Ringkasan
Studi kasus ini menceritakan perubahan yang terjadi terhadap perempuan pekerja rumahan yang mengambil kasus di desa penelitian di Kabupaten Bantul. Permasalahan utama yang kerap dihadapi oleh para perempuan pekerja rumahan di desa penelitian dan juga pekerja rumahan secara umum adalah tiadanya pengakuan akan keberadaan mereka oleh pemerintah, dan sebagai akibat, ketiadaan jaminan kesejahteraan dan perlindungan atas aktivitas mereka sebagai pekerja. Dua hal ini yang mendorong Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) untuk melakukan advokasi kepentingan para perempuan pekerja rumahan di desa penelitian.
Para pekerja rumahan di desa penelitian sebagian besar bekerja sebagai buruh jahit kain perca untuk dibuat menjadi tas dengan berbagai ukuran, yang kemudian didistribusikan oleh pengusaha yang lebih besar. Mereka mengambil pekerjaan dari tiga juragan yang ada di desa tersebut. Pekerjaan yang mereka ambil meliputi salah satu aktivitas spesifik dalam proses pembuatan tas, seperti menggabungkan kain perca, ngrajah (memberi pembatas di antara kain perca), menjahit membentuk tas, hingga proses finishing. Upah kerja mereka dihitung berdasarkan lembaran kain yang mereka kerjakan, sehingga upah tergantung jumlah pekerjaan yang bisa mereka selesaikan. Untuk setiap satu mata pekerjaan mereka diupah antara Rp1.000,00 hingga Rp1.500,00 per lembar. Upah ini sangat murah untuk ukuran kebutuhan hidup sehari-hari saat ini. Akan tetapi pilihan ini tetap diambil oleh para perempuan karena mereka memandang pilihan ini lebih baik daripada menganggur dan juga sebagai sebuah cara untuk mendapatkan penghasilan yang fleksibel secara waktu. Mereka tetap dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial rutin di desa, seperti rewangan (membantu) saat tetangga hajatan dan kegiatan kampung yang lain. Hal ini sulit dilakukan bila warga adalah pekerja kantor dengan jam kerja yang tetap.
Sektor informal secara umum memang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sebagai bagian dari sektor
informal, pekerja rumahan semakin tidak terperhatikan karena pekerjaannya dilakukan di rumah, seolah kegiatan
pekerja rumahan hanya dilakukan untuk mengisi waktu luang para ibu rumah tangga. Upah yang kecil, waktu dan
lokasi kerja membuat para pekerja rumahan semakin tidak terlihat dan hak-hak mereka terabaikan.
Advokasi yang dilakukan oleh Yasanti untuk mengangkat isu pekerja rumahan bekerja pada dua level sekaligus, yakni di level individu dan kolektif berupa penyadaran kepada para perempuan bahwa mereka adalah pekerja yang berhak atas upah yang layak dan perlindungan, dan kedua, di level institusi dengan mendorong regulasi pemerintah yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja rumahan.
Pada level individu dan kolektif, Yasanti berhasil mendorong dan mendukung para perempuan pekerja rumahan ini
untuk membentuk serikat yang disebut dengan Serikat Perempuan Pekerja Rumahan (SPPR) Kreatif Bunda. Para
perempuan yang tergabung dalam serikat inilah yang selanjutnya menjadi aktor utama dalam advokasi yang didukung oleh Yasanti dalam memperkuat perlindungan bagi pekerja rumahan. Ada banyak manfaat yang diperoleh perempuan yang tergabung dalam SPPR Kreatif Bunda. Pelatihan peningkatan kapasitas kepemimpinan yang menjadi materi wajib anggota membuat para perempuan ini memahami akar persoalan yang mereka hadapi, terampil untuk berbicara di muka umum, menyampaikan pendapat dan mengelola organisasi. Dengan bekal kapasitas yang sudah mumpuni ini perempuan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat dusun hingga desa untuk mengadvokasikan hak-hak pekerja rumahan.
Di tingkat desa, hasil advokasi terwujud dengan diterbitkannya SK Lurah Desa nomor 20 Tahun 2018 yang mengakui SPPR Kreatif Bunda sebagai salah satu lembaga desa yang berhak atas pembinaan dan partisipasi di dalam forum kebijakan di tingkat dusun dan desa. Pengakuan eksistensi ini tidak hanya berimbas pada dilibatkannya mereka dalam berbagai musyawarah desa dan dusun beserta lembaga desa lain yang lebih tradisional, namun juga pengalokasian Dana Desa bagi kegiatan SPPR Kreatif Bunda.
Di tingkat kabupaten, advokasi SPPR Kreatif Bunda membuahkan hasil dengan pengakuan dan pencatatan keberadaan SPPR Kreatif Bunda secara resmi di bawah Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Bantul melalui surat pencatatan nomor 98/SPbr.3L/1/2017. Pada level provinsi, dialog yang mereka lakukan berhasil mendorong adanya Keputusan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DI Yogyakarta No. 463/03508 tahun 2017 tentang Gerakan Perempuan Pekerja Rumahan Menuju Sejahtera dan Terlindungi. Pengakuan secara resmi ini berimplikasi bagi terbukanya akses bagi SPPR Kreatif Bunda terhadap berbagai program pemberdayaan dan hibah yang disediakan pemerintah.
Baca studi kasus lain tentang tema sektoral kondisi kerja.