
Bagian Metode Penelitian ini menjabarkan pertanyaan luas penelitian dan metode campuran yang dipakai di dalam penelitian ini, yang meliputi analisis komparatif multi-tingkat, wawancara kisah hidup secara mendalam, diskusi kelompok terarah, penelusuran proses, pemetaan jaringan sosial, dan didukung oleh data pemantauan kuantitatif dari 27 provinsi di Indonesia. Bagian ini menyediakan latar belakang dari penelitian dan metodologi yang digunakan sebagaimana yang diuraikan dalam Gambar 2 dalam bagian Pendahuluan di bawah ini, dan detail lebih jauh disediakan dalam lampiran di dalam laporan komparatif.
Pendahuluan
Pertama, bagian ini memberikan gambaran umum tentang perkembangan, tujuan, dan unsur utama UU Desa tahun 2014 di Indonesia. Kemudian, kami secara singkat meninjau penelitian yang ada tentang UU Desa, mengidentifikasi kesenjangan dalam penelitian yang ada tentang pemahaman atas bagaimana perempuan memengaruhi implementasi UU Desa dan peran Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam proses ini. Kami kemudian menjelaskan bagaimana penelitian ini mengisi kesenjangan penelitian yang ada, serta konsep-konsep utama yang terkait dengan aksi kolektif dan pemberdayaan perempuan.
Selanjutnya, bab ini menjabarkan tentang pendekatan yang diterapkan program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender (MAMPU) di Indonesia dan dukungan program MAMPU kepada mitra OMS dalam upaya meningkatkan suara dan pengaruh perempuan. Bagian ini juga menjelaskan secara lebih lanjut tentang metodologi penelitian yang digunakan untuk mengkaji bagaimana pengaruh perempuan dapat memengaruhi implementasi UU Desa, termasuk tujuan, pertanyaan, sampel, sumber data, dan metode pengumpulan data penelitian.
Gambar 2: Struktur dan Isi Utama Bab 2

Undang-Undang Desa di Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), telah membawa perubahan besar pada pembangunan dan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini kami akan secara singkat menjelaskan sejarah dan tujuan UU Desa, unsur utama UU Desa, dan kelembagaan desa. Kami kemudian meninjau kajian-kajian yang relevan tentang implementasi UU Desa sejauh ini dan dampaknya untuk mengidentifikasi kesenjangan penelitian yang akan diisi oleh kajian ini sehubungan dengan bagaimana perempuan memengaruhi implementasi UU Desa.
Sejarah dan perkembangan UU Desa
UU Desa tahun 2014 berkembang dari berbagai penerapan inisiatif pembangunan masyarakat berskala besar yang sebelumnya sudah ada—misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK)—untuk mendukung tata kelola pemerintahan desa, penetapan prioritas pembangunan desa, dan pembangunan desa secara mandiri. Tepat sebelum dan pada awal transisi demokrasi, semakin banyak inisiatif di tingkat desa untuk mempercepat pembangunan dan menanggulangi kemiskinan di Indonesia, terutama untuk mengatasi naiknya tingkat kemiskinan yang semakin parah akibat Krisis Keuangan Asia. Pada tahun 1997 sebelum Soeharto mundur, PPK diujicobakan di 25 desa dan kemudian diperluas pelaksanaannya pada tahun 1998 tepat ketika Indonesia merombak sistem politik dan menerapkan desentralisasi kewenangan fiskal dan politik secara signifikan. Struktur program PPK sangat berbeda dengan kebanyakan inisiatif pembangunan tersentralisasi, yang cenderung menggunakan struktur kewenangan dan pencairan dana berhierarki dari atas ke bawah (top-down). Dana PPK justru disalurkan secara langsung ke kecamatan, tanpa melalui tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.
Program PPK menerapkan prinsip pembangunan berbasis masyarakat (community-driven development, CDD), yang berupaya untuk mendukung masyarakat untuk secara mandiri menentukan prioritas pembangunan, merencanakan, menganggarkan, melaksanakan, dan memonitor pembangunan berskala kecil, dengan dukungan fasilitator di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten serta perencana/ahli-ahli teknis dan keuangan, misalnya insinyur. Proposal proyek disusun oleh desa dengan dukungan fasilitator pemberdayaan desa perempuan dan laki-laki di setiap desa. Guna menentukan proposal prioritas yang diusulkan perempuan, Musrenbangdes Khusus Perempuan diadakan di desa. Proyek prioritas lainnya ditentukan dalam musyawarah desa (Musdes). Dalam forum antarkecamatan, urutan prioritas proyek desa ditetapkan oleh komite desa (setidaknya setengah anggotanya adalah perempuan) berdasarkan sejumlah kriteria, termasuk pengentasan kemiskinan. Proyek-proyek yang berada di urutan teratas sebanyak mungkin didanai dari alokasi anggaran kecamatan. Uji coba CDD ini terus berkembang selama 15 tahun ke depan melalui fase-fase yang berikut, hingga sejumlah prinsip pembangunan berbasis masyarakat disahkan dalam UU Desa tahun 2014:
- PPK—Antara 1998-2002, inisiatif pembangunan berskala besar ini diperluas cakupannya berdasarkan uji coba inisiatif pada 1997 untuk memajukan pembangunan desa di banyak kecamatan di seluruh Indonesia dengan bantuan dari Bank Dunia berupa pinjaman dan hibah, dan bantuan badan pembangunan secara bilateral (misalnya Australian Aid) dan multilateral lainnya. Setiap desa bersaing untuk mendapatkan dana pembangunan untuk membangun proyek infrastruktur lokal dan inisiatif lainnya, misalnya dana simpan pinjam bergulir, yang didukung bantuan yang signifikan. Program PPK terus dijalankan hingga tahun 2006 dan berhasil menjangkau sekitar 20.000 desa.
- PNPM Mandiri—Pada 2007 pemerintah Indonesia menetapkan program tersebut sebagai program nasional, sehingga program yang menerapkan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat ini diperluas skalanya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri), yang didanai APBN dan secara berkelanjutan didukung oleh badan pembangunan. PNPM Mandiri berlangsung sejak 2007 sampai 2014 dan berhasil menjangkau lebih dari 65.000 desa, yang juga berfokus pada pembangunan infrastruktur lokal dan pengentasan kemiskinan, termasuk penggunaan dana hibah untuk layanan dan inisiatif lainnya. Program ini juga mendapatkan banyak bantuan, tetapi persaingan antardesa dikurangi.
- UU Desa—UU Desa mengesahkan kewenangan, anggaran, tata kelola pemerintahan tingkat desa dan pembangunan desa secara mandiri, sehingga memperluas jangkauan inisiatif yang sudah ada sebelumnya hingga mencapai seluruh 75.000 desa di Indonesia. Setiap desa menerima anggaran tahunan sekitar USD75.000. Sejauh ini, fasilitator desa (pendamping desa) berfokus pada memberikan bantuan teknis dan administratif kepada pemerintah desa dalam aspek perencanaan dan penganggaran serta pertanggungjawaban.
UU Desa tahun 2014 memasukkan beberapa prinsip dan praktik CDD yang diterapkan program-program sebelumnya ke dalam pemerintah desa dan tata kelola pemerintahan desa, khususnya dalam perencanaan dan pengambilan keputusan berbasis masyarakat untuk menentukan prioritas pembangunan melalui Musdes. Mendorong partisipasi dalam pertemuan dan proses pengambilan keputusan telah lama dianggap sebagai kunci untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan transparan serta akuntabel, bahkan sejak program terdahulu dijalankan sebelum berlakunya UU Desa, misalnya PPK (Barron, dkk., 2011). UU Desa tidak menetapkan kuota atau aturan khusus tentang inklusi perempuan, tetapi petunjuk teknis dan peraturan pelaksanaan UU tersebut diterbitkan secara berkala oleh Kementerian-Kementerian yang bertanggung jawab mendukung tata kelola pemerintahan desa dan akuntabilitas desa serta membimbing desa dalam pelaksanaannya.
Tujuan
UU Desa 2014 diberlakukan untuk mencapai sejumlah tujuan yang dituangkan dalam pasal-pasal yang tercantum dalam UU tersebut (lihat Kotak 1). Indonesia telah mendesentralisasi sebagian besar kewenangan pengambilan keputusan politik dan fiskal ke pemerintah kabupaten (berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dan revisinya), tetapi status desa dalam struktur kewenangan pengambilan keputusan dalam sistem pemerintahan Indonesia masih tidak jelas. Melalui UU Desa tahun 2014 inilah status dan kewenangan desa diperjelas, termasuk peran dan tanggung jawab Kepala Desa terpilih, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)1 terpilih, dan penyelenggaraan pemerintahan desa, alokasi anggaran, pengambilan keputusan, dan mekanisme akuntabilitas.
