Tema Sektoral

Penelitian ini menemukan bahwa, terlepas dari fokus sektor perempuan desa dan organisasi masyarakat sipil, perempuan telah memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan dan implementasi UU Desa. Meskipun begitu, sejauh mana perempuan dapat menumbuhkan agensi mereka sendiri dalam memberikan pengaruh dan menciptakan perubahan dipengaruhi oleh sensitivitas sektor yang diperjuangkan. Penelitian ini menemukan bahwa perubahan perilaku cenderung dicapai paling lambat di sektor yang melibatkan isu yang sangat sensitif, misalnya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, dan pengurangan pernikahan anak. Perubahan norma yang terkait dengan tabu budaya merupakan agenda jangka panjang yang mungkin didukung oleh Peraturan Desa setelah investasi waktu yang signifikan dalam membangun kepercayaan, aksi kolektif perempuan, dan dukungan layanan, tetapi membutuhkan lebih banyak waktu untuk menghasilkan perubahan perilaku di lapangan.

Kondisi Kerja

Memperbaiki Kondisi Kerja

Perempuan sering menghadapi tantangan karena industri rumahan tidak diakui secara resmi sebagai pekerjaan. Tanpa pengakuan resmi, banyak perempuan mengalami dan melaporkan praktik ketenagakerjaan yang tidak adil, misalnya tidak disediakan bahan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaannya, dan standar kesehatan dan keselamatan di tempat kerja yang rendah. Perempuan pekerja rumahan juga menghadapi diskriminasi, mata pencaharian yang tidak tetap, dan sering memperoleh pendapatan yang kurang memadai untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Perempuan pekerja rumahan juga sering kali tidak tercakup dalam program perlindungan sosial. Pekerja rumahan ini banyak yang tinggal di kawasan pinggiran kota dan kelurahan, tetapi terkadang ada juga yang tinggal di desa, sehingga termasuk di bawah kewenangan UU Desa.

Penelitian ini termasuk dua studi kasus sektoral mengenai OMS yang mendukung perempuan dalam memperbaiki kondisi kerja mereka, khususnya pekerja industri rumahan yang sering kali menjadi bagian dari rantai pasokan industri yang lebih besar atau pasokan ke perusahaan kecil. Di Kabupaten Bantul di DI Yogyakarta, Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) membantu pekerja rumahan untuk berserikat dan bekerja dengan serikat perempuan untuk berhasil mengadvokasi pengakuan formal atas serikat-serikat di tingkat desa dalam peraturan desa dan daerah. Di Deli Serdang, di Provinsi Sumatera Utara, BITRA (Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia) membantu perempuan mendirikan serikat pekerja rumahan, dengan tujuan agar perempuan pekerja rumahan dapat terhubung dengan serikat pekerja lain di desa dan bersama-sama mengadvokasi hak-hak mereka, termasuk kepada pemerintah provinsi untuk mengakui hak mereka atas asuransi kesehatan dalam skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Jelajahi studi kasus di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Deli Serdang untuk memahami jalan perubahan di mana perempuan, dengan dukungan OMS, telah secara strategis memengaruhi kebijakan, mendirikan serikat dan memperluas keanggotaan serikat guna meningkatkan kesadaran tentang, serta pengakuan atas, hak-hak pekerja rumahan.

Baca juga dua kisah perjalanan hidup perempuan yang memimpin kelompok pekerja rumahan dan upaya advokasi yang mereka lakukan. Di Deli Serdang di Sumatera Utara, Mia, anggota Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera mewakili perempuan pekerja rumahan dan menjadi lebih percaya diri untuk berurusan dengan wakil dari dinas pemerintah. Widyati, di Kabupaten Bantul di DI Yogyakarta, merupakan anggota dari kelompok Kreatif Bunda dan menceritakan bagaimana dia belajar tentang hak ketenagakerjaan, keselamatan kerja dan gender, dan hal ini memungkinkannya untuk mengembangkan usahanya dan, pada 2019, mulai mewakili kelompoknya dalam perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD).

