Kisah Perjalanan Hidup Perempuan

Kisah-kisah ini memberikan wawasan yang unik tentang pencapaian, tantangan dan mimpi perempuan yang melampaui beberapa skala dan ranah, dan menunjukkan kompleksitas hidup perempuan di daerah perdesaan Indonesia, khususnya bagi perempuan dari kelompok rentan. Kisah-kisah tersebut menyoroti perjalanan, ketahanan, dan ketetapan hati perempuan dalam menghadapi perlawanan dan, pada akhirnya, mengurangi ketidakadilan gender dan memperkuat inklusivitas gender.

Pengantar: Perempuan Menggerakkan Perubahan di Desa-desa Indonesia

Keberagaman budaya dan agama di Indonesia, serta luasnya wilayah kepulauan nusantara, menghadirkan tantangan yang kompleks dalam upaya pemenuhan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Khususnya, di banyak daerah pedesaan, tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah serta mengakarnya norma sosial budaya kerap membatasi ruang gerak dan pilihan perempuan, menempatkan mereka dalam ranah domestik dan di luar kehidupan publik dan pengambilan keputusan. Banyak perempuan, khususnya mereka yang mengalami kemiskinan yang paling berat dan kronis di seluruh dimensi kesejahteraan mereka, sering kurang memiliki pengetahuan dasar, dokumen-dokumen penting, ataupun kepercayaan diri untuk mengakses pelayanan sosial. Kemiskinan juga menyebabkan banyak perempuan mencari nafkah di luar lingkungan lokal mereka, misalnya sebagai pekerja migran melalui jalur yang tidak terorganisir dengan baik, ilegal, dan berisiko tinggi. Akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pemahaman tentang, misalnya, kesehatan reproduksi juga terbatas, dan kekerasan berbasis gender adalah kenyataan yang dihadapi banyak perempuan. 

Selama dua dasawarsa reformasi, perempuan, dan gerakan perempuan Indonesia, termasuk banyak organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bekerja untuk kesetaraan dan inklusivitas gender berhasil mengadvokasi perubahan-perubahan terkait dengan peraturan, kebijakan dan program, baik yang baru maupun revisi program yang telah ada, untuk menangani ketidaksetaraan tersebut. Di antara perubahan ini, sejak tahun 2004 partai politik diwajibkan untuk menjamin 30 persen calon dalam pemilihan adalah perempuan.[ii] Kuota gender ini mempercepat representasi kesetaraan perempuan sebagai kandidat politisi, khususnya pada pemilihan tahun 2019 di mana empat puluh persen calon yang bertarung adalah perempuan.[iii] Salah satu pencapaian penting adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), sebagai hasil lobi yang intensif oleh wakil gerakan perempuan dan kolaborasi mereka bersama dengan pemimpin di pemerintahan. UU PKDRT ini menegakkan sebuah mekanisme hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, termasuk kriminalisasi perkosaan dalam perkawinan. Perubahan legislatif tersebut merupakan pencapaian yang penting dan telah memperkuat upaya banyak OMS yang menjalankan program dan layanan untuk mendukung dan memberdayakan perempuan di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, pada waktu yang sama, masih ada tantangan di negara yang begitu beragam seperti Indonesia, di mana perbaikan masih belum merata, khususnya di daerah yang miskin dan perdesaan. Keikutsertaan perempuan dalam politik, khususnya, masih terbatas, terutama di daerah perdesaan Indonesia perempuan masih rentan dikeluarkan dari proses politik.[iv] Kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan pun masih tinggi, dengan jumlah lebih dari 430.000 kasus dilaporkan pada 2019.[v] 

Sejak dimulainya demokratisasi, Indonesia memulai program desentralisasi yang ambisius untuk menggeser kekuasaan politik dan ekonomi dari pusat ke tingkat sub-nasional. Dilaksanakan sejak 2001, undang-undang dan kebijakan ini menjadi kunci untuk meningkatkan pengambilan keputusan yang demokratis di tingkat lokal dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses menentukan prioritas pembangunan. Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan salah satu langkah penting dalam proses ini. Menurut Undang-Undang ini, sekitar 75.000 desa di Indonesia masing-masing menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) untuk prioritas dan upaya pembangunan mereka dalam bentuk Dana Desa. Penekanan Undang-Undang ini terhadap keadilan gender dan pengambilan keputusan yang demokratis merupakan kesempatan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemerintahan desa. 

Kumpulan ini adalah bagian dari penelitian kolaboratif yang dilakukan pada tahun 2019 oleh tim peneliti perempuan dari The University of Melbourne dan Universitas Gadjah Mada tentang Aksi Kolektif Perempuan dan UU Desa di Indonesia. Dalam penelitian ini, kami menelusuri sejauh mana dan melalui mekanisme apa aksi kolektif lokal perempuan memengaruhi pelaksanaan UU Desa yang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Ini termasuk cara bagaimana perempuan berupaya menyuarakan aspirasi mereka dan bertindak, serta peran dan strategi yang digunakan oleh OMS untuk mendukung perempuan. Analisis Diprose, Savirani, Setiawan dan Francis[vi] ini menemukan bahwa, meskipun menghadapi banyak tantangan, perempuan desa di seluruh kepulauan Indonesia sedang menciptakan perubahan untuk diri mereka sendiri dan masyarakat, dengan menantang berbagai norma sosial dan hambatan struktural lainnya untuk kesetaraan gender. Dukungan yang diberikan oleh OMS[vii] kepada perempuan desa di lokasi penelitian memang sudah membantu beberapa kelompok perempuan yang paling rentan, termasuk perempuan kepala keluarga melalui peningkatan akses ke program perlindungan sosial, meningkatkan perlindungan pekerja migran, memperbaiki kondisi pekerjaan, meningkatkan nutrisi dan kesehatan perempuan, dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh lagi, seperti terbukti dalam kisah hidup perempuan di kumpulan ini, dukungan yang diberikan telah memfasilitasi tumbuhnya agensi yang lebih besar bagi perempuan. Walaupun ada sebagian perempuan yang telah berada di jalur ini dengan kecepatan yang lebih pelan dan bertahap, bagi yang lain dukungan OMS memberikan kesempatan baru, yang bagi banyak perempuan, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. 

Kumpulan ini berisi kisah perjalanan hidup 21 perempuan dari desa-desa yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (sesuai kode etik, semua nama telah disamarkan).[viii] Di setiap desa penelitian, OMS memulai dan/atau memperkuat intervensi untuk mendukung kesetaraan gender, aksi kolektif dan pemberdayaan perempuan. Kisah-kisah ini memberikan wawasan yang unik tentang pencapaian, tantangan dan mimpi perempuan yang melampaui beberapa skala dan ranah, dan menunjukkan kompleksitas hidup perempuan di perdesaan Indonesia, khususnya bagi perempuan dari kelompok rentan. Kisah-kisah tersebut menyoroti perjalanan, ketahanan, dan ketetapan hati perempuan dalam menghadapi perlawanan dan, pada akhirnya, mengurangi ketidakadilan gender dan memperkuat inklusivitas gender. Kisah-kisah ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran OMS—yang bekerja untuk kesetaraan gender dan memfasilitasi agensi dan pemberdayaan perempuan di akar rumput—yang mendukung suara dan agensi perempuan dalam perjalanan ini. 

Kisah dalam kumpulan ini membuktikan bagaimana aksi kolektif perempuan telah menghasilkan pencapaian yang beragam di level desa. Secara bersamaan, perempuan telah membentuk kebijakan desa dan berkontribusi kepada pendapatan desa. Contohnya, Tari (Labuhan Batu, Sumatera Utara), Laeli (Lombok Timur), dan Yohana (Timor Tengah Utara) terlibat secara aktif dalam penyusunan peraturan desa dan kabupaten tentang hak-hak perempuan dan anak. Di Lombok Tengah, survei yang dilakukan oleh Gita dan perempuan desa lainnya bersama mitra daerah Migrant CARE, Perkumpulan Panca Karsa, sangat berharga dalam mengubah kebijakan tingkat desa agar memperbaiki perlindungan pekerja migran yang ingin berangkat, yang sedang di luar negeri dan yang sudah pulang. Di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Hj. Aminah berperan penting dalam pendirian BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Sementara, di Gresik, Cirebon dan Bantul, aksi kolektif perempuan meningkatkan partisipasi perempuan dalam musyawarah desa. 

