui dalam sistem tata kelola pemerintahan nasional (sebelumnya, desa berstatus sebagai unit administratif terkecil dalam hierarki pemerintahan) dengan kewenangan untuk mengatur dan menata masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat. Hal ini membuka ruang bagi desa untuk menyelenggarakan pemerintahan yang lebih selaras dengan adat dan tradisi masyarakat.