Berdasarkan UU Desa (No. 6/2014) dan peraturan terkait, desa memiliki hak asal usul yang didefinisikan sebagai hak yang diwarisi dan hak yang berasal dari inisiatif masyarakat (hak atas budaya, organisasi masyarakat dan tanah [Pasal 1]). Sejarah dan identitas desa menjadi dasar bagaimana desa ditetapkan berdasarkan UU Desa sebagai pemerintah yang otonom dan mandiri. Berdasarkan asas otonomi, desa didorong untuk mengidentifikasi dan melaksanakan prioritas dan kebijakan pembangunannya secara mandiri dengan menggunakan dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, yaitu Dana Desa yang diuraikan lebih lanjut di bawah.
UU Desa juga menekankan pentingnya pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat, pengurangan kemiskinan dan kesetaraan gender. Pasal 4 secara khusus menetapkan tujuan pengaturan desa, yaitu untuk mengakui keberagaman desa, mendorong partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, mempercepat peningkatan kesejahteraan, dan mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Pasal 78 menekankan tujuan pengurangan kemiskinan dalam pembangunan desa, sedangkan pasal lainnya (Pasal 26 dan Pasal 63) menegaskan tanggung jawab para pemimpin desa untuk melaksanakan kehidupan demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.
1 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kadang-kadang disebut juga Badan Perwakilan Desa.
Kotak 1: Tujuan UU Desa
Pasal 4: Pengaturan desa bertujuan:
a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;
d. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
e. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Pasal 78: Pembangunan desa
(1) Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pasal 26 (4e), 63 (b): Kesetaraan gender
Kepala Desa (atau sederajat) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus ‘melaksanakan kehidupan demokratis yang berkeadilan gender’.
Anggaran dan kelembagaan desa
Dana Desa: Selain memperjelas status dan kewenangan desa, UU Desa juga memperkenalkan ‘Dana Desa’ yang dialokasikan pemerintah pusat sebesar 10% dari dana yang diterima pemerintah daerah. Desa juga menerima alokasi dana dari pemerintah kabupaten dengan besaran paling sedikit 10% dari dana yang diterima pemerintah kabupaten dari pemerintah pusat. Sekitar USD75.000 (dengan perimbangan berdasarkan jumlah penduduk, luas geografis dan tingkat kemiskinan desa) disalurkan setiap tahun ke 75.000 desa di Indonesia untuk digunakan sesuai dengan prioritas yang ditentukan masing-masing desa tersebut. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (selanjutnya, Kementerian Desa) dan Kementerian Dalam Negeri memiliki tanggung jawab untuk mendukung berbagai aspek implementasi UU dan pengawasannya. Informasi lebih lanjut tentang pengembangan UU Desa, peran kabupaten dalam sistem kewenangan yang terdesentralisasi, dan pembagian tanggung jawab berdasarkan UU Desa, lihat Lampiran 1.
Penduduk desa mengambil keputusan penggunaan Dana Desa melalui Musdes (Bab IX, Paragraf 1, Pasal 80). Namun, Kementerian Desa juga memberikan panduan tentang apa yang harus diprioritaskan, yang secara khusus penting pada tahap awal implementasi UU Desa yang baru disahkan ini ketika banyak desa meminta arahan pelaksanaan dari Kementerian.
Pemerintah Desa, yang dipimpin oleh Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan pejabat desa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan, kesejahteraan, dan perencanaan desa adalah salah satu lembaga utama yang ditetapkan Undang-Undang Desa tahun 2014. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004) yang menetapkan bahwa Kepala Desa yang terpilih secara langsung bertanggung jawab kepada kabupaten, UU Desa mengatur ketentuan bahwa Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan musyawarah desa (Musdes). Berdasarkan Pasal 27 UU Desa 2014, pertanggungjawaban Kepala Desa kepada konstituennya dilakukan melalui penerbitan dan sosialisasi laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan desa. Begitu pula dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114/2015 yang mempertegas tanggung jawab untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat termasuk sosialisasi rencana kerja dan anggaran desa dalam rapat permusyawaratan desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah badan yang dibentuk untuk mewakili kepentingan masyarakat. BPD harus mengkoordinasi Musdes tahunan dengan pemerintah desa dan ‘unsur masyarakat’, atau lapisan masyarakat lainnya untuk melakukan perencanaan anggaran tahunan dan jangka panjang (Pasal 54). Dengan demikian, Musdes merupakan mekanisme kunci yang dirancang untuk mendorong partisipasi masyarakat dan memastikan akuntabilitas. Musdes juga dapat diselenggarakan untuk membahas perencanaan desa (Musrenbangdes), rencana investasi, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan aset desa, dan untuk menanggapi kejadian luar biasa (Pasal 2). Anggota BPD berhak untuk merancang Peraturan Desa (Perdes) kecuali peraturan yang terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah desa (Syukri, dkk., 2018, 19). Selanjutnya, BPD membentuk panitia ad hoc terpisah untuk mengkoordinasikan pemilihan Kepala Desa.
Kesenjangan: Penelitian yang ada tentang UU Desa di Indonesia
Meskipun penerapan UU Desa masih baru, beberapa kajian telah mulai menilai dampak berlakunya UU Desa. Beberapa kajian ini berfokus pada dampak di tingkat nasional, misalnya kajian Suryahadi dkk. (2018) tentang dampak UU Desa—dan reformasi lainnya dalam pemerintahan Joko Widodo—terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumah tangga. Namun beberapa penelitian yang paling relevan adalah penelitian yang menganalisis dampak UU Desa terhadap pemerintahan di tingkat daerah (antara lain Salim, dkk., 2017; Antlov, dkk., 2016; Syukri, dkk., 2018; dan Vel dan Bedner, 2015). Penelitian-penelitian tersebut mengidentifikasi berbagai perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, yaitu dimana sejak UU Desa diberlakukan tata kelola pemerintahan daerah menjadi lebih inklusif dalam beberapa hal, tetapi pada saat yang sama justru meningkatkan ketidaksetaraan dalam hal lainnya. Kami mempelajari lebih lanjut temuan-temuan yang relevan dalam beberapa penelitian ini tentang partisipasi masyarakat, peran organisasi masyarakat sipil, partisipasi gender, perubahan tata kelola pemerintahan berdasarkan UU Desa, dan dampak gender.
Penelitian berskala besar terkini tentang UU Desa telah dilakukan oleh Bank Dunia bersama dengan Lembaga Penelitian SMERU melalui Penelitian Desa Sentinel. Penelitian Desa Sentinel mencakup kajian baseline dengan metode campuran dari dua tahun pertama implementasi UU Desa dari tahun 2015-2016 (kemudian diperpanjang hingga 2017), dan hasil analisis kualitatif kajian tersebut dipublikasikan oleh Syukri dkk. pada 2017 serta sebagian temuan analisis campurannya diterbitkan oleh Bank Dunia pada 2018 (lihat Dharmawan, dkk., 2018). Kajian tersebut menganalisis implementasi UU Desa dan kualitas belanja Dana Desa. Kajian dilakukan di 10 desa yang tersebar di lima kabupaten di tiga provinsi (Jambi, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur). Studi Kelembagaan Lokal (LLI) sebelumnya juga dilakukan di lokasi yang sama oleh para peneliti dengan dukungan Bank Dunia pada tahun 1996, 2000-2001 dan 2012 untuk menelusuri perubahan dari waktu ke waktu dalam pelaksanaan program PPK dan PNPM yang disebutkan di atas.
Partisipasi masyarakat: Struktur tata kelola pemerintahan yang ditetapkan UU Desa berpotensi untuk meningkatkan respons pemerintah di tingkat desa melalui masyarakat yang aktif dan lembaga yang lebih partisipatif (Antlov, dkk., 2016). Penelitian Desa Sentinel menganalisis partisipasi masyarakat secara umum dalam implementasi UU Desa, dengan fokus khusus pada partisipasi dalam Musdes, serta transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa. Hasil baseline penelitian tersebut menyimpulkan bahwa di beberapa daerah, partisipasi dalam Musdes masih terbatas, tidak semua Musdes bersifat inklusif gender, dan perempuan sering kali lebih kecil kemungkinannya untuk menghadiri musyawarah tingkat desa dan dusun dibandingkan laki-laki (Dharmawan, dkk., 2018). Secara umum, masyarakat desa cenderung tidak hadir dalam musyawarah desa karena tingginya opportunity cost dan adanya persepsi bahwa musyawarah desa hanya untuk pemerintah desa dan tokoh masyarakat (Dharmawan, dkk., 2018). Artinya masih ada tantangan untuk mendorong partisipasi sebagaimana ditunjukkan oleh studi LLI sebelumnya tentang PPK dan PNPM, meskipun UU Desa telah meningkatkan skala pembangunan berbasis masyarakat (CDD). Penelitian Desa Sentinel menekankan bahwa fokus yang berkelanjutan diperlukan untuk mendukung partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Tentunya peraturan baru yang diterbitkan pada 2019—setelah dilakukannya Penelitian Desa Sentinel dan penelitian ini (lihat Lampiran 1)—oleh Kementerian Desa berupaya untuk memberikan dukungan secara berkelanjutan.