Dengan dukungan OMS, kelompok perempuan juga meningkatkan pengetahuan tentang dan akses ke pelayanan sosial dan administrasi, dan memperluas kemampuan perempuan untuk menyuarakan kebutuhan masyarakat, serta memperkuat pemberdayaan ekonomi perempuan. Di Bangkalan dan Hulu Sungai Utara, Mita dan Hj. Farah terlibat secara aktif dalam upaya peningkatan akses perempuan kepada dokumen-dokumen penting, termasuk akta kelahiran dan surat nikah, melalui Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi PEKKA – KLIK PEKKA. Di Lampung dan Gresik, Sulis dan Lastri membantu perempuan mengakses jaminan kesehatan nasional melalui skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Demikian pula, di Gresik, Cirebon dan Tanggamus, Lasinem, Srikandi dan Sulis meningkatkan pengetahuan dan akses perempuan terhadap informasi dan pemeriksaan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perempuan. Di banyak desa kelompok simpan pinjam memperkuat kesempatan dan kapasitas ekonomi perempuan, yang juga dicapai dengan menawarkan pelatihan keterampilan agar perempuan dapat mengembangkan usaha kecil mereka sendiri, seperti yang dituturkan dalam kisah dari Lombok Tengah dan Lombok Timur. Sedangkan di kepulauan Pangkajene, Laila dan Julianti menerapkan keterampilan advokasi yang mereka pelajari melalui partisipasi dalam kelompok Sekolah Perempuan, dan berhasil mengkampanyekan elektrifikasi tenaga surya dan akses air bersih. Perempuan di konteks desa yang beragam ini telah meningkatkan inklusi politik dan berpartisipasi aktif memengaruhi pengambilan keputusan. Kisah mereka mendokumentasikan perjalanan perempuan, baik secara individu maupun secara kolektif, dengan pendampingan dari organisasi sipil untuk mencapai hasil-hasil ini. 

Ketika menulis kisah perjalanan perempuan, pewawancara berusaha untuk mengedepankan suara dan ekspresi perempuan itu sendiri. Pendekatan ini bertujuan untuk mengutamakan ujaran perempuan dan cara mereka bercerita tentang kehidupannya. Hal ini merupakan komitmen pewawancara saat menerapkan metode penelitian feminis, dan juga merupakan cerminan hubungan yang dibangun dengan perempuan dan komunitas selama penelitian ini.[ix] Kisah-kisah ini merupakan cerita pengalaman dan lintasan perubahan yang sangat pribadi, menjelaskan ketahanan perempuan ketika menghadapi kesulitan, dan ketetapan hati mereka untuk mengatasi tantangan ini. 

Walaupun kisah-kisah ini menceritakan perjalanan individu, banyak perempuan ketika menyampaikan pendapat dan pengalaman, memakai kata “kita” daripada “saya”. Dalam membagi harapan untuk masa depan, perempuan merujuk pada kebutuhan dan potensi perempuan di desa, bukan cita-cita pribadinya. Contohnya, ketika ditanya tentang harapan untuk masa depan, Farah menjawab bahwa dia ‘termotivasi karena saya ingin menambah ilmu dan membentuk perempuan menjadi seorang pemimpin.’ Ini menunjukkan, walaupun kisah-kisah ini menceritakan perjalanan individu, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan aspirasi kolektif. Pengantar ini menempatkan kisah-kisah perempuan dalam konteks sejarah organisasi perempuan Indonesia, sebelum menyatukan benang-benang merah dari kisah-kisah perjalanan hidup ini untuk menjalin pemahaman tentang proses-proses yang dilalui perempuan untuk memberdayakan diri dalam kelompok, dan apa yang didapatkan perempuan dalam perjalanan pribadi dan kolektif untuk berkembang. 

Permulaan Organisasi Perempuan Indonesia: Yang Memungkinkan dan Membatasi Perubahan 

Indonesia mempunyai sejarah panjang tentang perkumpulan perempuan untuk mengadvokasi perbaikan kehidupan mereka. Pada awal abad kedua puluh beberapa surat kabar perempuan didirikan, seperti Poetri Hindia, Poetri Mardika, dan Soenting Melajoe. Surat kabar ini mengandung testimoni perempuan mengenai tantangan yang mereka hadapi dan upaya perempuan untuk membangun masyarakat dan memajukan pendidikan.[x] Periode tersebut ditandai oleh perkembangan pesat aksi kolektif perempuan melalui jaringan, organisasi massa, dan kelompok perempuan. Pada tahun 1914, organisasi perempuan yang bernama Sapa Tresna, yang setelahnya menjadi ‘Aisyiyah, dibentuk. Sapa Tresna berafiliasi dengan organisasi Islam modernis, Muhammadiyah, dan memiliki tujuan untuk memajukan pendidikan perempuan dan anak perempuan. Organisasi massa Islam tradisionalis, Nahdlatul Ulama, mendirikan sayap perempuan, Muslimat, pada tahun 1946, yang empat tahun setelahnya diiringi oleh pendirian Fatayat untuk perempuan muda dengan perhatian yang sama kepada pendidikan dan kesehatan. Dengan fokus tersebut organisasi-organisasi ini menangani isu yang penting bagi perempuan, namun mereka tidak mengadvokasi secara langsung partisipasi politik x Periode tersebut ditandai oleh perkembangan pesat aksi kolektif perempuan melalui jaringan, organisasi massa, dan kelompok perempuan. Pada perempuan ataupun hak-hak sipil dan politik. Sampai hari ini, organisasi Islam tersebut mempunyai pengaruh yang besar: mereka berkedudukan hampir di seluruh Indonesia dan mampu menjangkau lapisan akar rumput.[xi] 

Kebangkitan nasionalisme dan periode setelah kemerdekaan memberikan daya gerak untuk partisipasi politik perempuan dengan aktif dalam kehidupan politik dan mendirikan organisasi perempuan. Namun, pada waktu yang sama, wacana pemerintah menetapkan perempuan sebagai ‘ibu bangsa’ dan ‘penenun kesatuan nasional’, peran hegemonik perempuan yang sebagian besar tidak bisa dilawan.[xii] Bahkan, organisasi kiri perempuan Gerwani, yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak menantang sifat keibuan perempuan, akan tetapi menyatukannya dengan aktivisme politik.[xiii] Setelah kudeta tahun 1965, periode ini yang lebih terbuka dan mendorong organisasi dan partisipasi politik perempuan berakhir secara mendadak dan dengan penuh kekerasan. Peristiwa ini juga membasmi banyak organisasi dan bentuk partisipasi politik lainnya.

Di bawah rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto (1966-1998), kelompok perempuan di tingkat masyarakat akar rumput nyaris dihilangkan sepenuhnya, kecuali kelompok agama (seperti pengajian) dan organisasi kemasyarakatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).[xiv] Di bawah Orde Baru, pembentukan lembaga korporatis negara, seperti PKK, merupakan bagian dari mekanisme kontrol negara. Dengan cara ini negara mencoba untuk depolitisasi masyarakat. Lembaga korporatis negara dipaksa untuk menaati ideologi negara, Pancasila.[xv] Dengan demikian, PKK berada di bawah negara yang didominasi laki-laki, dan tercermin dari strukturnya di mana pemimpin PKK adalah istri dari pejabat pemerintah. Lebih lanjut, kebijakan Orde Baru mempromosikan keluarga inti dan keibuan, dan peran perempuan terbatas di ranah domestik.[xvi] Di tingkat desa, PKK menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang disokong negara dan menyebarkan ideologi gender resmi negara bahwa istri dan ibu bertanggungjawab untuk melayani kepala keluarga laki-laki dan membesarkan anak-anak.[xvii] 

Namun, dari pertengahan tahun 1980an dan selama dekade 1990an, makin banyak perempuan melibatkan diri dalam gerakan yang lebih luas, dan dalam jaringan aktivis yang merujuk kepada gerakan hak asasi manusia internasional dan ide feminis yang menantang rezim Orde Baru dan ideologi gendernya. Organisasi perempuan yang muncul pada waktu ini termasuk Pusat Informasi dan Komunikasi Kalyanamitra, LBH-APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) dan Yasanti – Yayasan Annisa Swasti.[xviii] Setelah rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, membuka ruang untuk organisasi masyarakat sipil dan merupakan katalisator bagi peningkatan aksi politik perempuan.[xix] Jaringan, serikat, dan organisasi masyarakat sipil baru muncul baik di tingkat nasional maupun lokal di seluruh Indonesia, termasuk banyak OMS yang ikut serta dalam penelitian ini yang menjadi dasar kumpulan cerita ini. Di tingkat negara pengakuan terhadap hak dan isu perempuan khususnya tergambar dengan pendirian Komnas Perempuan, sebuah lembaga negara yang independen, pada tahun 1998. 

Pasca periode otoriter ini juga menimbulkan perubahan struktur dalam organisasi perempuan yang didirikan oleh Orde Baru. PKK mengganti nama, menjadi ‘Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga’. Nama baru ini menekankan ‘pemberdayaan’ sebagai peran utama PKK, bukan ‘pembinaan’ seperti sebelumnya. Walaupun PKK tetap berada di bawah payung Kementerian Dalam Negeri, sekarang pemimpin PKK dipilih oleh anggotanya dan lembaga ini telah berusaha untuk memprioritaskan partisipasi perempuan dalam politik serta kesetaraan gender.[xx] Namun, PKK masih dipengaruhi oleh prioritas pembangunan yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan fokus tradisional PKK terhadap peran perempuan sebagai ibu dan istri sulit diubah. Dalam banyak kasus, keanggotaan PKK cenderung didominasi oleh perempuan elit desa dan ini membatasi kemampuan organisasi untuk mendorong agenda pemberdayaan, khususnya untuk perempuan perdesaan yang paling rentan. 