Perlindungan sosial

Meningkatkan Akses terhadap Program Perlindungan Sosial

Mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan program perlindungan sosial lainnya cenderung menjadi tantangan khusus di daerah perdesaan yang lebih terpencil di Indonesia. Kejelasan identitas sebagai warga negara yang diperoleh melalui kepemilikan akta kelahiran, akta nikah, kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk dan dokumen lain yang diakui negara, dibutuhkan untuk mengakses layanan pemerintah. Akses kepada dokumen tersebut merupakan hambatan bagi banyak penduduk desa, terutama yang termiskin dari yang miskin dan perempuan kepala keluarga. Perempuan pada khususnya cenderung memiliki keterbatasan dalam mengakses hak sipil mereka karena kurangnya pengetahuan terkait layanan administrasi pemerintah, minimnya sumber daya dan tempat tinggal yang jauh dari pelayanan dokumen.

Upaya advokasi untuk meningkatkan akses terhadap perlindungan sosial adalah tema utama yang diperjuangkan organisasi seperti PEKKA (Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) dan Institut KAPAL Perempuan (Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan) serta mitra lokal mereka, KPS2K dan YKPM, yang telah memfokuskan dukungan bagi perempuan di empat desa penelitian, yakni di Bangkalan dan Gresik di Jawa Timur, Pangkep di Sulawesi Selatan, dan Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan.

Jelajahi studi kasus di Bangkalan, Gresik, Hulu Sungai Utara dan Pangkep untuk memahami jalan perubahan di mana perempuan telah memberikan pengaruh dalam perencanaan pembangunan desa guna meningkatkan akses terhadap perlindungan sosial, infrastruktur dasar dan peluang mata pencaharian.

Baca juga kisah perjalanan hidup delapan perempuan dari desa-desa tersebut dalam menggerakkan perubahan dan insiatif. Di Bangkalan dan Hulu Sungai Utara, Ati, Mita, Hj. Aminah dan Hj. Farah terlibat secara aktif dalam upaya peningkatan akses perempuan kepada dokumen-dokumen penting, termasuk akta kelahiran dan surat nikah, melalui Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi PEKKA. Di Gresik, Lastri dan Lasinem membantu perempuan mengakses jaminan kesehatan nasional melalui skema BPJS. Sedangkan di kepulauan Pangkajene, Laila dan Julianti menerapkan keterampilan advokasi yang mereka pelajari melalui partisipasi dalam kelompok Sekolah Perempuan, dan berhasil mengkampanyekan ketersediaan listrik tenaga surya dan akses air bersih.

Migrasi Tenaga Kerja ke Luar Negeri

Perlindungan untuk Pekerja Migran

Kabupaten Lombok Tengah di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah salah satu daerah yang banyak mengirimkan pekerja migran, baik laki-laki dan perempuan, seperti ke Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah. Di desa seperti daerah dalam penelitian, sebagian laki-laki dan perempuan yang paling miskin rentan terhadap perekrutan pekerja migran oleh perantara. Perantara tersebut sering menggunakan jalur gelap dan tidak resmi untuk memfasilitasi keberangkatan pekerja migran, dan membuat kontrak yang menawarkan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja migran yang berangkat melalui jalur formal. Pekerja migran yang berangkat melalui jalur gelap ini tidak memiliki perlindungan seperti yang disediakan melalui pemberangkatan resmi, baik dalam hal tingkat upah maupun bantuan pemerintah yang tersedia apabila mereka mengalami masalah di luar negeri.