Peran organisasi masyarakat sipil: Penting untuk dicatat bahwa di sedikit lokasi desa penelitian dalam Penelitian Desa Sentinel terdapat kehadiran yang kuat dari OMS yang berfokus untuk mendukung masyarakat desa atau implementasi UU Desa. Oleh karena itu, mengingat kesenjangan sampel yang signifikan Penelitian Desa Sentinel tidak membahas pemahaman tentang bagaimana OMS memperkuat pemerintahan desa, inklusi gender, dan penerapan UU Desa. Akibatnya, Penelitian Desa Sentinel cenderung tidak mengidentifikasi secara rinci berbagai jalur yang dapat digunakan perempuan untuk memengaruhi implementasi UU Desa, maupun dampak dari advokasi dan program OMS.
Partisipasi gender: Selain mengidentifikasi terbatasnya partisipasi perempuan dalam forum pengambilan keputusan desa, laporan baseline Penelitian Desa Sentinel (Syukri, dkk., 2017) juga mengidentifikasi cara agar fungsi Dana Desa dapat ditingkatkan dengan memberdayakan penduduk desa dan memperkuat kelembagaan desa misalnya Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Laporan baseline (Syukri, dkk., 2017; Dharmawan, dkk., 2018) juga menemukan bahwa aktivis perempuan desa sangat terlibat dalam diskusi di pertemuan-pertemuan tingkat desa ketika mereka hadir. Meskipun menemukan cara untuk mengatasi partisipasi dalam pertemuan bukanlah tantangan baru bagi advokasi dan program CDD, indikasi tersebut menyoroti bahwa setiap orang yang memiliki latar belakang aktivis atau didukung oleh inisiatif inklusi gender OMS memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menggunakan suara dan pengaruhnya dalam pertemuan pengambilan keputusan di desa. Apabila indikasi serupa ditemukan secara lebih luas dalam penelitian lain seperti penelitian ini, hal tersebut dapat menjadi masukan penting terhadap upaya mendukung inklusi dan upaya menemukan cara untuk meningkatkan pengaruh perempuan dalam pembangunan desa, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
Perubahan penyelengaraan tata kelola pemerintahan dengan berlakunya UU Desa: Syukri dkk. (2017) berpendapat bahwa UU Desa berpotensi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel melalui peningkatan jumlah dana yang secara langsung disalurkan ke desa. Namun implementasi UU Desa tahun 2014 sebagian besar bergantung pada pemahaman dan interpretasi para pemimpin daerah tentang tata kelola pemerintahan. Susan dan Budirahay (2018, 26) menemukan bahwa ‘meskipun pemerintah desa mungkin mengetahui tentang berlakunya Undang-Undang Desa, pemimpin pemerintahan desa masih belum sepenuhnya memahami dan mempraktikkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik—terutama transparansi, akuntabilitas, dan distribusi informasi’. Oleh karena itu, meskipun UU Desa dapat berdampak besar pada reformasi pemerintahan, kurangnya pengetahuan yang luas tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di antara para pemimpin daerah berpotensi menghambat reformasi tersebut. Salim dkk. (2017) berpendapat bahwa ambiguitas dalam peran dan tanggung jawab, serta kurangnya partisipasi masyarakat memang mendasari alasan implementasi UU Desa menghambat reformasi pemerintahan dalam beberapa hal. Hal ini terbukti dalam pembahasan yang tercantum dalam Lampiran 1 tentang perbedaan interpretasi Undang-Undang Desa di antara kementerian yang bertanggung jawab dan peraturan pelaksanaan terkait.
Dampak gender: Kajian baseline Penelitian Desa Sentinel (Syukri, dkk., 2017, 2018) menyoroti bagaimana implementasi UU Desa sering kali lebih berfokus pada kebutuhan praktis daripada menantang ideologi dan norma yang sensitif mengenai peran gender. Pengambilan keputusan Dana Desa pada praktiknya hanya berfokus pada infrastruktur dan ekonomi desa, bukan bentuk investasi lainnya yang dapat mewakili prioritas perempuan. Demikian pula, dalam analisis penelitian di dua desa di Jawa Tengah yang dianggap berhasil dalam reformasi tata kelola pemerintahan, Kushandajani dan Alfirdaus (2019) juga mengamati bahwa perempuan sering kali tidak diberikan peran pengambilan keputusan, tetapi cenderung hanya sebagai peran pendukung dan masih kurang terwakili dalam Musdes, serta kepentingan-kepentingan perempuan sering kali dianggap sebagai kepentingan yang tidak terlalu penting. Berdasarkan penelitian di Kalimantan Barat, Vos (2018) mengidentifikasi meningkatnya jumlah klaim tanah sejak diberlakukannya UU Desa, namun penggunaan UU Desa untuk klaim hak atas tanah bukan berarti dalam prosesnya melibatkan perempuan. Terlebih lagi, UU Desa memperjelas status desa dan mengakui adat dalam pemerintahan desa, seperti masyarakat adat dan tradisi dalam struktur desa (misalnya nagari di Sumatera Barat). Penelitian yang dilakukan Vel dan Bedner (2015) mengkaji apakah UU Desa akan mendorong perubahan yang progresif menuju pemerintahan daerah yang inklusif di Indonesia secara lebih luas, atau justru mengarah ke sistem pemerintahan adat yang mungkin mengakomodasi kebutuhan gender yang berbeda secara lebih inklusif atau sebaliknya.
Kesenjangan: Semua penelitian di atas menunjukkan bahwa implementasi UU Desa tidak dapat diasumsikan akan menghadirkan pemerintahan yang lebih inklusif. Terlepas dari tujuan dan upaya UU Desa untuk mengatur aspek-aspek pembangunan berbasis masyarakat, hal ini belum tentu menghasilkan pembangunan desa yang lebih inklusif pada tahap awal implementasinya, terutama bagi perempuan. Namun Penelitian Desa Sentinel menunjukkan bahwa UU Desa masih memberikan peluang untuk mendorong kesetaraan gender di Indonesia—apabila pembuat keputusan di pemerintahan dapat memanfaatkan peluang tersebut. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat beberapa contoh yang menunjukkan bahwa perempuan memang memengaruhi pembangunan desa dan implementasi UU Desa, tetapi belum ada penelitian yang mengkaji secara mendalam kondisi yang mendasari terjadinya pengaruh tersebut atau bagaimana pengaruh tersebut dilakukan. Selain itu, walaupun penelitian sebelumnya menunjukkan contoh keterlibatan masyarakat sipil dalam reformasi tata kelola pemerintahan di tingkat desa, belum ada yang mengkaji bagaimana OMS dapat berkontribusi terhadap pengaruh tersebut, mendukung kelompok yang lebih rentan dan masyarakat desa secara lebih luas, atau mendukung pembuat keputusan di berbagai tingkat pemerintahan untuk memanfaatkan peluang yang mendorong peningkatan kesetaraan gender.
Latar belakang dan rancangan penelitian
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami sejauh mana dan dengan cara apa perempuan memberikan pengaruh terhadap implementasi UU Desa, Dana Desa dan pembangunan desa di Indonesia serta peran organisasi masyarakat sipil dalam proses tersebut. Secara khusus, penelitian ini berfokus pada pengaruh kolektif perempuan secara informal dan formal pada UU Desa untuk kepentingan perempuan dan kelompok yang berpotensi terpinggirkan secara sosial.
Latar belakang penelitian: Kemitraan MAMPU-OMS dan pengalaman
Pemberdayaan perempuan dan inklusi gender, dengan cara mendorong suara, aktivisme dan aksi kolektif, telah lama menjadi fokus utama para pemimpin perempuan, gerakan perempuan yang lebih luas dan banyak organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan kesetaraan gender di Indonesia. Banyak OMS perempuan di tingkat nasional dan daerah yang berperan penting dalam gerakan reformasi Indonesia dan berpengaruh pada agenda kebijakan agar memberikan perhatian yang lebih besar pada perlindungan hukum dan kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan perempuan. Selama beberapa dekade sebelumnya, organisasi perempuan, baik penyedia layanan (misalnya layanan kesehatan), organisasi keagamaan, dan di organisasi korporatis negara misalnya Kelompok Wanita Tani (lihat Bab 5) telah lama berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan dan akan terus melanjutkan upayanya.