Memfasilitasi dan Membangun Agensi Perempuan 

Sebagaimana dibahas sebelumnya, terlepas dari sejarah panjang pengorganisasian perempuan dan kelompok dan organisasi perempuan yang sudah ada sebelumnya, di seluruh lokasi penelitian dalam studi ini, pada awal periode cakupan penelitian ini, perempuan tidak selalu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atau partisipasi dalam kelompok yang bertujuan untuk menantang struktur kekuasaan dan norma gender. Hambatan inklusi gender secara khusus sering dipengaruhi norma sosial tentang peran gender dan cara struktur kewenangan dan kekuasaan dikonfigurasi dalam masyarakat. Kerangka ini seringkali mengistimewakan jaringan tertentu, keluarga, dan kelompok lain yang telah lama terlibat dan berpengaruh dalam kehidupan desa dan pengambilan keputusan politik.[xxi] Perundangan baru, khususnya UU Desa dalam konteks ini, belum tentu menghasilkan pengambilan keputusan dan penetapan prioritas pembangunan desa yang lebih inklusif, meskipun memiliki tujuan dan upaya untuk memperkuat pembangunan berbasis masyarakat. Hal ini terutama berlaku bagi perempuan yang lebih rentan, misalnya perempuan yang mengalami kemiskinan dan tantangan lainnya di berbagai bidang ekonomi dan sosial.[xxii] Di banyak desa di seluruh Indonesia, kalaupun ada alokasi dari Dana Desa untuk perempuan, dana ini biasanya diberikan kepada PKK saja, yang pada umunya didominasi oleh perempuan elit. Akibatnya, memperkuat perpecahan berbasis kelas di tingkat lokal.[xxiii]

Untuk memberikan dukungan kepada perempuan desa dengan tujuan untuk memperbaiki pemberdayaan perempuan, langkah awal yang diambil oleh banyak OMS yang terlibat dalam studi ini adalah kolaborasi dengan kelompok perempuan yang sudah ada, serta mendukung diversifikasi dan memperluas keanggotaan dan fokus kelompok, atau mendirikan kelompok dan inisiatif baru. Seperti yang akan diuraikan di bawah dan dalam analisis komparatif lainnya, kelompok ini memberikan ruang yang aman bagi perempuan untuk terhubung dengan perempuan lain, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran, serta membangun keterampilan mereka.[xxiv] Partisipasi perempuan dalam kelompok dan aktivitas ini, memfasilitasi meningkatnya agensi perempuan dan kecenderungan untuk terlibat dalam aksi kolektif. Kisah-kisah dalam kumpulan ini membukukan pengalaman perempuan di daerah-daerah Indonesia yang berbeda—konteks yang pada awalnya tidak ada banyak kesamaan di antaranya. Di beberapa daerah, penduduk desa sangat kuat menolak perempuan yang berperan dalam kehidupan publik, sedangkan desa lain jauh lebih kondusif terhadap partisipasi perempuan. Penelitian kami membuktikan bahwa, walaupun kadang-kadang perbedaan antara lokasi-lokasi penelitian sangat menonjol, pada akhirnya pengalaman berkelompok menggerakkan perempuan dalam aksi kolektif dan mengambil peran langsung dalam kepemimpinan. Begitu juga bagi beberapa perempuan, berdasarkan pengalaman hidupnya sebelumnya, lebih mudah mengambil peran yang lebih berpengaruh atau menjadi pemimpin ketika kesempatan itu muncul. Sedangkan perempuan yang lain belum mempertimbangkan bahwa mereka memiliki kemampuan ini, khususnya bagi perempuan dari kelompok yang lebih rentan. 

Satu contoh perempuan yang tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam organisasi perempuan sebelumnya adalah Lasinem dari Gresik. Lasinem berasal dari keluarga yang kurang mampu dan mempunyai persepsi bahwa peran perempuan yang sudah menikah terbatas dalam ranah domestik. Namun, Sekolah Perempuan memberikan Lasinem kesempatan untuk memperluas pengetahuannya. Secara bertahap, Lasinem menjadi lebih aktif dan akhirnya ia menjadi seorang pemimpin. Kisah Tari menggambarkan bahwa ia dan perempuan lainnya pada awalnya tidak berminat untuk bergabung dalam organisasi perempuan, karena dianggap kurang memberikan bermanfaat. Namun, seiring berjalannya waktu, Tari pun menjadi lebih aktif dalam kelompok dan akhirnya muncul sebagai seorang pemimpin. 

Kemudian ada perempuan yang kurang berpengalaman dalam organisasi perempuan, namun merasa lebih percaya diri karena adanya pengalaman lain dalam kehidupannya. Pengalaman ini mengurangi hambatan untuk bergabung dalam aksi kolektif perempuan dan pemerintahan desa. Misalnya, Husnul (Lombok Timur) mempunyai banyak pengalaman dalam menafkahi keluarganya dengan usaha menjahit dan membuat keripik, sementara suaminya bekerja di luar negeri, di Malaysia. Usaha ini juga membuatnya membangun hubungan yang erat dengan masyarakat setempat. Kepercayaan diri perempuan yang lebih muda, seperti Mita dan Gita diperkuat oleh pendidikan mereka dan pekerjaan sebagai guru, yang memungkinkan mereka untuk lebih cepat mengambil peran kepemimpinan dan menggerakkan perempuan lain dalam komunitas mereka.

Beberapa perempuan juga lebih menonjol dalam menggerakkan aksi kolektif oleh karena pengalaman mereka dalam pemerintahan desa, atau karena hubungan yang lain (misalnya, keluarga) yang bisa mereka gunakan untuk mendapatkan dukungan terhadap isu perempuan. Contohnya, Mariana (Lampung) yang diangkat sebagai Kepala Dusun pada tahun 2006. Demikian pula Ati dan keponakannya Mita (Bangkalan) merupakan kerabat dari beberapa tokoh sosial desa yang berpengaruh. Hubungan ini memfasilitasi mereka untuk mendapatkan kepercayaan Kepala Desa dan pemimpin lain. 

Dari semua perempuan yang berada dalam kumpulan ini, hanya satu—yaitu Yohana dari Timor Tengah Utara—mulai terlibat dalam aktivisme perempuan di usia muda. Yohana juga merupakan pendiri mitra lokal FPL, YABIKU. Meskipun begitu, bagi kebanyakan perempuan, pengalaman mereka dalam organisasi perempuan di tingkat desa berkaitan dengan lembaga korporatis negara, yaitu PKK (tujuh dari 21 perempuan dalam koleksi ini) dan memberikan pelayanan kesehatan akar rumput melalui Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu—sepuluh perempuan dalam koleksi ini), termasuk Husnul di Lombok Timur, Aminah dan Farah di Hulu Sungai Utara, serta Hatini dan Srikandi di Cirebon. Walaupun para perempuan ini sering menggunakan keterampilan organisasi dan pengalaman yang didapat dari organisasi korporatis negara terlebih dahulu, semuanya menyoroti bagaimana pengalaman mereka dalam organisasi perempuan yang baru yang memberikan keterampilan, kapasitas dan pengetahuan baru. Pada umumnya, pengalaman baru ini memberdayakan perempuan dan memungkinkan mereka lebih mampu menuju dan mencapai perubahan di desa melalui perjalanan yang dijelaskan dalam koleksi ini. Lebih lanjut, apa yang ditunjukkan oleh kisah-kisah perempuan adalah walaupun pengalaman sebelumnya bermanfaat tetapi itu tidak diperlukan bagi perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan. Sebenarnya, kisah-kisah ini menyampaikan bahwa semua perempuan, terlepas dari latar belakang dan perbedaan masing-masing individu, mampu memimpin aksi kolektif dengan dorongan dan dukungan dari teman seorganisasi dan OMS. 

Memulai dan Melanjutkan Perjalanan: Menghadapi dan Mengatasi Tantangan dan Ketakutan 

Ketegangan dan ekspektasi rumah tangga 

Bagi banyak perempuan, keterlibatannya dalam kelompok atau aktivitas perempuan tidak lepas dari tantangan, karena partisipasi secara aktif dalam kegiatan di luar rumah tangga secara langsung dan tidak langsung, menantang norma tentang mobilitas dan peran domestik perempuan. Lastri, misalnya, menjelaskan bahwa suaminya tidak mengizinkannya bergabung dengan Sekolah Perempuan. Mia, di Deli Serdang, Sumatera Utara, menjelaskan ada tanggapan yang mirip dengan pengalaman Lastri, yaitu bahwa suaminya tidak mau Mia pergi ke hotel dan restoran untuk rapat BITRA; tempat yang dianggap tidak pantas untuk perempuan. Akan tetapi, mereka tetap berusaha dan memperlihatkan kepada suami mereka bagaimana informasi yang baru mereka peroleh bermanfaat untuk keluarga mereka, dan perempuan-perempuan tersebut kian hari kian mendapatkan dukungan dari suaminya. 

