Menantang Norma Sosial melalui Advokasi Perlindungan Korban Kekerasan terhadap Perempuan

Penulis:
Longgina Novadona Bayo
Smita Tanaya

Unduh PDF dalam Bahasa Indonesia

Ringkasan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang
cukup dominan di Indonesia. Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa sekitar 71% kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah tangga mereka sendiri (Komnas Perempuan, 2017). Sayangnya, pelaporan dan penanganan kasus KDRT di Indonesia masih sangatlah kurang. KDRT diibaratkan sebagai fenomena gunung es, karena data yang ada tidak merepresentasikan kepelikan kondisi yang sebenarnya.

Fenomena KDRT banyak terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi ini
merupakan salah satu provinsi dengan angka KDRT yang tinggi di Indonesia. Sumber daya pertanian yang terbatas dan ketertinggalan infrastruktur menyumbang pada rendahnya kualitas hidup masyarakat di desa. Selain itu, kultur yang monolitik di NTT juga salah satu penyebab tingginya angka KDRT di provinsi ini. Struktur sosial desa berakar pada sejarah terbentuknya desa yang bermula dari masyarakat geneologis, yang menghasilkan kultur dengan homogenitas tinggi dan ikatan kekeluargaan yang kuat. Kultur ini juga berbasis pada hak bapak atau patriarkat, di mana garis keturunan laki-laki dianggap lebih penting, yang kemudian berimplikasi pada relasi sosial yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini, menurut banyak warga desa, telah berkontribusi bagi pemakluman tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak di desa. Terlebih lagi, praktik adat yang sangat merugikan korban kekerasan, dan absennya penjaminan hak korban kekerasan untuk mengakses pelayanan, membuat korban kekerasan menghadapi kesulitan dalam melaporkan kasus yang menimpa mereka dan dalam mengakses dukungan pelayanan.

Yayasan Amnaut Bife Kuan (YABIKU), yang bermitra dengan Forum Pengada Lapangan (FPL), berupaya untuk
mendukung perempuan desa dalam memecahkan permasalahan KDRT dengan memperkuat kelompok-kelompok
perempuan yang sebelumnya sudah terbentuk di desa, yakni tiga Kelompok Wanita Tani (KWT). Upaya penguatan
meliputi pemberdayaan ekonomi, perluasan agenda kelompok, meningkatkan pemahaman mengenai gender melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan, serta memperluas keragaman dan jumlah anggota. Upaya advokasi yang lebih luas, yakni di tingkat kabupaten, dipelopori ibu Yohana, pendiri YABIKU dan juga seorang aktivis perempuan yang sudah lama bergelut di isu ini. Advokasi YABIKU untuk melakukan perubahan institusional di level kabupaten dilakukan dengan cara masuknya Yohana ke dalam politik elektoral guna merombak regulasi agar lebih berpihak kepada perempuan. Selain itu, YABIKU juga mengembangkan sayap advokasinya dengan membangun jejaring LSM di tingkat kabupaten dan di luar TTU.

Advokasi yang dilakukan YABIKU berkontribusi pada pengesahan dua kebijakan di tingkat kabupaten, yaitu Perda
Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan (Perda No. 14 tahun 2016) dan Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Perda No. 15 tahun 2017). Perempuan desa dengan dukungan YABIKU juga membentuk Kelompok Paralegal di desa serta menginisiasi rancangan peraturan desa, untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan berbasis gender lainnya. Rancangan peraturan desa juga bertujuan untuk mengubah praktik adat terkait penyelesaian konflik rumah tangga dan pelaporan kasus kekerasan, yang mana cenderung memihak pada laki-laki.

Upaya-upaya yang dilakukan di tingkat akar rumput dan di tingkat kabupaten ini kemudian berhasil membawa
beberapa perubahan. Kedua perda yang ada berhasil mengubah dan mengurangi praktik adat yang meminggirkan hak korban dalam resolusi kasus kekerasan. Kehadiran perda-perda tersebut juga melegitimasi dan mengakui eksistensi Kelompok Paralegal di desa, sehingga dapat menghadirkan pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Perda-perda ini juga menjadi rujukan hukum bagi para korban kekerasan untuk dapat mengakses pelayanan ketika mengalami tindak kekerasan. Perubahan lain juga dialami perempuan desa. Pertama, mulai tumbuhnya kesadaran perempuan desa mengenai keadilan gender. Kedua, adanya efek jera bagi pelaku KDRT. Ketiga, perempuan mulai dapat mengklaim hak partisipasi mereka di ruang publik. Dan keempat, adanya penguatan kapasitas perempuan dalam berorganisasi dan pencarian nafkah. Selain itu, penguatan ekonomi menjadikan perempuan di desa lebih mandiri dan berdaya dalam menghadapi relasi rumah tangga yang represif.

Perubahan-perubahan di atas sayangnya berjalan lambat dan bertahap, sehingga baru bisa menggeser secara parsial norma sosial yang kuat di desa. Hal ini disebabkan oleh sejarah panjang di desa di mana perempuan tidak dilibatkan dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan, minimnya dukungan sumberdaya bagi kegiatan pemberdayaan perempuan di desa, serta tidak adanya perempuan desa dalam posisi kepemimpinan yang dapat mengadvokasikan kebutuhan perempuan. Studi kasus dari desa di TTU menjadi bukti konkret perlunya menciptakan agensi untuk melakukan akselerasi bagi perubahan sosial, dan mencetak figur-figur perempuan potensial untuk merebut ruang-ruang sosial dan politik pengambilan keputusan di desa.

Baca studi kasus lain tentang tema sektoral kekerasan berbasis gender.