Gerakan perempuan Indonesia (Lihat Bab 5) telah meraih pencapaian penting dalam upaya pengurangan ketidaksetaraan gender, terutama upaya untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan partisipasi angkatan kerja, dan mengadvokasi pengurangan perkawinan anak. Hasilnya adalah Indonesia telah mencapai kemajuan dalam kesetaraan gender, tetapi peningkatan tersebut masih terjadi secara perlahan, bertahap dan tidak merata, terutama di daerah pedesaan yang miskin.2 Seperti halnya di negara lain, pencapaian kesetaraan gender masih menjadi tantangan di Indonesia, mengingat masih terdapatnya kelemahan dalam implementasi UU Desa tidak terkecuali seperti yang diidentifikasikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
MAMPU: Untuk mendukung kerja organisasi, jejaring, dan lembaga lainnya, khususnya OMS perempuan, dalam upaya peningkatan kesetaraan gender, program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender (MAMPU) yang didanai oleh Australian Aid menyediakan pendanaan, desain program dan dukungan implementasi untuk mitra OMS dalam menjalankan kegiatan inti dan proyek-proyek tertentu—dalam penelitian ini, OMS mencakup organisasi massa yang beranggotakan perempuan, seperti organisasi massa keagamaan ‘Aisyiyah. Program MAMPU dimulai pada tahun 2012 (dari tahap perancangan, kemudian beroperasi penuh pada akhir 2013) sebagai inisiatif berjangka waktu delapan tahun yang berfokus pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Secara umum, program MAMPU beserta dengan mitranya telah berupaya untuk meningkatkan suara dan pengaruh perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai tingkat mulai dari desa hingga DPR melalui jejaring organisasi masyarakat sipil (Mitra MAMPU).
MAMPU mendukung penguatan kapasitas dan sumber daya kolektif perempuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan di berbagai tingkatan dan untuk membantu meningkatkan pilihan bagi perempuan, yang mencerminkan sebagian upaya penekanan dari badan pembangunan, yaitu meningkatkan akses perempuan ke sumber daya yang tersedia. Namun MAMPU juga secara langsung mendukung OMS mitranya (dalam pengembangan organisasi) dan secara tidak langsung mendukung kelompok perempuan desa yang dibentuk atau diperkuat oleh OMS Mitra MAMPU, dengan tujuan mengambil peran yang lebih transformatif secara sosial melalui aksi kolektif. Keterangan lebih lanjut tentang kerangka kerja MAMPU untuk pemberdayaan perempuan dapat dilihat di Lampiran 2.
Pada tahap pertama, MAMPU dan Mitranya lebih fokus pada pengembangan dan implementasi kebijakan di tingkat kabupaten dan nasional (Kelly dan Wardini, 2019). Namun, perubahan konteks sosial dan politik Indonesia pada waktu itu, termasuk berkembangnya konservatisme dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, menciptakan tantangan yang signifikan bagi gerakan perempuan (Kelly dan Wardini, 2019). Sementara itu, dengan berlakunya UU Desa, organisasi perempuan mengidentifikasi munculnya peluang yang signifikan untuk melakukan upaya peningkatan inklusi gender akar rumput di desa. Melalui desentralisasi beberapa aspek kewenangan politik dan fiskal di Indonesia ke tingkat desa, kini terdapat potensi yang jauh lebih besar bagi perempuan akar rumput untuk memiliki suara dalam penggunaan dana publik. Laporan tinjauan program MAMPU pada saat itu juga menekankan pentingnya tambahan dukungan dari MAMPU kepada mitra OMS untuk memperluas inisiatif yang dijalankan di desa-desa agar dapat semakin memperkuat pengaruh kebijakan dan upaya advokasi. Oleh karena itu, pada Fase 2, berdasarkan masukan dari mitra OMS, MAMPU meningkatkan dukungan kepada mitra OMS untuk:
- Mengintensifkan upaya untuk membentuk atau memperkuat kelompok perempuan di desa, dengan tujuan untuk memperkuat aksi kolektif,
- Meningkatkan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan dengan kelompok perempuan dan kelompok lainnya, termasuk meningkatkan kesadaran gender,
- Mendukung kelompok perempuan dalam kegiatan ekonomi, penyediaan layanan dan upaya untuk memengaruhi pembangunan desa,
- Mendukung desa dalam perancangan kebijakan, peraturan dan kegiatan pembangunan yang bermanfaat bagi perempuan, dan
- Terus melakukan advokasi kebijakan yang lebih luas serta memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan kabupaten dalam perancangan kebijakan.
2 Laporan Indeks Pembangunan Manusia UNDP tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih memiliki ‘kesetaraan menengah’ antara laki-laki dan perempuan.
Mengisi kesenjangan pengetahuan: Pertanyaan dan kontribusi penelitian
Pada tahun 2018, penelitian-penelitian sebelumnya telah memberikan wawasan tentang implementasi awal UU Desa, khususnya terkait dengan inklusivitas gender dan dampaknya, maka sejumlah organisasi seperti Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (JPAL) sedang mempertimbangkan untuk mengadakan percontohan dan uji acak terkendali (random controlled trials) untuk menguji serta meningkatkan hasil implementasi UU Desa bagi perempuan. Namun penelitian yang ada tentang bagaimana proses ini dapat dicapai masih belum cukup.
Intervensi dan pembelajaran yang signifikan dari OMS perempuan dalam proses ini telah terjadi, termasuk diantara Mitra MAMPU. Buktinya mulai terlihat dalam laporan monitoring MAMPU tentang kelompok perempuan desa yang memengaruhi pembangunan desa. Kajian Midline SMERU (2018) tentang dampak program MAMPU yang dilakukan pada tahun 2017 telah mengidentifikasi beberapa contoh bagaimana Dana Desa digunakan untuk mendukung perlindungan sosial di bidang kesehatan, untuk menjalankan program pemulihan lingkungan lahan gambut, dan untuk memberikan dukungan bagi inisiatif perempuan. Berdasarkan hasil diskusi dengan tim Penelitian Desa Sentinel terhadap penelitian yang dilakukan juga mengungkapkan bahwa terdapat satu atau dua temuan yang menunjukkan adanya budaya partisipasi lintas gender dalam pengambilan keputusan di desa (misalnya melalui program warisan PPK dan PNPM). Sebagai contoh, di lokasi penelitian di NTT, perempuan lebih aktif dalam pengambilan keputusan di desa. Di lokasi penelitian lainnya, teridentifikasi satu atau dua temuan yang menunjukkan adanya upaya OMS untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan desa, dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi dalam memengaruhi hasil implementasi UU Desa. Meskipun demikian, belum ada penelitian berskala besar yang dilakukan untuk:
- Mempelajari pengalaman ini atau menganalisis secara mendalam dan dalam skala besar proses yang dilalui perempuan untuk memengaruhi implementasi UU Desa dan pembangunan desa,
- Memahami bagaimana pengaruh perempuan bervariasi di seluruh Indonesia,
- Mengidentifikasi apa yang menghambat atau mendorong pengaruh perempuan, dan
- Menentukan peran apa yang selama ini diambil oleh OMS—sebagai bentuk aksi kolektif yang terstruktur dan terorganisir yang sangat berfokus untuk memberikan dukungan kepada perempuan desa dan di luar desa–dalam proses ini.