Kisah-kisah ini juga menggambarkan bagaimana perempuan, seperti Ati, menghadapi berbagai ekspektasi pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak di samping keikutsertaannya dalam masyarakat dan menjalankan usaha kecil. Dalam kasus Ati, ekspektasi bahwa dia akan berada di rumah ketika anak-anaknya pulang dari sekolah, memengaruhi keputusannya untuk hanya mengikuti kegiatan yang berakhir sebelum jam 4 sore. Kelompok Pekka[xxv] menampung kebutuhannya dengan menyesuaikan jadwal. 

Kurang kepercayaan diri 

Kesempatan baru yang diambil perempuan juga memunculkan beberapa ketakutan mereka. Banyak di antara mereka kurang percaya diri untuk berbicara di depan umum dan berurusan dengan wakil dari dinas pemerintah. Contohnya, Aminah, seorang eks-pekerja migran dan orang tua tunggal di Hulu Sungai Utara, menjelaskan bahwa dia merasa takut dan kurang percaya diri ketika berkomunikasi dengan pejabat pemerintah. Laila, seorang nelayan dari Pangkep, juga merasa takut dan menerangkan bahwa sebelum bergabung dengan Sekolah Perempuan, ‘kalau ada orang dari pake baju dinas, jalan di dermaga saja, saya sembunyi. Saya takut, takut mengeluarkan sesuatu, takut salah.’ 

Namun, terlepas dari tantangan yang bermacam-macam, perempuan tetap teguh dan kepercayaan dirinya bertumbuh. Inilah hasil dari dukungan yang diberikan oleh kelompok perempuan dan pelatihan yang mereka dapat. Kepercayaan diri Mia, misalnya, tersendat ketika diminta berpidato di depan khalayak ramai, tapi, seperti yang dia ceritakan, ‘trus saya mencoba terus, saya berani-beranikan aja’. Begitu juga, Lastri yang mengakui bahwa dia dulu gemetar, meski hanya diminta untuk memperkenalkan dirinya, sekarang mempunyai kepercayaan diri untuk berbicara di depan umum. Bahkan Hatini di Cirebon, yang lebih berpengalaman dalam menyampaikan pendapat di ruang publik, pada awalnya merasa segan, tapi setelah mengikuti program kader ‘Aisyiyah, merasa dirinya ‘berani ngungkapin ada mengusulkan pendapat, atau apa aja’. 

Perlawanan terhadap perempuan yang mengambil peran pemimpin atau menantang aktor yang berpengaruh 

Perempuan tidak hanya menghadapi tantangan dan perlawanan ketika mereka mulai aktif dalam kelompok perempuan, tetapi juga ketika mereka muncul sebagai pemimpin perempuan. Contohnya, Veronika menghadapi tekanan dari keluarganya setelah seorang kerabat keluarga terlibat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga Veronika memintanya untuk tidak melanjutkan kasusnya. Veronika bercerita bahwa dia menerangkan kepada keluarganya bahwa kasus ‘tindakan tersebut harus ditangani dan dilaporkan ke polisi. Tindakan tersebut tidak boleh didiamkan, dan tidak boleh diselesaikan oleh keluarga’. 

Terkadang, tindakan berat diambil untuk membisukan perempuan. Julianti, misalnya, menceritakan setelah dia menantang pemerintah desa dan guru sekolah tentang rendahnya kehadiran guru di sekolah lokal, kepala sekolah mengancamnya dengan guna-guna. Setelah menderita sakit parah selama dua tahun, seorang dukun di mana Julianti berobat memastikan bahwa dia jadi korban ilmu hitam. Ketika Julianti sakit, ia dinasihati orang-orang yang menjenguknya untuk menghentikan kegiatannya di Sekolah Perempuan karena, mereka percaya itulah yang menyebabkan penyakitnya. Sebaliknya, Julianti menolak nasihat tersebut: ‘makin kuat tantangan saya suka. Saya gadis pulau, besar ombak lalui saja, dilalui saja’. 

Memfasilitasi dan Membangun Keterampilan, Kapasitas dan Kepercayaan Diri 

Kegiatan kelompok di ruang yang aman bukan hanya menguatkan kepercayaan diri perempuan dan keterampilannya, seperti berbicara di ruang umum. Pelatihan keterampilan untuk menunjang ekonomi perempuan menghasilkan peningkatan signifikan dalam kemandirian dan kemampuan ekonomi. Dalam beberapa kisah, perempuan menceritakan aspirasi agar anak mereka mampu melanjutkan pendidikannya. Menurut Hatini, kemampuannya untuk menjamin pendidikan anaknya berasal dari keterampilan ekonomi yang ditumbuhkan sebagai kader ‘Aisyiyah. Begitu juga, Hj. Nisa di Lombok Tengah mendapatkan keterampilan menjahit seragam sekolah untuk anaknya, serta membuat dan menjual kue dan jajanan yang lain, dalam kelompok La Tansa untuk perempuan eks-pekerja migran. Kumpulan kisah ini juga menggambarkan bagaimana perempuan, seperti Hatini dan Tari, membawa pulang pengetahuan dan keterampilan baru yang mereka dapatkan untuk mengajar putri mereka tentang kesetaraan gender, yang menginspirasi perempuan muda untuk bergabung dalam kelompok perempuan dan meneruskan pendidikan tinggi untuk bekerja demi keadilan gender. 

Informasi dan keterampilan yang diterima perempuan juga menumbuhkan kepercayaan diri mereka untuk membela diri dalam rumah tangga. Contohnya, waktu suami Julianti menuntutnya agar tidak lagi bergabung dalam Sekolah Perempuan, Julianti menolaknya. Julianti menjelaskan kepercayaan diri ini berasal dari pelatihan yang dia dapat dari Sekolah Perempuan, yang dalam pandangannya, membuatnya lebih menghargai tubuhnya dan dirinya sendiri. Begitu juga, Lastri, anggota Sekolah Perempuan di Gresik, merasa berdaya untuk mengakses pelayanan kesehatan yang tidak dipercayai suaminya, dan bersama teman-temannya, Lastri menantang perawat yang minta tanda tangan suaminya sebelum mengakses layanan. 

Di luar ranah domestik, dukungan dan pelatihan yang ditawarkan kelompok perempuan juga membantu meningkatkan kepercayaan diri perempuan yang dimuat dalam kumpulan ini dalam berurusan dengan pejabat pemerintah demi menyuarakan kebutuhan perempuan. Farah, misalnya, menjelaskan dia sekarang cukup percaya diri untuk bersuara di depan pemerintah desa dan kabupaten. Demikian juga, bersama dengan anggota Pekka yang lain, Aminah mengadvokasi Peraturan Desa untuk mendirikan BUMDes, advokasi yang mengharuskan ia berurusan dengan beberapa wakil dari pemerintah desa. Sedangkan, Lasinem—yang pada awalnya jarang ke Kantor Desa—menjadi lebih percaya diri untuk menyampaikan pendapat di ruang publik, termasuk dalam Musyawarah Desa. 

Menumbuhkan Pemahaman dan Kesadaran 

Ketika dibaca secara keseluruhan, kisah-kisah perjalanan hidup ini menunjukkan bahwa kami bisa mengidentifikasi beberapa tema dan tahap pemberdayaan yang sama bagi perempuan yang hidup dalam beragam konteks desa. Pada awalnya, bagi kebanyakan perempuan ketika mulai terpapar dan tergabung dalam organisasi perempuan, mereka merasa heran dan bingung. Contohnya, Lasinem menjelaskan pemahaman tentang gender di Sekolah Perempuan bertentangan dengan semua yang dia pelajari di sekolah dan dari orang tuanya. Demikian juga, pengalaman Lastri menggambarkan bahwa bagi perempuan yang belum pernah terlibat dalam organisasi, menerima undangan untuk berkumpul saja sudah memicu kebingungan. 

Walaupun begitu, hal yang baru ini membuat banyak perempuan penasaran. Misalnya Widyati, di Bantul, tertarik untuk bergabung dengan organisasi apapun, karena menurutnya ‘bisa juga nambah pengalaman kan.’ Sedangkan Tari, yang pada awalnya tidak berminat untuk bergabung dengan mitra FPL lokal, SPI Labuhan Batu, terkejut karena informasi yang diberikan menarik, dan secara pelan Tari menjadi lebih aktif, sampai akhirnya menjadi ketua kelompok. 

Melalui partisipasi aktif mereka dalam kelompok perempuan, perempuan bersama-sama menumbuhkan pengetahuan mereka mengenai berbagai hal, termasuk struktur pemerintahan, pelayanan kesehatan, hak sipil dan akses ke program perlindungan sosial. Mereka bukan hanya lebih sadar tentang isu gender dalam kehidupan mereka sendiri, tetapi juga lebih sensitif terhadap isu-isu yang dihadapi perempuan dalam komunitas lokal mereka, sehingga menciptakan perasaan solidaritas antar perempuan. 