Studi kasus ini menggambarkan bagaimana bantuan untuk pekerja migran di tingkat desa dan kabupaten menjadi fokus utama advokasi dan aksi kolektif warga desa, dengan dukungan OMS. Migrant CARE, dengan mitra lokalnya Perkumpulan Panca Karsa (PPK), bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah desa untuk menginisiasi model penyediaan layanan untuk pekerja migran berbasis komunitas, yakni Desa Peduli Buruh Migran (DESBUMI), dan mendorong perempuan desa untuk membentuk kelompok pemerhati pekerja migran, yaitu La Tansa. Selain menyediakan informasi bagi pekerja migran, kelompok perempuan ini, dengan dukungan PPK, mengadvokasi dan memberi masukan bagi rancangan peraturan desa yang melindungi pekerja migran, yang akhirnya terwujud dalam terbitnya Peraturan Desa No. 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri Asal Desa di Lombok Tengah. Peraturan desa ini menyediakan kerangka kebijakan dan alokasi pendanaan untuk memperbaiki praktik migrasi kerja yang aman dan resmi, pengawasan keberangkatan dan kepulangan pekerja migran, serta penanganan permasalahan pekerja migran. Peraturan ini juga melegitimasi DESBUMI dan La Tansa sebagai mitra pemerintah desa, yang kemudian memungkinkan adanya alokasi Dana Desa bagi kegiatan mereka. Kelompok La Tansa juga menyediakan ruang bagi perempuan untuk memperkuat jejaring, pertemanan, dan dukungan dari perempuan lain untuk mengadvokasi perlindungan pekerja migran dari Lombok Tengah, serta membantu memperkokoh kemampuan ekonomi mereka.

Baca juga kisah perjalanan hidup perempuan dari desa penelitian, Gita dan Nisa, tentang pekerjaan mereka untuk mempromosikan migrasi yang aman dan dukungan untuk para eks-pekerja migran dan keluarga mereka di Lombok Tengah, yang didukung oleh Migrant CARE dan mitra lokalnya PPK. Cerita Gita menunjukkan keikutsertaannya dalam pengumpulan data yang partisipatif, advokasi, dan perubahan kebijakan, telah meningkatkan kepercayaan dirinya dan keberanian untuk melanjutkan karir sebagai guru dalam masyarakat yang termarjinalkan Kisah perjalanan hidup Nisa menjelaskan pengalamannya sebagai pekerja migran di Arab Saudi dan tantangan perekonomian setelah dia pulang ke Lombok. Kedua pengalaman ini mendorong pendirian kelompok La Tansa untuk para perempuan eks-pekerja migran untuk saling mendukung dan secara kolektif mengembangkan keterampilan untuk menunjang ekonomi perempuan desa.

Kesehatan dan Gizi

Memperbaiki Kesehatan dan Gizi Perempuan

Di banyak daerah perdesaan Indonesia yang tercakup dalam penelitian ini, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi perempuan masih terbatas, termasuk pemahaman tentang pentingnya identifikasi dini risiko kanker (melalui skrining kanker serviks), kesehatan seksual, dan banyak isu kesehatan lainnya. Beban kesehatan keluarga cenderung ditanggung oleh perempuan yang sering kali harus merawat anak-anak dan lansia. Peningkatan pengetahuan tentang isu-isu kesehatan ini merupakan tantangan di daerah yang sangat tabu untuk berbagi pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi.

Memperbaiki kesehatan dan nutrisi perempuan adalah sektor fokus utama di dua desa penelitian: di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan Kabupaten Tanggamus di Lampung, Sumatera. Di Jawa Barat, organisasi massa perempuan, ‘Aisyiyah, mendukung perempuan desa mendirikan kelompok perempuan di tingkat desa yang dinamai Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA). Melalui kelompok tersebut, perempuan telah meningkatkan pemahaman mereka tentang kesehatan reproduksi, khususnya kanker serviks dan payudara, dan mendukung Puskesmas untuk merespons dan menangani kondisi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Di Lampung, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, sebagai anggota dari PERMAMPU (Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU), berupaya untuk menganggapi kurangnya kesadaran akan hak reproduksi perempuan dengan mengadakan kelas kesadaran gender untuk ibu dan bapak serta remaja perempuan dan laki-laki. Kesadaran gender tersebut dan tumbuhnya kolaborasi antar kelompok dan jejaring menghasilkan gerakan kolektif lintas kelompok untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

Jelajahi studi kasus di Cirebon dan Tanggamus untuk memahami jalan perubahan di mana perempuan telah memberikan pengaruh terhadap pembuatan kebijakan desa melalui pembentukan kelompok dan jejaring untuk memperbaiki nutrisi dengan mendirikan ‘kebun gizi’, dan satgas dan pos pelayanan untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga.