Penelitian independen sebelumnya yang dilakukan oleh MAMPU, misalnya Migunani (2017), telah mengidentifikasi berbagai jenis kelompok perempuan yang dibentuk atau diperkuat di desa dengan dukungan OMS Mitra MAMPU dan motivasi perempuan untuk berpartisipasi dalam kelompok-kelompok tersebut. Namun, hasil penelitian tersebut tidak mempelajari bagaimana kelompok-kelompok tersebut berupaya memengaruhi struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan di desa berdasarkan UU Desa. Oleh karena itu, meskipun sudah ada penelitian yang dilakukan untuk mempelajari bidang ini secara terpisah, masih terdapat kesenjangan pengetahuan tentang bagaimana aksi kolektif perempuan dan upaya OMS untuk memberdayakan perempuan bersinggungan dengan implementasi UU Desa di Indonesia (lihat Gambar 3 di bawah ini). Oleh karena itu, program MAMPU dan OMS Mitra MAMPU mendukung penelitian independen untuk mengisi kesenjangan ini untuk menentukan: dalam konteks apa, sejauh mana dan melalui mekanisme apa aksi kolektif lokal oleh perempuan memengaruhi implementasi UU Desa, dan apa peran OMS dalam proses tersebut?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini berupaya untuk memahami bagaimana perempuan secara langsung dan tidak langsung memengaruhi implementasi UU Desa secara kolektif sehingga membawa perubahan positif bagi perempuan. Secara lebih spesifik, kajian ini menganalisis aksi kolektif perempuan, yang sebagian besar dilakukan melalui kelompok, atau jejaring formal dan informal, untuk memengaruhi implementasi UU Desa, dan apa peran OMS perempuan dalam proses ini. Banyak penelitian sebelumnya, termasuk juga Penelitian Desa Sentinel yang menemukan bahwa pengambilan keputusan dipengaruhi oleh proses yang sudah ada dari sejak dulu atau tidak berkaitan dengan musyawarah di tingkat desa yang diadakan untuk mengambil keputusan secara formal. Dengan demikian, penelitian ini melakukan analisis komparatif terhadap berbagai mekanisme yang dilalui perempuan untuk menggunakan pengaruh mereka secara lebih luas, tidak hanya di dalam musyawarah desa, dan berupaya menelusuri proses pengaruh perempuan dari waktu ke waktu, guna menempatkan perubahan yang muncul, jika ada, dalam dinamika konteks yang lebih luas.
Gambar 3: Kesenjangan Penelitian tentang Pemberdayaan Perempuan dan UU Desa

Penelitian ini berupaya untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang dinamika di tingkat desa yang mendorong, membentuk, dan menghambat pengaruh kolektif perempuan pada implementasi UU Desa. Penelitian ini menggunakan desain penelitian komparatif mendalam untuk menjelaskan variasi dalam konteks desa dan kabupaten, serta keberadaan ataupun sifat kelompok dan jejaring perempuan, yang diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai bentuk dan pendorong pengaruh serta kendala dalam aksi dan pengaruh kolektif perempuan di berbagai daerah di Indonesia.
Kontribusi utama lainnya dari penelitian ini adalah untuk mengkaji interaksi antara pengaruh tingkat desa dan kabupaten terhadap implementasi UU Desa. Penelitian sebelumnya tentang UU Desa yang dijelaskan di atas terutama difokuskan pada implementasi UU Desa di tingkat desa. Terdapat beberapa rujukan tentang pengaruh kabupaten, misalnya kajian Salim dkk. (2017) yang menjelaskan bagaimana kepemimpinan di kabupaten dapat mengendalikan hasil pemilu di tingkat desa. Dalam bagian analisis di bab selanjutnya, kami berupaya untuk memperluas hasil kajian sebelumnya dan mendeskripsikan interaksi yang kompleks antara kabupaten dan desa, serta bagaimana interaksi tersebut berdampak pada implementasi UU Desa dan aksi kolektif perempuan.
Temuan dalam kajian ini dapat digunakan oleh Mitra MAMPU serta para pemangku kepentingan yang terlibat dalam implementasi UU Desa untuk:
- Menginformasikan inisiatif untuk mendukung pengaruh kolektif perempuan pada pengambilan keputusan di tingkat desa,
- Merancang strategi untuk mengurangi tantangan terhadap pengaruh kolektif perempuan, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan di tingkat desa, dan
- Memengaruhi perumusan kebijakan dan peraturan tentang implementasi UU Desa agar memberikan hasil yang lebih baik bagi semua perempuan.
Konsep: Kekuatan, pemberdayaan, dan aksi kolektif perempuan
Aksi kolektif
Sebagaimana dibahas secara mendetail dalam Bab 5, kami mengkonseptualisasikan aksi kolektif perempuan sebagai aksi yang dilakukan oleh kelompok dan jejaring, yang sebagian besar terdiri dari perempuan meskipun sering kali juga terdapat anggota selain perempuan, yang berupaya menciptakan perubahan positif dalam kehidupan perempuan. Kami membedakan antara aksi kolektif yang berupaya menciptakan perubahan positif bagi perempuan dalam kehidupan sehari-hari secara umum, dan aksi kolektif yang secara spesifik mewujudkan perubahan melalui pengaruh pada proses tata kelola pemerintahan dan struktur kekuasaan, yang penting dalam memahami pengaruh perempuan pada implementasi UU Desa. Kami membedakan antara aksi kolektif formal, yaitu melalui struktur organisasi dan pemerintahan, dan aksi kolektif informal yang terjadi dalam jejaring sosial yang lebih fleksibel. Pembedaan antara aksi kolektif formal dan informal sangat penting dalam studi ini karena diyakini bahwa gender berpengaruh terhadap keterlibatan pada kedua bentuk aksi kolektif tersebut (Pandolfelli, dkk., 2008; Agarwal, 2000), dengan perempuan lebih sering tidak dilibatkan dalam aksi kolektif formal.
Di seluruh lokasi dalam penelitian ini, kami menemukan contoh aksi kolektif yang bersifat formal dan informal. Aksi kolektif formal termasuk partisipasi perempuan dalam forum pemerintahan desa seperti Musdes dan/atau Musrenbangdes. Pada saat yang sama, perempuan terlibat dalam praktik aksi kolektif informal, misalnya dengan menciptakan dan berpartisipasi dalam ruang (yaitu kelompok perempuan) yang dapat menjadi wadah bagi perempuan untuk menggunakan suara mereka, serta melalui jejaring yang dikembangkan melalui interaksi sosial, mata pencaharian, dan koneksi lainnya yang dapat digunakan perempuan untuk memberikan pengaruh mereka, misalnya untuk mendapatkan dukungan dari tokoh sosial dan politik yang berpengaruh. Meskipun bentuk dan tingkat aksi kolektif perempuan berbeda baik di antara atapun di dalam lokasi penelitian tersebut sendiri, melalui kegiatan-kegiatan ini perempuan semakin mampu menggunakan pengaruh dan kekuatan mereka, mengembangkan kapasitas, meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, dan pada akhirnya membentuk kerangka implementasi UU Desa.
Pemberdayaan perempuan
Meskipun kajian ini difokuskan pada aksi kolektif perempuan, hal yang mendasari aksi tersebut adalah sejauh mana perempuan dapat memberikan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan, yang mungkin akan menjadi kurang inklusif tanpa pengaruh mereka, hingga pada akhirnya memiliki kekuatan untuk memengaruhi hasil. Hal ini mencakup menggunakan suara untuk mengekspresikan kekuatan perempuan—secara individu dan kolektif—serta memberikan pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap struktur kekuasaan desa guna membentuk hasil yang diperoleh dari implementasi UU Desa. Dalam menelusuri perubahan terhadap cara perempuan secara kolektif memengaruhi implementasi UU Desa dan hasilnya, dan dalam mengidentifikasi faktor apa (termasuk intervensi) yang mendukung atau menghambat pengaruh ini, kami memperoleh pemahaman tentang proses pemberdayaan perempuan.
Meskipun pemberdayaan perempuan merupakan fokus kerja banyak badan pembangunan di seluruh dunia, istilah ‘pemberdayaan’ terkadang masih belum terdefinisikan atau masih digunakan dalam cara yang berbeda (Porter, 2013; Cornwall, 2007; Batliwala, 2007). Bagi banyak feminis nilai konsep tersebut terletak pada ‘ketidakjelasan’ ini, karena hal ini memberikan ruang lingkup yang luas untuk mengembangkan program (Kabeer, 1999). Dalam wacana pembangunan secara umum, meningkatkan status ekonomi perempuan, partisipasi perempuan yang setara dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan serta kemajuan di bidang kesehatan dan pendidikan, semuanya menjadi pertimbangan untuk mendorong kesetaraan gender; yang pada akhirnya dianggap sangat penting untuk pembangunan manusia dan ekonomi (Porter, 2013). Terlebih lagi, memberdayakan perempuan sebagai aktor politik dan sosial secara luas diasumsikan dapat membawa kepada redistribusi barang publik yang lebih merata bagi kelompok yang tertinggal atau terpinggirkan.
Banyak peneliti dan aktivis advokasi feminis menekankan bahwa penting untuk memikirkan tentang pemberdayaan perempuan dalam kaitannya dengan ‘kapabilitas’ atau ‘pilihan’. Nussbaum (2011, x) menekankan pentingnya bertanya: “Apa yang sebenarnya orang-orang mampu lakukan dan menjadi apa mereka? Kesempatan nyata apa yang tersedia bagi mereka?”. Kabeer (1999, 437) merangkum dimensi pilihan dalam definisinya tentang pemberdayaan:
“Proses yang memampukan orang yang telah diluputkan dari kemampuannya untuk membuat pilihan”.