Membuat Jaringan, Membangun Kesadaran akan Tujuan 

Perempuan merasa nyaman dalam kelompok dan jaringan mereka yang lebih luas. Hampir semua perempuan, dalam cerita mereka, mengacu pada kemampuan curhat dalam kelompok. Julianti, misalnya, menjelaskan dia senang berkumpul dengan perempuan lain: ‘Empat pulau ini yang tadinya ga kenal … sekarang tau, gini juga, banyak masukan-masukan dari teman, akhirnya bisa sharing, bahkan teman dari desa lain, jadi banyak, sudah akrab kayak saudara.’ Demikian pula, Farah (Hulu Sungai Utara) menjelaskan bahwa melalui kelompok perempuan dia mampu menyampaikan frustrasinya dan menerima dukungan dari anggota lain. Laeli menjelaskan dukungan yang dia dapat ‘mental ya terutama. Jadi dengan banyak kenalan, jadi tidak merasa kesulitan.’ Lingkungan tersebut menyebabkan perempuan merekrut lebih banyak anggota, dengan demikian menambah anggota kelompok dan keragaman keanggotaan kelompok. 

Perempuan juga merasakan manfaat di level pribadi. Banyak perempuan menceritakan perubahan dalam keluarga, termasuk posisi tawar yang lebih baik, meningkatnya kesadaran kesetaraan gender, dan pembagian tugas rumah tangga yang lebih setara. Perubahan yang lain sering tidak berwujud, dan susah diukur ataupun disampaikan, misalnya Widyati menjelaskan keikutsertaannya dalam kelas gender Yasanti selama dua tahun menambah kepercayaan diri. Senada dengan itu, Mariana merasa bahwa sebelum dia mengikuti kelas kesadaran gender FAKTA-DAMAR di Tanggamus, dia ‘kuper [kurang pergaulan], kurang PD [percaya diri].’ Sekarang, Mariana merasa lebih percaya diri, bahkan nyaman mengambil peran pemimpin dalam acara PKK, karena apa yang dipelajarinya ‘bermanfaat benar’. Laeli, Ketua Kelompok Konstituen Lombok Timur, juga merasa berani menggunakan jaringan dari pekerja lapangan BaKTI, untuk sertifikasi usaha kecilnya. 

Bagi perempuan seperti Srikandi di Cirebon dan Lastri di Gresik, kelompok perempuan memberikan tujuan dalam diri dan ruang untuk melanjutkan pendidikan. Seperti dijelaskan Lastri, walaupun dia tidak sempat melanjutkan pendidikan sampai bangku Sekolah Menengah Atas, ‘kebetulan di Sekolah Perempuan itu saya memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah’, dan hatinya masih merasa ‘punya keinginan untuk belajar gitu lho’. Bagi yang lain, biasanya perempuan yang lebih muda, seperti Mita dan Gita yang merupakan orang pertama dalam keluarganya (ataupun di desanya, seperti Mita) yang lulus dari universitas, partisipasi dalam organisasi perempuan membawa kesempatan pekerjaan dan keterampilan untuk sertifikasi usaha. Dengan kepercayaan diri dan keyakinan yang didapat, Gita dan Mita, mampu melanjutkan karirnya dan berkeluarga. Dengan demikian, kedua perempuan ini menantang norma sosial bahwa perempuan yang sudah menikah tidak mempunyai peran di luar ranah domestik. 

Perubahan di tingkat pemerintah desa antara lain meningkatnya perempuan yang ikut serta dalam Musyawarah Desa. Di banyak komunitas desa, kesadaran tentang isu gender telah berkembang. Baik di Sumatera Utara maupun Lombok Timur, perempuan sekarang lebih berani melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Di Timor Tengah Utara, Veronika menekankan bagaimana peran dalam kelompok paralegal yang menanggapi kasus kekerasan dalam rumah tangga membentuk identitas dirinya dan komitmennya terhadap keadilan yang ‘harus dijunjung tinggi, di mana yang salah tetap salah dan yang benar harus dilindungi.’ Motivasi Veronika yang kuat ini terdapat dalam banyak kisah lain. Demikian juga, Srikandi menyatakan bahwa pengakuan pekerjaannya oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2019, menambah semangatnya untuk mengabdi pada masyarakat desa, khususnya perempuan. Ini membuktikan perempuan membentuk kembali identitas mereka dengan ilmu, kapasitas dan jaringan yang didapat melalui kelompok perempuan. 

Struktur Kumpulan 

Kumpulan ini terdiri dari lima tema dan bidang utama. Bagian pertama berisi delapan kisah perjalanan hidup yang menunjukkan cara perempuan meningkatkan akses kepada perlindungan sosial. Empat di antara perempuan ini—Mita, Aminah dan Farah—merupakan anggota Serikat Pekka di desa mereka. Melalui Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi PEKKA, mereka dan rekannya di Bangkalan, Jawa Timur dan Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan, membantu warga desa untuk mendapatkan dokumen kependudukan yang penting, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Nikah, dan Kartu Keluarga, yang dibutuhkan untuk mengakses berbagai program perlindungan dan bantuan sosial. Di dua tempat ini, Serikat Pekka menyediakan tempat berkumpul di mana perempuan saling mendukung melalui kelompok simpan pinjam, terutama bagi perempuan kepala keluarga yang merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kemiskinan. Bagian ini juga memuat empat kisah perjalanan hidup anggota kelompok Sekolah Perempuan KAPAL Perempuan: Lasinem dan Lastri dari Gresik, Jawa Timur; serta Laila dan Julianti dari Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan di Sulawesi Selatan. Cerita-cerita ini memberi wawasan mengenai proses pembelajaran tentang kesetaraan gender, dan pada kasus Laila dan Julianti, aplikasi keterampilan dikembangkan dalam kelompok perempuan untuk mengadvokasi kebutuhan masyarakat. 

Bagian kedua memuat kisah perjalanan hidup Gita dan Nisa, dan pekerjaan mereka untuk mempromosikan migrasi yang aman dan dukungan untuk para eks-pekerja migran dan keluarga mereka di Lombok Tengah, yang didukung oleh Migrant CARE dan mitra lokalnya Perkumpulan Panca Karsa. Cerita Gita menunjukkan keikutsertaannya dalam pengumpulan data yang partisipatif, advokasi, dan perubahan kebijakan, telah meningkatkan kepercayaan dirinya dan keberanian untuk melanjutkan karir sebagai guru di masyarakat yang kurang beruntung. Kisah perjalanan hidup Nisa menjelaskan pengalamannya sebagai pekerja migran di Arab Saudi dan tantangan perekonomian setelah dia pulang ke Lombok. Kedua pengalaman ini menyebabkan pendirian kelompok La Tansa untuk para perempuan eks-pekerja migran untuk saling mendukung dan secara kolektif mengembangkan keterampilan untuk menunjang ekonomi perempuan desa. 

Bagian ketiga berfokus kepada kontribusi dua perempuan dalam memperbaiki kondisi pekerjaan bagi pekerja rumahan. Kisah Mia, anggota Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera Deli Serdang, Sumatera Utara, menjelaskan perjalanan kepimpinannya dan bagaimana ia mewakili perempuan pekerja rumahan hingga mendapat kepercayaan diri untuk berurusan dengan pejabat pemerintah. Kisah Widyati, anggota Kelompok Kreatif Bunda di Bantul, Yogyakarta, menggambarkan bagaimana kesadarannya tentang hak pekerja, kondisi pekerjaan yang aman, dan gender berkembang, hal ini memungkinkan Widyati untuk mengembangkan usahanya dan mewakili kelompok pekerja rumahan dalam perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa. 

Bagian keempat menceritakan empat kisah perjalanan hidup perempuan yang bekerja untuk memperbaiki kesehatan dan nutrisi perempuan. Sebagai anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah dan kader kesehatan reproduksi, Hatini dan Srikandi di Cirebon, Jawa Barat, meningkatkan partisipasi mereka dalam pelayanan kesehatan masyarakat, dari anggota PKK dan Posyandu dengan mengembangkan kepemimpinannya dalam menanggapi kebutuhan perempuan dan mensosialisasikan pentingnya deteksi dini kanker. Kedua kisah ini menggambarkan betapa pekerjaan ini terasa dalam hati, yang bagi Srikandi merupakan sebuah ‘kewajiban’. Di Tanggamus, Lampung, Sumatera, kisah perjalanan hidup Sulis dan Mariana juga menunjukkan peran pelatihan kesadaran gender dan kepemimpinan dalam memperluas dan mengembangkan kapasitas orang yang berpengalaman sebagai pemimpin masyarakat. Sulis dan Mariana berpartisipasi dalam kelas pengarusutamaan gender dan sekarang berperan sebagai pemimpinnya. Kedua kisah ini membuktikan perempuan menerapkan pemahaman baru tentang kesetaraan gender dalam kehidupan dan keluarga, dan ingin mengajarkannya kepada orang lain. 

