Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga melalui Kelompok Konstituen Masyarakat

Penulis:
Wigke Capri
Hening Wikan Sawiji

Unduh PDF dalam Bahasa Indonesia

Ringkasan

Studi kasus di desa penelitian yang terletak di Kabupaten Lombok Timur ini berfokus kepada advokasi perlindungan
perempuan dan anak terkait isu kekerasan dalam rumah tangga. Advokasi ini dilakukan melalui masyarakat desa
melalui pembentukan Kelompok Konstituen (KK) Mele Maju, dengan dukungan dari mitra dampingan MAMPU, yaitu
Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Kelompok ini beranggotakan laki-laki dan perempuan, serta
terbentuk untuk mendukung proses advokasi di desa dalam beberapa isu, khususnya bagi perempuan. Salah satunya adalah dengan menanggapi norma sosial yang menyebabkan adanya pemakluman kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di desa, baik kekerasan fisik, ekonomi, maupun psikologis. Pemakluman kekerasan menyebabkan kasus kekerasan yang terjadi kerap tidak terlaporkan. Selain itu, norma sosial juga telah membatasi keterlibatan perempuan dalam ruang formal dan informal proses pembuatan keputusan terkait kebutuhan masyarakat.

Bermodalkan hubungan baik BaKTI dengan pemerintah dan organisasi perangkat daerah, serta dukungan regulasi
pemerintah provinsi dan kabupaten terhadap isu perlindungan perempuan dan anak, KK Mele Maju berdiri sebagai
sarana untuk menampung aspirasi masyarakat tentang isu terkait untuk disampaikan kepada pemerintah, serta sebagai lembaga informal tempat diskusi, pelayanan dukungan masyarakat serta pengaduan kekerasan yang terjadi di desa. KK Mele Maju juga telah membantu pembentukan dan penguatan jaringan dengan tokoh elit pemerintahan dan nonpemerintahan di desa.

Keterlibatan perempuan dalam KK Mele Maju, dalam kapasitasnya untuk menyediakan pelayanan paralegal di desa,
menjadi motor penggerak advokasi untuk menggulirkan dan mendorong regulasi ke tingkat desa. Advokasi ini dimulai dari pendekatan kepada elit desa, keterlibatan dalam diskusi kampung, penyusunan rancangan peraturan desa, hingga berhasil dikeluarkannya Peraturan Desa No. 4 Tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Perdes ini juga memberikan legitimasi resmi bagi keberadaan KK Mele Maju di desa, yang juga berimplikasi pada pengalokasian Dana Desa bagi kegiatan KK Mele Maju, termasuk penyelenggaraan Balai Balaq, yakni pos pengaduan dan rumah aman bagi korban kekerasan di desa. Pada gilirannya, Perdes menciptakan ruang legitimasi bagi pemerintah desa untuk memberikan perhatian lebih terhadap agenda perlindungan perempuan dan anak. Adanya perhatian dari pemerintah desa ini kemudian memberikan posisi tawar yang lebih tinggi bagi perempuan, baik di ranah publik maupun pribadi.

Kehadiran KK Mele Maju juga membawa perubahan yang positif bagi perempuan desa. Perempuan anggota KK menjadi lebih percaya diri, mampu menyuarakan aspirasi mereka atas kebutuhan perempuan, memiliki jaringan yang lebih luas, dan mampu berpartisipasi dalam diskusi desa. Salah satu perempuan desa pun kini menjabat sebagai Ketua KK.

Perdes No. 4 Tahun 2018 tersebut telah membawa perhatian lebih bagi perlindungan perempuan dan anak,
menyediakan jalur atau saluran pelaporan dan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, serta memperluas peran perempuan baik di ranah publik maupun privat. Namun, pada penerapannya, Perdes mengalami kendala karena masih adanya norma sosial yang menyebabkan pemakluman dan normalisasi kasus kekerasan. Hambatan ini membuat proses perubahan berjalan lambat, dan dalam beberapa kasus, mengalami resistensi.

Adanya perdes menyebabkan beberapa konsekuensi yang saling bertentangan. Di satu sisi, terdapat peningkatan
pelaporan kasus kekerasan di desa, namun di sisi lain, norma sosial yang ada justru menimbulkan keengganan bagi
beberapa perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya kepada pos pengaduan yang didirikan
melalui perdes. Keengganan ini muncul karena adanya stigma terkait perceraian, yang menganggap perempuan yang melaporkan mengenai isu internal rumah tangga mereka sebagai istri yang ingin minta bercerai dan menyusahkan suami sendiri. Perdes tersebut merupakan langkah awal yang penting, namun pendekatan yang institusionalis dan formal malah menciptakan jarak antara beberapa anggota masyarakat yang lebih memilih jalur pelaporan informal, dengan institusi yang ada di desa.

Studi kasus ini memberikan pembelajaran penting sebagai rekomendasi untuk memajukan agenda perlindungan
terhadap perempuan dan anak di desa. Pertama, pentingnya memanfaatkan mekanisme informal yang ada sebelum Perdes, di mana warga melaporkan kasus kekerasan secara informal kepada Kepala Dusun, untuk kemudian diselesaikan secara kekeluargaan selain dengan mekanisme formal. Kedua, perlunya kolaborasi yang lebih erat antara kelompok masyarakat, perangkat desa, tetua-tetua desa, dan CSO, untuk menciptakan ruang diskusi informal terkait penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ke depannya, dukungan berkesinambungan perlu diberikan bagi para perempuan desa agar mereka dapat lebih memanfaatkan mekanisme informal tersebut untuk mengatasi kasus kekerasan di desa dan stigma sosial yang ada, selain dari adanya Perdes.

Baca studi kasus lain tentang tema sektoral kekerasan berbasis gender.