Kemampuan untuk membuat pilihan sering kali dikonseptualisasikan untuk mencakup tiga dimensi yang saling terkait: sumber daya, agensi, dan pencapaian (lihat Kotak 2). Meskipun kategori tersebut berguna untuk mengukur pemberdayaan, penting juga untuk menekankan sifat pemberdayaan sebagai suatu proses, bukan hanya seperangkat indikator nyata (Kabeer, 1999; Batliwala, 2011).
Kotak 2: Dimensi Pemberdayaan
Sumber daya (prasyarat) tidak hanya berupa sumber daya materi tetapi secara luas mengacu pada sumber daya manusia dan sosial yang dapat digunakan untuk melakukan pilihan. Sumber daya diperoleh melalui hubungan sosial (yaitu: keluarga dan masyarakat).
Agensi (proses) adalah kemampuan untuk menetapkan tujuan dan bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun agensi sering kali dianggap sebagai kemampuan untuk membuat keputusan, agensi dapat mencakup bentuk lainnya seperti ‘tawar-menawar dan negosiasi, penipuan dan manipulasi, subversi dan resistensi serta proses refleksi dan analisis secara kognitif yang abstrak’. (Kabeer 1999, 438)
Pencapaian (hasil) merujuk pada potensi setiap orang untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginannya. Sen (1985) mendeskripsikan hal ini sebagai orang yang mencapai cara yang dihargai untuk menjadi seseorang dan melakukan sesuatu. (Sumber: Kabeer, 1999)
Kerangka kerja MAMPU untuk mendukung mitra OMS beserta dengan advokasi dan dukungan mitra OMS untuk desa, sering digambarkan sebagai inisiatif ‘pemberdayaan perempuan’ sebagai maksud untuk menyampaikan upaya MAMPU dan mitranya dalam memperkuat kekuatan perempuan. Dalam laporan ini kami juga terkadang menyebutkan ‘inisiatif pemberdayaan perempuan’ untuk merujuk pada maksud pemberdayaan dari kegiatan dan upaya tertentu, dan kami juga menggunakan istilah tersebut untuk kebijakan dan program yang diklasifikasikan sebagai pemberdayaan. Namun kami tidak berasumsi bahwa upaya-upaya tersebut berdampak pada pemberdayaan bagi perempuan. Pada akhir analisis komparatif, kami meninjau kembali pertanyaan penelitian tentang pemberdayaan dan dampak pemberdayaan dari dukungan OMS bagi perempuan desa yang diteliti dalam kajian ini.
Kekuatan
Definisi kekuasaan juga penting untuk memahami pemberdayaan perempuan. VeneKlasen dan Miller (2002, 39) membedakan empat jenis kekuatan dan empat ranah kekuatan (lihat Kotak 3). Di dalam bidang pembangunan masyarakat secara khusus terdapat penekanan yang semakin besar pada pengembangan tiga jenis kekuatan yang terakhir disebutkan (kekuatan dengan-power with; kekuatan untuk-power to; dan kekuatan di dalam-power within), yang dianggap lebih kolaboratif dan setara (VeneKlasen dan Miller, 2002). Namun VeneKlasen dan Miller (2002, 40) berpendapat bahwa berbagai jenis kekuatan harus dipertimbangkan dan upaya untuk memberdayakan perempuan harus membedakan tiga ‘ranah’ kekuatan, yaitu: ranah publik, ranah privat dan ranah intim (Lihat Kotak 3).
Kotak 3: Empat Jenis Kekuatan dan Tiga Ranah Kekuatan
Jenis kekuatan
‘Kekuatan atas sesuatu/seseorang’ (Power over)—merupakan jenis kekuatan yang paling dikenal, tetapi banyak orang mengaitkan kekuatan ini secara negatif, misalnya represi, kekayaan, pemaksaan, kekerasan, diskriminasi, korupsi, dan pelecehan. Kekuatan dipandang sebagai hubungan menang-kalah (win-lose relationship).
‘Kekuatan dengan orang/kelompok lain’ (Power with)—berkaitan dengan menemukan kesamaan di antara berbagai kepentingan dan membangun kekuatan kolektif.
‘Kekuatan untuk mengambil tindakan’ (Power to)—mengacu pada potensi unik yang dimiliki setiap orang untuk membentuk kehidupan dan dunianya.
‘Kekuatan di dalam diri’ (Power within)—berkaitan dengan rasa harga diri dan pengetahuan diri yang dimiliki setiap orang.
Ranah kekuatan
Ranah publik—merujuk pada kekuatan yang dapat terlihat karena memengaruhi perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan, kehidupan publik, hak hukum, dll.
Ranah privat—merujuk pada hubungan dan peran dalam keluarga, di antara teman, hubungan seksual, pernikahan, dll.
Ranah intim—merujuk pada rasa diri, kepercayaan diri, psikologi, dan hubungan dengan tubuh dan kesehatan yang dimiliki setiap orang.
(Sumber: VeneKlasen dan Miller, 2002, 39-40)
Pengetahuan, pilihan, dan nilai: Pentingnya kepemimpinan dan konteks
Bagi banyak perempuan, pemberdayaan dalam kenyataannya memadukan berbagai dimensi di atas. Hal ini mengingatkan bahwa sumber daya (misalnya, akses ke pinjaman, syarat hukum untuk partisipasi politik, atau peningkatan pendidikan) ‘tidak mungkin secara otomatis memberdayakan diri sendiri, tetapi menciptakan sudut pandang alternatif, yang memungkinkan timbulnya kesadaran yang lebih transformatif’ (Kabeer, 1999, 462). Artinya, ketika perempuan menjadi semakin sadar akan pilihan-pilihan yang dapat menyebabkan mereka menjadi tersisihkan, atau lebih sadar akan informasi dan pengetahuan yang sebelumnya tidak mereka miliki, maka akan terbuka pintu yang memacu transformasi sosial yang lebih mendalam.
Gagasan pemberdayaan memang sebagian bergantung pada berbagai aspirasi perempuan; oleh karena itulah, peningkatan kapasitas perempuan untuk membuat pilihan tentang kehidupan mereka sendiri ditekankan dalam definisi yang dijelaskan di atas. Kepemimpinan feminis membantu menciptakan ruang bagi perempuan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan potensinya untuk melakukan tindakan, yang pada akhirnya berimplikasi pada perubahan dinamika kekuasaan agar lebih setara. Batliwala (2011, 37) menjelaskan bahwa kepemimpinan semacam itu harus mencakup dua tujuan, yaitu: pertama untuk ‘menantang kekuatan yang terlihat, tersembunyi dan tidak terlihat… terutama saat kekuatan tersebut membentuk dan memperkuat subordinasi perempuan’ dan kedua, untuk ‘berjuang untuk membuat praktik kekuasaan menjadi terlihat, demokratis, sah dan akuntabel, di semua tingkatan, dan di ranah publik dan privat.’
Menelusuri pemberdayaan perempuan bahkan jauh lebih kompleks karena dimensinya bervariasi sesuai dengan konteks. Misalnya, kecil kemungkinannya semua orang dalam suatu masyarakat bersepakat terhadap cara-cara untuk menghargai menjadi seseorang dengan pribadi tertentu dan melakukan sesuatu mengingat adanya variasi dalam norma sosial, budaya dan agama di dalam dan di seluruh negara. Inilah salah satu alasan mengapa kami terlebih dahulu mempelajari konteks secara terperinci dalam laporan ini guna memahami bagaimana konteks tersebut dapat membentuk jalur bagi perempuan untuk memberikan pengaruh. Aspirasi masyarakat mungkin juga berbeda dalam berbagai tahapan kehidupan. Bagi sebagian perempuan, pemberdayaan bermanifestasi sebagai peningkatan kepemilikan sosial, sedangkan sebagian perempuan lainnya merasa diberdayakan saat mereka dapat mengakses lebih banyak pengetahuan atau layanan sosial. Dalam kajian ini meskipun kami mengakui bahwa gagasan tentang pemberdayaan perempuan terfragmentasi; gagasan tersebut pada dasarnya tentang kapasitas perempuan untuk membuat pilihan dan pengalaman perubahan positif baik yang dialami secara individu ataupun kolektif dalam hidup mereka.
Metodologi penelitian
Pertanyaan spesifik penelitian
Sebagaimana disebutkan di atas, pertanyaan utama penelitian berkaitan dengan menentukan: dalam konteks apa, sejauh mana dan melalui mekanisme apa aksi kolektif lokal oleh perempuan memengaruhi implementasi UU Desa? Dan apa peran OMS dalam proses ini? Secara lebih spesifik, pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah:
- Dengan cara apa [jika ada] aksi kolektif perempuan (misalnya melalui organisasi, kelompok dan jejaring, serta melalui proses dan aksi formal ataupun informal) mampu memengaruhi prioritas pembangunan desa dan implementasi UU Desa?