Bagian terakhir memuat lima kisah perjalanan hidup perempuan yang aktif dalam upaya pengurangan kekerasan terhadap perempuan di masyarakat setempat, yaitu di Sumatera Utara, Lombok Timur dan Timor Tengah Utara. Di Labuhan Batu, Sumatera Utara, Tari mewakili Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu di Musyawarah Desa dan menjadi kunci dalam perancangan dan pelaksanaan Peraturan Desa tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Di Lombok Timur, Laeli adalah Ketua Kelompok Konstituen, di mana Husnul menjadi anggotanya. Bersama-sama, mereka bekerja dalam tim paralegal yang mendukung korban dan penyintas kekerasan dalam rumah tangga, dan berhasil mengajukan alokasi Dana Desa untuk memperbaiki pelayanan kesehatan. Di Timor Tengah Utara, Veronika juga menyediakan bantuan paralegal kepada korban dan penyintas dan menjelaskan bahwa dia bangga atas ilmu dan pengalaman yang dia dapat melalui kegiatan ini. Yohana, pendiri mitra lokal FPL, YABIKU, menjabat sebagai anggota DPRD periode 2014 – 2019. Dalam periode ini dua peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak, yang diinisiasi oleh koalisi OMS, dirancang dan disahkan sebagai Peraturan Daerah. Dari legislasi hingga dukungan di garis depan, bagian ini menyoroti berbagai cara perempuan untuk mendukung korban dan penyintas, dan kegiatannya untuk mengubah norma gender dan sosial yang mengakibatkan banyak perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya. 

Dengan menampilkan kata-kata, ungkapan, cara menyampaikan perasaan, dan persepsi perubahan perempuan sendiri, koleksi ini memberi sumbangan berharga mengenai pembangunan masyarakat dan gender di daerah perdesaan Indonesia. Kisah-kisah berikut menggambarkan bagaimana perempuan mempertimbangkan dan menceritakan perjalanan hidup mereka: momen-momen penting yang menandai hidup mereka; hubungan dan teman yang berpengaruh; serta pemahaman dan kesempatan baru. Koleksi ini merupakan sebuah jendela yang memungkinkan kami untuk menghargai kekuatan dan ketahanan perempuan, terutama dalam keadaan di mana perempuan menghadapi kungkungan norma gender yang membatasi ruang dan perannya secara sosial, kemiskinan, dan tantangan lainnya. Kisah perjalanan hidup ini tidak mengikuti alur cerita yang linier, melainkan menggarisbawahi pentingnya dukungan dari teman dan OMS yang membantu perempuan untuk mengatasi perlawanan dan hambatan. Setiap cerita berakhir dengan pandangan ke depan, tentang aspirasi dan harapan setiap perempuan. Pandangan ini mengingatkan kita walaupun perempuan telah mencapai perubahan positif yang besar, mereka sadar terhadap berbagai tantangan dan ingin meluaskan partisipasi perempuan supaya mampu menciptakan sebuah masa depan yang lebih baik. 


ii UU No. 31/2002 dan UU No.12/2003. 
iii E.S. Prihatini, “Electoral (In)quality”, Inside Indonesia 135 (Januari – Maret 2019), tersedia di: https://www.insideindonesia.org/electoral-in-equity. 
iv A.M. Pratiwi, “The Policies, Practices, and Politics of Women Representation in Political Parties: A Case Study of Women Members of Parliament in Regency/City-level Legislative Council Period 2014-2019”, Jurnal Perempuan 24:2 (2019): 151-163. 
v Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019 (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), tersedia di: https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Catatan%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202020.pdf. 
vi Diprose, R., A. Savirani, K.M.P. Setiawan, dan N. Francis, 2020. Aksi Kolektif Perempuan dan Pelaksanaan Undang-Undang Desa: Upaya Perempuan dalam Menggerakkan Perubahan dan Memengaruhi Pembangunan Inklusif Gender di Daerah Perdesaan Indonesia. The University of Melbourne, Universitas Gadjah Mada dan MAMPU. https://doi.org/10.46580/124327. Tersedia di: http://www.mampu.or.id dan http://www.demisetara.org. 
vii OMS atau organisasi masyarakat sipil dalam penelitian ini adalah mitra Australia-Indonesia Partnership for Gender Equality and Women’s Empowerment (MAMPU): MAMPU di level nasional, yaitu ‘Aisyiyah, Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA), Forum Pengada Layanan (FPL), Institut KAPAL Perempuan, Migrant CARE, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), PERMAMPU, Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), dan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) serta mitra lokal mereka—Yayasan Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat (YKPM, mitra lokal KAPAL Perempuan di Pangkajene dan Kepulauan), Yayasan Amnaut Bife Kuan (YABIKU, mitra FPL di NTT), DAMAR Lampung (mitra PERMAMPU di Lampung), Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu (mitra FPL di Labuhan Batu, Sumatera Utara), Perkumpulan Panca Karsa di Mataram (PPK, mitra Migrant CARE di Lombok Tengah, NTB), dan Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K, mitra KAPAL Perempuan di Jawa Timur). Untuk diskusi yang lebih lanjut tentang struktur dan model dukungan yang diberikan kepada kelompok perempuan, serta kesempatan dan konsekuensi dari struktur-struktur tersebut, melihat, Diprose, Savirani, Setiawan dan Francis. Aksi Kolektif Perempuan dan Pelaksanaan Undang-Undang Desa, Bagian 6. 
viii Penelitian lapangan dilakukan di sembilan provinsi, dua belas kabupaten dan empat belas desa (dua belas desa penelitian dan dua desa “kontrol” di mana tidak ada intervensi OMS). Lebih dari 450 orang diwawancarai secara dalam, dan 150 orang yang lain terlibat dalam tiga puluh diskusi kelompok (focus group).  
ix S.B. Gluck, “Women’s Oral History: Is It So Special?”, dalam T.L. Charlton, L.E. Myers, dan R. Sharpless, Thinking about Oral History (New York: AltaMira, 2008), 129-131, 139; R.I. Rahayu, “Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan: Pendekatan Filsafat Sejarah Perempuan,” Jurnal Sejarah dan Budaya (2016): 109. 
x S. Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 18; B.A. Beech Jones, “Narrating intimate violence in public texts: Women’s writings in the Sumatran newspaper Soenting Melajoe” dalam K. McGregor, A. Dragojlovic dan H. Loney, Gender, Violence and Power in Indonesia Across Time and Space (London & New York: Routledge, 2020), 19-28. 
xi S. Blackburn, “Feminism and the women’s movement in the world’s largest Islamic nation”, dalam M. Roces & L. Edwards, Women’s Movements in Asia. Feminisms and Transnational Activism (Abingdon: Routledge, 2010), 21-33.
xii S.G. Davies, “Women in politics in Indonesia in the decade post‐Beijing”, International Social Science Journal 57:184 (2005): 232.  
xiii S.E. Wieringa, “The birth of the New Order state in Indonesia: sexual politics and nationalism”, Journal of Women’s History 15 (2003): 70-91. 
xiv Migunani, Women’s Collective Action for Empowerment in Indonesia: A Study of Collective Action Initiated by Partners of the MAMPU Program (Yogyakarta: Migunani & MAMPU, 2017), 2. 
xv M. Nyman, Democratising Indonesia. The Challenges of Civil Society in the Era of Reformasi (Copenhagen: NIAS Press, 2006). 
xvi K. Robinson, Gender, Islam and democracy in Indonesia. (London & New York: Routledge, 2008). 
xvii K. Robinson, “Indonesian National Identity and the Citizen Mother”, Communal/Plural 3 (1994): 65-81. 
xviii Blackburn, Women and the State, 27-8. 
xix Davies, “Women in politics in Indonesia”. 
xx K.H. Dewi, Indonesian women and local politics: Islam, Gender, and Networks in post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS & Kyoto University Press, 2015), 45. 
xxi Diprose, Savirani, Setiawan dan Francis. Aksi Kolektif Perempuan dan Pelaksanaan Undang-Undang Desa. 
xxii M. Syukri, P.P. Bachtiar, A. Kurniawan, G.M.S. Sedyadi, Kartawijaya, R.A. Diningrat & U. Alifia, Study of the Implementation of Law No. 6/2014 on Villages: Baseline Report (Jakarta: The SMERU Research Institute, 2017). 
xxiii Diprose, Savirani, Setiawan dan Francis. Aksi Kolektif Perempuan dan Pelaksanaan Undang-Undang Desa. 
xxiv Diprose, Savirani, Setiawan dan Francis. Aksi Kolektif Perempuan dan Pelaksanaan Undang-Undang Desa.
xxv PEKKA merujuk pada Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, sedangkan “Pekka” merujuk pada serikat dan kelompok yang dibentuk dan dipimpin oleh perempuan desa.  

