Aksi Kolektif Perempuan dalam Mengadvokasikan Upaya Peningkatan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Penulis:
Desi Rahmawati
Nadlirotul Ulfa

Unduh PDF dalam Bahasa Indonesia

Ringkasan

Studi kasus ini mengeksplorasi tentang bagaimana perempuan di desa penelitian di Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon telah mengambil peran aktif dalam proses kebijakan di tingkat desa. Hal ini diawali dari keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang diinisiasi oleh Pimpinan Daerah (PD) ‘Aisyiyah Kabupaten Cirebon dalam isu kekurangan gizi kronis pada anak (stunting) dan isu kesehatan reproduksi perempuan. Desa di Kecamatan Talun ini memang memiliki permasalahan yang cukup mendesak dalam isu kesehatan reproduksi. Hasil pendataan para Kader Kesehatan Reproduksi Balai Sakinah ‘Aisyiyah (Kader Kespro BSA) menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan desa memiliki masalah kesehatan pada organ reproduksi mereka, termasuk tumor dan kanker. Pada sisi lain, rata-rata perempuan di desa ini memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah, kemampuan ekonomi yang lemah, dan pasif dari aktivitas publik. Hal ini menyebabkan mereka belum terpapar dengan informasi tentang kesehatan reproduksi. Keterbatasan infrastruktur berupa pasokan air bersih dan listrik juga berpengaruh pada kualitas kesehatan warga desa pada umumnya.

Langkah awal PD ‘Aisyiyah dalam mendukung aksi kolektif perempuan di desa serta menumbuhkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi perempuan diawali dengan pembentukan kelompok-kelompok perempuan di bawah naungan Balai Sakinah ‘Aisyiyah Qoryah Thayyibbah (BSA). BSA adalah forum bagi perempuan desa berusia subur (15 – 49 tahun) dan berasal dari kalangan ekonomi lemah untuk menumbuhkan kesadaran mengenai hak kesehatan reproduksi perempuan secara khusus maupun aspek-aspek yang melekat termasuk Keluarga Berencana (KB) dan ketahanan keluarga. Dari sini muncullah kader-kader perempuan, berupa kelompok kecil perempuan desa yakni Kader Kespro BSA, yang kemudian membagi informasi dan keterampilan yang mereka miliki kepada kelompok yang lebih besar yaitu BSA secara umum. Proses edukasi yang dilakukan Kader Kespro BSA, dengan dukungan PD ‘Aisyiyah, memberikan kesempatan bagi perempuan desa untuk mendapatkan pelatihan kepemimpinan dan berorganisasi, kemampuan berbicara di depan publik, serta peningkatan pemahaman mengenai isu kesehatan reproduksi perempuan. Berbekal peningkatan kemampuan ini, kader-kader BSA berperan sebagai agen perubahan yang berhasil menularkan pengetahuannya kepada sesama perempuan desa. Kader-kader ini juga berperan penting dalam mengkonsolidasikan dukungan dari sesama perempuan desa, tidak hanya dalam wadah Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA), namun juga melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) MAMPU ‘Aisyiyah. Kelompok KWT adalah wadah bagi perempuan desa untuk mengkonsolidasikan diri melalui aktivitas pendukung yaitu penyediaan kebun gizi, pelatihan pertanian, serta peningkatan akses peningkatan pendapatan bagi perempuan miskin di desa. Melalui partisipasi dan aksi kolektif menggunakan aktivitas yang melekat pada keseharian perempuan desa, yaitu bertani, KWT diharapkan dapat memperluas jalan pencapaian agenda kolektif, yaitu peningkatan pemahaman perempuan terkait kesehatan reproduksi.

Keberadaan kelompok-kelompok ini tidak hanya mendukung peningkatan pengetahuan dan keahlian perempuan, namun juga memperkuat dan mendiversifikasi jaringan yang dimiliki oleh perempuan, dengan sesama perempuan lain, dengan aktor kunci pemerintah desa dan kabupaten, serta tokoh agama di desa. Advokasi, pendampingan, penguatan kapasitas serta pengembangan jaringan perempuan di desa ini membuahkan hasil yang signifikan. Pertama, aksi kolektif perempuan berkontribusi langsung terhadap penerbitan peraturan desa (perdes) tentang kesehatan reproduksi perempuan, yaitu Perdes Nomor 07 tahun 2017 tentang Pengelolaan Kesehatan Reproduksi Perempuan. Perdes ini juga menjadi dasar untuk penganggaran Alokasi Dana Desa untuk agenda kesehatan reproduksi perempuan. Kedua, melalui KWT mereka mengusulkan melalui musyawarah desa untuk penambahan lahan kebun gizi ke lahan yang lebih strategis dan subur. Ketiga, perempuan desa berhasil mengubah waktu pelaksanaan musyawarah desa yang lebih akomodatif terhadap partisipasi perempuan, yakni hari Minggu sore. Perubahan waktu ini mendorong perempuan desa agar semakin terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa guna mengadvokasikan kebutuhan-kebutuhan perempuan.

Namun demikian, perubahan yang terjadi masih bersifat inkremental, sehingga kemampuan berkonsolidasi dan
melakukan aksi kolektif para perempuan di desa ini masih memerlukan dukungan tertentu dari PD ‘Aisyiyah sebagai
pendamping serta pemerintah desa demi memajukan agenda kesehatan reproduksi perempuan. Dalam konteks yang demikian, strategi pendekatan kepada aktor pemerintahan yang melekat dalam strategi PD ‘Aisyiyah menemukan relevansinya. Pemanfaatan jaringan sosial yang sebelumnya sudah terjalin di desa dapat menjadi bekal untuk meneruskan advokasi di desa. Pendekatan kepada aktor yang mewakili institusi pemerintahan memberikan dukungan tersendiri untuk menyediakan payung kebijakan untuk agenda kesehatan reproduksi perempuan yang berkesinambungan secara jangka panjang.

Baca studi kasus lain tentang tema sektoral kesehatan dan gizi.