- Apa peran organisasi masyarakat sipil (sebagai bentuk aksi kolektif yang terstruktur) dalam mendukung aksi kolektif perempuan akar rumput dan implementasi UU Desa?
- Faktor-faktor apa saja dalam lingkungan kelembagaan eksternal atau jejaring tokoh desa yang mendorong atau menghambat perempuan dalam memberikan pengaruh terhadap pembangunan desa dan pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan perempuan?
- Bagaimana dinamika ini bervariasi berdasarkan konteks desa dan kabupaten?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini menerapkan metode penelitian kualitatif guna menganalisis secara mendalam mekanisme aksi kolektif lokal oleh perempuan di lokasi desa MAMPU dalam memengaruhi implementasi UU Desa. Serangkaian pertanyaan yang lebih operasional di bawah ini dibuat untuk mempelajari konteks desa dan kabupaten serta pengaruh yang muncul dari aksi kolektif perempuan terhadap pelaksanaan UU Desa untuk mempelajari:
- Sejauh mana implementasi UU Desa dan Dana Desa sudah mengakomodir kebutuhan perempuan.
- Bagaimana aksi kolektif perempuan melalui kelompok dan jejaring (dengan atau tanpa dukungan organisasi masyarakat sipil), telah berupaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan desa, perumusan Peraturan Desa baru, dan pencairan Dana Desa guna memenuhi kebutuhan perempuan.
- Apakah terdapat dan sejauh mana aksi kolektif perempuan memengaruhi norma-norma sosial melalui upaya memengaruhi implementasi UU Desa secara lebih luas.
- Tokoh, mekanisme, proses dan kapasitas seperti apa yang telah berperan dalam menjalankan pengaruh ini dan mengapa.
- Faktor pendorong dan penghambat dalam lingkungan kelembagaan eksternal dan jejaring tokoh desa untuk melaksanakan pengaruh ini.
- Bagaimana perempuan bisa memberikan pengaruh ketika mereka tidak mendapat dukungan (atau dukungan awal) dari pemerintah desa.
- Jika memungkinkan, apakah proses serupa dalam memulai aksi kolektif perempuan telah terjadi di luar bidang yang didukung MAMPU, atau apakah ada aspek dukungan MAMPU kepada mitranya dan kelompok kolektif perempuan yang mendorong timbulnya pengaruh terhadap implementasi UU Desa yang mungkin tidak terjadi apabila dukungan tersebut tidak diberikan.
Pendekatan penelitian
Salah satu aspek yang sangat penting dalam penelitian ini adalah keterlibatan OMS Mitra MAMPU pada tahap perancangan penelitian di awal penelitian. Aspek ini sangat penting dalam rancangan penelitian feminis untuk mengakses lokasi penelitian lapangan (juga atas izin dari otoritas terkait), dan untuk memastikan kualitas penelitian serta relevansi temuan agar dapat digunakan ke depannya dalam upaya mendukung inklusi gender dan pemberdayaan perempuan. Lokakarya Diskusi Kolaborasi dan Perencanaan Penelitian diadakan pada bulan Januari 2019 untuk merancang penelitian dan memilih lokasi penelitian bersama dengan hampir seluruh mitra inti MAMPU.3 Rancangan penelitian, alat pengumpulan data, pemilihan lokasi dan kerangka analisis yang diusulkan, juga dibahas dan diselesaikan selama lokakarya tersebut bersama para mitra OMS. Kemudian lokakarya dan webinar juga diadakan dengan OMS Mitra MAMPU untuk refleksi dan analisis yang berkesinambungan.
Penelitian ini dilakukan dengan tingkat ketelitian operasional dan logistik yang sangat tinggi untuk mengekstrak data kualitatif yang kaya dan mendalam tentang pengaruh aksi kolektif perempuan terhadap implementasi UU Desa, Dana Desa, dan pembangunan desa di Indonesia. Meskipun penelitian ini sebagian besar menggunakan metode kualitatif (campuran) untuk memahami mekanisme yang dapat digunakan perempuan untuk memengaruhi implementasi UU Desa, sejumlah data kuantitatif juga dianalisis untuk lebih memahami potensi generalisasi dari temuan di semua wilayah kerja MAMPU.
Penelitian ini tidak hanya difokuskan untuk mengidentifikasi pengaruh aksi kolektif perempuan terhadap UU Desa, Dana Desa dan prioritas pembangunan desa di Indonesia; tetapi juga tentang bagaimana dan dalam konteks apa pengaruh perempuan terjadi. Oleh karena itu yang mendasari penelitian ini adalah model evaluasi berbasis teori yang disebut ‘evaluasi realistis’, yang pertama kali dijelaskan oleh Pawson dan Tilley (1997). Pawson dan Tilley berpendapat bahwa sangat penting mengidentifikasi hasil intervensi (yang merupakan fokus model evaluasi kuasi-eksperimental), tetapi penting juga untuk memahami bagaimana hasil intervensi tersebut dicapai dan hal signifikan apa yang terkait dengan konteks, yang berkaitan dengan tercapainya hasil intervensi tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami secara komparatif mengkaji konteks, mekanisme dan hasil, serta tumpang tindih yang membingungkan dan agak kabur antara konteks, mekanisme dan hasil tersebut (Lihat Kotak 4). Rincian lebih lanjut tentang bagaimana kerangka kerja ini digunakan untuk perancangan dan analisis penelitian dapat dilihat dalam Lampiran 4.
3 ‘Aisyiyah, PERMAMPU, KAPAL Perempuan, PEKKA, Migrant CARE, FPL, BaKTI, BITRA, Yasanti, TURC. Salah satu mitra kunci—Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)—berhalangan hadir dalam Lokakarya Diskusi Kolaborasi dan Perencanaan Penelitian. Tim peneliti berkonsultasi dengan perwakilan KPI pada tahap selanjutnya agar KPI dapat terlibat dalam penelitian ini, namun KPI ternyata tidak dapat berpartisipasi karena adanya penggantian staf dan kendala internal.
Kotak 4: Konteks, Mekanisme, dan Hasil
Konteks: Sejumlah lokasi yang mencakup berbagai konteks sosial-budaya, geografis, proksimitas layanan dan struktur kekuasaan dipilih (di tingkat desa dan kabupaten), sehingga sampel akhir akan terdiri dari lokasi penelitian dengan berbagai tingkat kondusifitas kontekstual terhadap inklusivitas gender dan aksi kolektif perempuan; yaitu beberapa lokasi yang sangat kondusif untuk inklusi gender, lokasi yang tidak kondusif, dan lokasi dengan tingkat kondusifitas yang cukup.
Mekanisme: Sejumlah lokasi yang memiliki variasi (atau yang tidak memiliki) kelompok aksi kolektif perempuan dan tokoh lainnya serta variasi dalam jenis, tingkat dan proses dukungan yang diberikan kepada kelompok tersebut oleh MAMPU.
Hasil: Sejumlah lokasi dengan keragaman tingkat pengaruh aksi kolektif perempuan terhadap UU Desa, Dana Desa, dan prioritas pembangunan desa; yaitu beberapa lokasi tanpa kehadiran OMS, beberapa lokasi yang tingkat pengaruhnya sangat rendah dan lokasi lainnya yang mengalami perubahan pada peraturan, undang-undang atau norma sosial.
Penetapan sampel
Indonesia memiliki keragaman budaya, politik dan ekonomi yang luar biasa. Akses terhadap layanan dan anggaran dari pemerintah kabupaten dan provinsi juga beragam, begitu pula dengan pengaruh organisasi adat dan etnis atau keagamaan. Saat penelitian ini dimulai pada tahun 2019, Mitra MAMPU terdiri dari 13 organisasi masyarakat sipil perempuan di tingkat nasional atau daerah serta jejaring konsorsium yang berfokus pada isu-isu perempuan. Sebagian besar organisasi dan konsorsium berskala besar ini memiliki organisasi mitra di tingkat provinsi dan kabupaten. Secara keseluruhan pada saat penelitian dilakukan, MAMPU secara langsung dan tidak langsung mendukung 122 mitra di tingkat nasional dan daerah. Inisiatif yang didukung MAMPU telah beroperasi di 1.137 desa, di 147 kabupaten dan kota, di seluruh 27 provinsi di Indonesia.