Meningkatkan akses terhadap program perlindungan sosial

Ati (38 tahun) merupakan koordinator kelompok Pekka di desa penelitian Bangkalan sejak tahun 2015. Ibu rumah tangga ini juga pemilik sekaligus kepala sekolah taman kanak-kanak (TK) yang didirikannya pada tahun 2013. Ati menikah pada usia 18 tahun dan saat ini mempunyai dua anak. Ia dan suaminya, yang juga berasal dari desa ini, memiliki usaha persewaan tenda dan sound system yang cukup dikenal di desa dan sekitarnya. Sebagai ketua kelompok, peran Ati sangat besar dalam menghidupkan kegiatan kelompok Pekka yang dipimpinnya. Kegiatan kelompok, terutama pengajian, diintegrasikan dengan materi pemberdayaan dan kesetaraan gender.

Mita (23 tahun) merupakan anak kedua mantan Kepala Dusun di sebuah desa di Bangkalan. Dirinya aktif menjadi anggota Serikat Pekka setelah diajak oleh bibinya, Ati, pada tahun 2015. Sambil kuliah, Mita bekerja sebagai guru di taman kanak-kanak (TK) yang ia dirikan bersama Ati dan juga mengajar mengaji di langgar milik keluarganya. Dia merupakan perempuan pertama di desa yang menamatkan kuliah. Sejak Mita lulus dari universitas pada 2018 sudah ada sekitar dua puluh anak muda desa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Lastri, 30 tahun, merupakan Koordinator Sekolah Perempuan tingkat Kabupaten Gresik. Dia terlahir dalam keluarga miskin dan merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Lastri menikah dengan laki-laki desa tetangga, dan saat ini mereka telah mempunyai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Lastri berasal dari keluarga buruh tani dan dengan pendapatan yang rendah keluarganya susah membiayai kehidupan sehari-hari, apalagi untuk pendidikan. Lastri pun bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sekolah Menegah Pertama berkat usahanya dalam mencari dan menemukan sekolah yang menyediakan beasiswa. Berdasarkan pengalaman kanker serviks yang pernah ia idap, Lastri bersama Sekolah Perempuan menginisiasi kegiatan pemeriksaan IVA bagi masyarakat sebagai bentuk deteksi dini kanker serviks dan penyakit vital lainnya yang sering menjadi masalah utama perempuan di desanya.

Lasinem, 31 tahun, merupakan pemimpin Sekolah Perempuan di sebuah desa di Gresik. Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dan ia adalah anak perempuan satu-satunya. Lasinem berasal dari keluarga miskin dan bapaknya bekerja sebagai tukang kebun di sebuah sekolah taman kanak-kanak di Gresik. Kondisi tersebut yang menyebabkan Lasinem tidak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Setelah menikah, Lasinem menjadi ibu rumah tangga dan tidak bergabung dengan organisasi apapun di level desa. Pada saat itu, Lasinem berpandangan bahwa pernikahan memberi batas antara kehidupan luar dan di dalam rumah. Urusan domestik menjadi ranah perempuan sedangkan urusan di luar rumah menjadi bagian laki-laki. Setelah bergabung dengan Sekolah Perempuan, pikiran dan pandangan Lasinem tentang kemampuan perempuan dalam organisasi semakin terbuka dan empatinya terhadap sesama perempuan semakin tinggi.

Hj. Aminah yang kini berusia 51 tahun menjadi salah satu perempuan yang sangat berpengaruh di desanya di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Di desa asalnya ini, Aminah menjabat sebagai Ketua Serikat Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Sebagai ketua serikat, ia memiliki berbagai tugas, di antaranya memimpin rapat, mengadakan kegiatan, mengumpulkan laporan kegiatan kelompok, dan mengirim laporan ke Yayasan PEKKA. Aminah bersama dengan anggota Pekka mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkan Peraturan Desa terkait dengan BUMDes perikanan dan peternakan.

Farah (46 tahun) adalah warga dari keluarga pendatang yang pindah ke desa penelitian ini pada tahun 1987. Pada tahun 1989, ia menikah ketika baru lulus dari sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), namun pernikahannya kandas karena suaminya berselingkuh dan meminta cerai beberapa tahun yang lalu. Perjuangan hidupnya yang cukup berat karena ditinggal suami membuat Farah harus menanggung beban ekonomi keluarga sendiri dan membiayai ketiga anaknya. Farah berperan besar dalam pendirian Kelompok Pekka Setia Kawan yang juga terbuka untuk perempuan yang menikah, yang sebelumnya tidak bisa bergabung dengan serikat ini.

Laila (30 tahun) merupakan salah satu tokoh perempuan berdaya di salah satu desa di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dan mengetuai salah satu kelompok Sekolah Perempuan Pulau. Setelah berkenalan dengan Sekolah Perempuan, Laila mulai aktif berkegiatan di dalamnya. Dengan tekun, ia mengikuti pelatihan dan berbagai sesi diskusi. Tidak jarang, dalam forum besar dan formal, Laila membagikan kisah hidupnya sebagai nelayan, dan tantangan yang ia hadapi ketika melakoni peran tersebut. Sejak 2015, Laila juga menjalankan peran sebagai salah satu Ketua Rukun Tetangga (RT) di pulaunya. Pada 2016, setelah advokasi Sekolah Perempuan, Laila diakui oleh pemerintah sebagai nelayan perempuan. Pengakuan ini memberinya status dan akses pada pelayanan yang sama dengan nelayan laki-laki.

Julianti (24 tahun) merupakan Ketua Kelompok Rumput Laut Sekolah Perempuan di desa penelitian yang terletak di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pada awalnya, kedua orang tua Juli berkeberatan apabila anak sulung mereka harus meninggalkan pulau untuk pertama kalinya untuk mengikuti program Paket B, akan tetapi mereka memberi izin karena Juli berangkat bersama teman SD-nya dari pulau yang sama. Ia bergabung dengan Sekolah Perempuan karena semangatnya yang kuat untuk terus belajar, energi yang tidak pernah tersalurkan melalui institusi pendidikan formal. Setelah bergabung dengan Sekolah Perempuan, Juli menjadi sosok perempuan yang cukup menonjol, terbukti dengan terpilihnya Juli sebagai ketua, yang sebelumnya dia menempati posisi sebagai sekretaris.

Perlindungan pekerja migran

Gita (27 tahun), Ketua Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI) di sebuah desa di Lombok Tengah, adalah sarjana muda yang lebih memilih mengabdi di desa untuk mengamalkan ilmu dan pengalaman yang ia dapatkan selama berkuliah, ketimbang mencari kerja di kota-kota besar. Dengan bekal pengetahuan yang ia gali selama kuliah, Gita bergerak secara pasti untuk memberdayakan masyarakat desanya. Perubahan yang paling Gita rasakan setelah terlibat dalam kegiatan DESBUMI adalah kepekaan melihat persoalan sosial yang ada di sekitarnya. Sebelum menjadi ketua, Gita tidak begitu sadar bahwa ada persoalan pekerja migran di desanya termasuk persoalan calo, gaji, dan kasus kekerasan terhadap pekerja migran perempuan.

Hj. Nisa adalah Ketua Kelompok Pemerhati Pekerja Migran “La Tansa”. Nisa punya pengalaman yang cukup lama sebagai seorang ex-Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Arab Saudi. Ia berangkat ke Arab Saudi untuk pertama kalinya pada tahun 2005, saat anak pertamanya berumur empat tahun. Kontrak pertama dia jalani selama dua tahun di pedesaan dekat kota Riyadh. Pekerjaan utamanya adalah mengasuh dua anak berumur empat tahun dan enam bulan. Pada Maret 2013, ia memutuskan untuk kembali ke Lombok dan tidak mau menjadi pekerja migran lagi. Nisa bersama sekitar 30 perempuan eks-PMI dan keluarganya membentuk Kelompok Pemerhati Pekerja Migran “La Tansa”, dengan bantuan dari DESBUMI. Tujuan utama pendirian kelompok La Tansa ini adalah agar para eks-PMI dan keluarganya memiliki kegiatan ekonomi yang menghasilkan pemasukan, seperti membuat kue-kue tradisional dan kerajinan.

Memperbaiki kondisi kerja

Mia adalah salah satu dari ibu-ibu pekerja rumahan dari kelompok penganyam kawat yang mempunyai pengaruh dalam perkembangan serikat pekerja rumahan di Deli Serdang, Sumatera Utara. Perempuan yang lahir pada tanggal 28 Februari 1969 ini merupakan sekretaris Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Rumahan (SPR) Sejahtera. Mia merupakan orang yang cepat belajar dan mempunyai komitmen tinggi dalam setiap hal yang ia lakukan. Hal ini dapat dilihat dari caranya bekerja dalam organisasi, sebagai contoh, ia mendatangi pertemuan SPR di daerah lain dengan menggunakan biaya sendiri. Mia terlibat dalam audiensi dan revisi mengenai rancangan peraturan daerah bersama SPR, BITRA, dan pemerintah, dan pernah turut audiensi bersama Kementerian Ketenagakerjaan mengenai peraturan ketenagakerjaan.