Baca juga empat kisah perjalanan hidup perempuan yang memimpin insiatif tersebut dan mengembangkan kepemimpinan mereka. Sebagai anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah dan kader kesehatan reproduksi, Hatini dan Srikandi di Cirebon, Jawa Barat, meningkatkan partisipasi mereka dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebagai anggota PKK dan Posyandu hingga menjadi pemimpin dalam menanggapi kebutuhan perempuan dan mensosialisasikan pentingnya deteksi dini kanker. Di Tanggamus, Provinsi Lampung, Sulis dan Mariana berpartisipasi dalam kelas pengarusutamaan gender, dan sekarang berperan sebagai pemimpin, yang diadakan FAKTA-DAMAR. Kedua kisah ini membuktikan perempuan menerapkan pemahaman baru tentang kesetaraan gender dalam kehidupan dan keluarga, dan menyebarluaskan pemahaman baru ini kepada orang lain.

Di bawah ini adalah video tentang desa penelitian yang mana fokus sektoralnya ialah kesehatan dan gizi perempuan.

Kekerasan Berbasis Gender

Mengurangi Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan berbasis gender, dan khususnya kekerasan dalam rumah tangga, bukanlah masalah yang didiskusikan secara luas dan terbuka di daerah perdesaan Indonesia. Terdapat lebih dari 430.000 kasus dilaporkan pada 2019, meskipun kemungkinan besar tingkat kekerasan yang sebenarnya terjadi lebih tinggi apabila memperhitungkan kasus yang tidak dilaporkan. Upaya perempuan untuk memperoleh dukungan kuat dari warga dan pejabat politik untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga, menghadapi hambatan yang signifikan di beberapa daerah oleh karena norma sosial yang ada – bahwa urusan rumah tangga seharusnya tidak didiskusikan di luar rumah, dan melayani suami adalah peran perempuan.

Meskipun tantangan yang kompleks tersebut, perempuan desa, dengan dukungan dari organisasi masyarakat sipil, sedang menciptakan perubahan untuk mengurangi tingginya kekerasan berbasis gender dan menyediakan dukungan dan pelayanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan di seluruh Indonesia. Kekerasan berbasis gender adalah sektor fokus di tiga desa penelitian di mana OMS mendukung perempuan desa: FPL (Forum Pengada Layanan) dan mitra konsorsiumnya SPI (Serikat Perempuan Independen) di Kabupaten Labuhan Batu di Provinsi Sumatera Utara, dan YABIKU (Yayasan Amnaut Bife Kuan) di Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) di Kabupaten Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mengurangi kekerasan berbasis gender juga merupakan fokus inisiatif dan advokasi perempuan desa di Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung, Sumatera, yang dijelaskan di sini di bagian Memperbaiki Kesehatan dan Gizi Perempuan.

Jelajahi studi kasus di Labuhan Batu, Timor Tengah Utara, dan Lombok Timur untuk memahami jalan perubahan di mana perempuan berkontribusi kepada perubahan kebijakan tentang pelaporan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga, memimpin pendirian rumah aman, menyediakan dukungan paralegal kepada korban kekerasan, dan berhasil mengadvokasi pengesahan peraturan desa untuk melindungi penyintas kekerasan.

Baca juga lima kisah perjalanan hidup perempuan yang menggerakkan advokasi dan inisiatif. Di Labuhan Batu, Tari mewakili Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu di Musyawarah Desa dan menjadi kunci dalam perancangan dan pelaksanaan Peraturan Desa tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Di Lombok Timur, Laeli adalah Ketua Kelompok Konstituen, di mana Husnul menjadi anggotanya. Bersama-sama, mereka bekerja dalam tim paralegal yang mendukung korban dan penyintas kekerasan dalam rumah tangga, dan berhasil mengajukan alokasi Dana Desa untuk memperbaiki pelayanan kesehatan. Di Timor Tengah Utara, Veronika juga menyediakan bantuan paralegal. Yohana, pendiri mitra lokal FPL, YABIKU, menjabat sebagai anggota DPRD periode 2014 – 2019. Dalam periode ini dua peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak, yang diinisiasi oleh koalisi OMS, dirancang dan disahkan sebagai Peraturan Daerah.