Widyati (43 tahun) merupakan pekerja rumahan sekaligus pemilik usaha kerajinan menjahit di desa penelitian di Kabupaten Bantul. Desa ini juga merupakan tempat di mana ia menghabiskan masa kecil dan masa remajanya. Setelah tamat Sekolah Menengah Atas, dia merantau ke Batam untuk bekerja di pabrik elektronik dari tahun 1993 hingga 2008. Widyati adalah sosok perempuan desa yang aktif. Dia bergabung dengan SPPR Kreatif Bunda pada 2016, dan melalui kelas gender menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan memiliki jiwa kepemimpinan. Saat ini dia mengelola PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), menjadi kader Posyandu lansia, sebagai anggota Pokja (Kelompok Kerja) 3 di PKK tingkat desa, dan menjadi perwakilan perempuan dalam penyusunan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan tim RKP (Rencana Kerja Pembangunan) 2020.

Memperbaiki kesehatan dan gizi perempuan

Hatini (39 tahun) merupakan kader ‘Aisyiyah dari salah satu desa di Kabupaten Cirebon. Seperti banyak anggota masyarakat lainnya di desa, Hatini hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar. Rendahnya taraf pendidikan formal ini menyebabkan kurangnya tingkat kepercayaan diri Hatini. Sebelum bergabung dengan ‘Aisyiyah, Hatini dikenal sangat pemalu. Keuletan Hatini dalam aktivitas kader merupakan potensi besar untuk melatih dan mengembangkan aspek kepemimpinan dirinya sendiri. Pada akhir tahun 2018, Hatini yang dikenal tekun mendapatkan kesempatan mengelola kebun gizi ‘Aisyiyah, yaitu sebidang tanah yang ditanami dengan sayur mayur. Berbekal pengetahuan kepemimpinan yang ia peroleh dari pelatihan kader ‘Aisyiyah, Hatini dengan sigap menjalankan tugasnya sebagai ketua KWT, seperti mengatur pembagian tugas anggota dan distribusi hasil tanaman.

Srikandi atau biasa dipanggil dengan nama Sri (48 tahun) merupakan ibu rumah tangga dan kader ‘Aisyiyah. Sri yang memiliki tiga orang anak laki-laki ini adalah pendatang dari kecamatan yang berbatasan dengan area urban di Kabupaten Cirebon. Dia pindah ke kecamatan ini sekitar dua puluh tahun yang lalu ketika menikah dengan suaminya yang berasal dari daerah ini. Sebagai kader Kespro, tanpa dukungan honorarium dan biaya transportasi, Sri kerap mengedukasi perempuan di desanya tentang kesehatan reproduksi. Ia juga sering kali melakukan kunjungan kepada pasien untuk menjelaskan penyakit yang mereka derita, serta memotivasi mereka untuk berobat.

Sulis (45 tahun) merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, yang sejak lahir tinggal di salah satu desa penelitian di Kabupaten Tanggamus. Saat penelitian berlangsung, pada 2019, Sulis sudah menjabat selama 13 tahun menjadi Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat dan tidak pernah diganti oleh Kepala Desa. Perhatiannya terhadap kesehatan masyarakat membuatnya ditunjuk Kepala Desa untuk mengikuti kegiatan DAMAR dan, pada akhirnya, menjadi salah satu pemimpinnya. Dengan materi yang ia pelajari di kelas FAKTA-DAMAR, Sulis perlahan dapat menceritakan pada suaminya mengenai bagaimana memahami kesetaraan gender. Khususnya, dia menjelaskan bagaimana peran perempuan dan tugas-fungsi perempuan yang melekat di masyarakat saat ini merupakan konstruksi sosial, dan sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama-sama penting

Mariana (47 tahun) merupakan Kepala Dusun (Kadus) perempuan satu-satunya di sebuah desa di kabupaten Tanggamus. Mariana yang lulusan SMA ini diangkat menjadi Kadus oleh Kepala Desa, menggantikan bapaknya pada tahun 2006. Selain menjadi bagian dari perangkat desa, Mariana juga berperan sebagai ibu rumah tangga dan guru PAUD sejak tahun 2008. Mariana menjadi koordinator untuk menyelenggarakan empat kelas kesadaran gender FAKTA-DAMAR, yaitu kelas ibu, kelas ayah, kelas remaja putri, dan kelas remaja putra. Mariana mengaku banyak perubahan yang terjadi dalam rumah tangganya sejak dia mengikuti kelas FAKTA-DAMAR, terutama yang terkait dengan pembagian peran. Pada awalnya terdapat anggapan bahwa suami bertugas mencari uang, sedangkan istri bertugas mengurus rumah dan mendidik anak. Namun hal tersebut berangsur berubah, ilmu yang ia dapatkan dari pelatihan-pelatihan dibagikan kepada suami dan anak-anaknya untuk menyadarkan pentingnya pembagian peran dalam rumah tangga.

Mengurangi kekerasan terhadap perempuan

Tari merupakan Wakil Ketua SPI (Serikat Perempuan Independen) Desa yang juga merangkap sebagai Ketua LBK (Layanan Berbasis Komunitas) Desa. Perempuan yang berusia 45 tahun ini mulai bergabung dengan SPI sejak tahun 2015 karena diajak oleh tetangganya yang saat itu menjabat sebagai Ketua SPI. Beberapa perubahan mendasar yang dialami oleh Tari selama menjadi anggota SPI, antara lain menjadi lebih berani menyuarakan pendapatnya di muka umum, lebih merasa memiliki semangat kepemimpinan, dan lebih baik dalam bekerja dalam kelompok. Tari merasa bergabung dengan SPI Desa membuka matanya terhadap permasalahan perempuan yang sangat dekat dengan kehidupannya. Melalui pelatihan yang diperoleh dari SPI dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga, Tari menjadi lebih percaya diri memediasi permasalahan suami dan istri.

Laeli (40 tahun) merupakan ketua dari Kelompok Konstituen di salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur. Dia pindah ke desa ini setelah menikah, dan mulai aktif mengikuti kegiatan masyarakat desa. Laeli juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Laeli mengikuti pelatihan penyusunan Peraturan Desa (Perdes) Tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Perannya dalam menyusun Perdes ini menunjukkan kapasitas kepemimpinan dan kemampuannya dalam mengartikulasikan gagasan di depan umum. Dalam perannya dengan Kelompok Konstituen, kepercayaan diri Laila meningkat dan dia menjadi berani mengutarakan pemikirannya di depan forum. Ia juga mendapatkan perubahan sosial berupa kepekaannya terhadap hal-hal sulit yang dihadapi perempuan.

Husnul (52 tahun) merupakan anggota Kelompok Konstituen di salah satu desa di Lombok Timur. Sejak Husnul menikah dan mengandung anak pertamanya, suaminya bertolak ke Malaysia. Bukannya mendapatkan banyak uang, suaminya mendapat berbagai kesusahan karena berstatus sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Husnul mencoba membiayai kehidupan keluarganya dengan menjahit, membordir, dan bekerja sebagai koki di Puskesmas Pembantu (Pustu). Pada tahun 2018, nasib baik menghampiri Husnul dan keluarganya, ia memulai usaha membuat keripik pisang dan ubi kayu. Dalam Kelompok Konstituen, Husnul berperan sebagai Ketua Divisi Pendampingan. Ia menjadi rujukan para perempuan, terutama perempuan dari dusunnya, untuk mengadu. Kepribadian Husnul yang mudah dekat dengan orang lain membuat para perempuan merasa nyaman untuk menceritakan masalah pribadi mereka.

Mama Veronika (42) merupakan salah satu sosok perempuan pemberani di desa yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak tahun 2013, beliau terlibat secara aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan sebagai Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Fauana. Keterlibatan beliau dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan serta perjuangan hak perempuan semakin meningkat setelah Yayasan Amnaut Bife Kuan (YABIKU) masuk ke desa, dan membimbing KWT Fauana pada tahun 2014. Mama Veronika terus memperjuangkan hak perempuan di desanya dan melawan pandangan mengenai perempuan yang dibentuk oleh nilai-nilai adat dan interpretasi agama Katolik. Salah satu pencapaian terbesar Mama Veronika sebagai anggota dari Kelompok Paralegal terlihat dalam komitmennya ketika menangani sebuah kasus kekerasan rumah tangga yang menimpa keluarganya sendiri. Ketika mendampingi kasus ini, Mama Veronika tidak menggubris perkataan atau tekanan dari keluarganya untuk tidak membawa persoalan tersebut ke ranah hukum.

Ketika membicarakan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan pemberdayaan perempuan di Timor Tengah Utara, nama Ibu Yohana kerap kali muncul. Yohana adalah pendiri dari Yayasan Amnaut Bife Kuan (YABIKU). Sejak tahun 1999 beliau sudah bergerak aktif di bidang pemberdayaan perempuan bersama YABIKU. Sejak tahun 2014 hingga 2019, beliau menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Timur Tengah Utara (TTU), dan berjuang mewujudkan terbentuknya Peraturan Daerah Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak. Dedikasi Ibu Yohana—atau lebih akrabnya Mama Yohana—untuk perempuan Timor sangat kuat. Walau begitu, ia merasa masih banyak hal lainnya yang masih perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan Timor.