Meskipun penelitian ini tidak dapat mewakili semua wilayah di Indonesia, namun penelitian ini dirancang untuk mencakup berbagai wilayah di Indonesia dan daerah yang saat ini didukung MAMPU melalui kegiatan yang berfokus pada lima area tematik inti MAMPU di bawah ini. Sampel penelitian juga mencakup dua lokasi tanpa bukti kehadiran CSO, satu di dalam pulau Jawa dan satu di luar pulau Jawa. Selama dan dalam banyak kasus setelah program berjalan, OMS Mitra MAMPU memberikan advokasi dan dukungan kepada perempuan desa dan kelompok yang merupakan anggota dalam kegiatan di lima area tematik MAMPU. Pemilihan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingannya bagi kelompok masyarakat sipil yang relevan, baik pemerintah Indonesia maupun Australia, dan penilaian ruang lingkup untuk mencapai hasil. Area tematik tersebut adalah:
1. Meningkatkan akses terhadap program perlindungan sosial.
2. Memperbaiki kondisi migrasi buruh perempuan ke luar negeri.
3. Memperbaiki kondisi kerja dan menghapus diskriminasi di tempat kerja (khususnya bagi perempuan pekerja rumahan).
4. Meningkatkan status kesehatan dan gizi perempuan.
5. Mengurangi kekerasan terhadap perempuan.4
4 Program MAMPU juga mendukung reformasi dan kepemimpinan di setiap area fokus inti ini melalui dua strategi yang luas. Pertama, dengan mendukung kelompok perempuan dan organisasi berkepentingan gender untuk memobilisasi jaringan dan koalisi yang dapat memengaruhi kebijakan dan melakukan investasi secara praktis di tingkat lokal. Kedua, dengan mendukung perempuan yang merupakan anggota dewan dan laki-laki yang merupakan pengadvokasi gender untuk berperan yang lebih besar dalam mengadvokasi reformasi (MAMPU, 2012).
Lokasi penelitian dipilih untuk mencakup keragaman konteks dan lima area tematik kegiatan OMS Mitra MAMPU. Lokasi penelitian juga dipilih untuk dapat mengeksplorasi bagaimana pengaruh perempuan desa terhadap implementasi UU Desa di Indonesia jika perempuan desa memang mampu memberikan pengaruh, dan juga untuk mengetahui pengaruh dukungan OMS kepada perempuan desa. Penelitian lainnya tentang implementasi awal UU Desa yang disebutkan di atas menemukan bahwa perempuan desa cenderung kurang memberikan pengaruh pada implementasi UU Desa dalam skala besar (misalnya, Syukri, dkk., [2017, 2018], Dharmawan, dkk., [2018] dan penelitian terkait lainnya). Namun hanya sedikit lokasi dalam sampel penelitian sebelumnya yang memiliki organisasi masyarakat sipil yang aktif memberikan perhatian terhadap implementasi UU Desa, dan penelitian sebelumnya tersebut juga tidak menyelidiki secara rinci mekanisme pengaruh perempuan terhadap implementasi UU Desa ketika pengaruh tersebut benar-benar terjadi.
Untuk mengisi kesenjangan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan metode deviasi positif untuk pemilihan lokasi. Penelitian ini dilakukan di lokasi penelitian di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang mungkin terdapat pengaruh perempuan dalam implementasi UU Desa, kemudian penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme yang mendasari pengaruh tersebut. Penelitian ini juga dilakukan di lokasi-lokasi tempat OMS beroperasi dan tidak beroperasi untuk mendukung perempuan desa.
Selama lokakarya perencanaan penelitian, tim peneliti bekerja dengan organisasi Mitra MAMPU untuk mengidentifikasi kriteria yang dapat digunakan untuk menangkap keragaman sosio-budaya, ekonomi dan geografis Indonesia, serta berbagai peluang dan tantangan bagi perempuan, dan mempersempit pemilihan lokasi penelitian dari daftar lokasi yang menurut para organisasi Mitra MAMPU pada lokasi tersebut perempuan mungkin memengaruhi implementasi UU Desa. Dari daftar yang panjang tersebut, ditetapkan short list yang dapat mengakomodasi sebanyak mungkin daerah dan sebanyak mungkin keragaman dalam sumber daya yang tersedia.
Secara keseluruhan, sembilan provinsi, 12 kabupaten, dan 14 desa dipilih sebagai lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini termasuk lokasi dimana terdapat kegiatan Mitra MAMPU dalam lima area tematik (12 desa/kabupaten) dan dua desa kontrol yang tidak terdapat intervensi OMS.
Mengingat kewenangan UU Desa difokuskan pada desa (bukan daerah setingkat di perkotaan, [kelurahan]), kajian yang lebih mendalam dilakukan di 10 kabupaten/10 desa inti. Kabupaten/desa inti ini mencakup daerah di dalam dan di luar Jawa dan dukungan Mitra MAMPU untuk perempuan desa berdasarkan empat fokus utama MAMPU (perlindungan sosial, pekerja migran, pengurangan kekerasan terhadap perempuan, dan kesehatan reproduksi dan gizi).
Mengingat kondisi yang berbeda di dalam dan di luar Jawa di Indonesia, maka diputuskan pula bahwa kedua desa kontrol harus mencerminkan dikotomi ini untuk menguji asumsi dan memperkuat temuan komparatif dari aspek perubahan yang ditimbulkan aksi kolektif perempuan. Satu desa dipilih di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Provinsi Sulawesi Selatan, Pulau Sulawesi) dan desa kedua di Kabupaten Gresik (Provinsi Jawa Timur, Pulau Jawa) yang tidak terlihat adanya intervensi atau dukungan OMS untuk perempuan desa.
Mitra MAMPU juga difokuskan pada isu kelima, mendukung perempuan meningkatkan kondisi kerja mereka, khususnya pekerja rumahan yang bekerja di industri rumahan yang sering kali menjadi bagian dari rantai pasokan industri yang lebih besar atau pasokan ke perusahaan kecil. ‘Pekerja rumahan’ ini banyak yang tinggal di kawasan pinggiran kota dan kelurahan, tetapi terkadang ada juga yang tinggal di desa, sehingga termasuk di bawah kewenangan UU Desa. Kami melakukan kajian yang lebih kecil (melalui studi kasus) di dua kabupaten studi kasus tempat pekerja rumahan tinggal di desa (satu desa di dalam pulau Jawa dan satu desa di luar pulau Jawa) karena mungkin bersinggungan sebagian dengan implementasi UU Desa.
Di dalam seluruh laporan analisis penelitian ini, kami menjaga kerahasiaan identitas desa penelitian (dengan hanya menyebutkan kabupaten tempat desa penelitian berada) agar dapat melindungi responden yang dapat teridentifikasi dan menjaga hak kerahasiaan para responden.
Gambar 4 di bawah ini memetakan sebaran lokasi penelitian secara geografis dan Tabel 1 menunjukkan pemilihan lokasi dan fokus OMS. Informasi lebih lanjut dapat dilihat dalam Lampiran 3 tentang organisasi Mitra MAMPU di tingkat nasional, dan mitranya di tingkat daerah.
Gambar 4: Peta Lokasi Penelitian dan Mitra OMS

Tabel 1: Sampel—Lokasi Penelitian, OMS, dan Tema MAMPU

Metode penelitian
Metode penelitian kualitatif
Sebagian besar data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode kualitatif campuran, termasuk:
- Riwayat perjalanan hidup perempuan desa—ringkasannya dipublikasikan secara terpisah (Setiawan, dkk., 2020).
- Wawancara semi-terstruktur dengan narasumber di kabupaten dan desa, termasuk pimpinan dan staf OMS, kader OMS, perwakilan pemerintah, anggota DPRD/BPD, laki-laki dan perempuan desa, anggota kelompok desa, pemimpin desa (Kepala Desa, ketua adat, pemimpin agama dan tokoh lainnya), dan pengamat lainnya.
- Wawancara semi-terstruktur dengan mitra OMS tingkat nasional dan pengamat lainnya.
- Diskusi kelompok terfokus (FGD) secara terpisah dengan laki-laki dan perempuan desa.
- Observasi kehidupan masyarakat dan jika memungkinkan pertemuan desa, dicatat dalam buku harian dan catatan.
- Mengumpulkan data monografi desa dan data desa lainnya tentang pertemuan dan partisipasi.
- Peta jejaring sosial yang dikembangkan secara kualitatif dari setiap desa, yang mengidentifikasi berbagai jenis ikatan dan hubungan sosial antara tokoh-tokoh terkemuka di desa. Pada dasarnya peta ini berusaha untuk mengidentifikasi sifat dan jenis hubungan antara tokoh-tokoh yang berusaha memengaruhi kehidupan desa dan struktur kekuasaan.
Secara keseluruhan, lebih dari 450 wawancara (wawancara riwayat perjalanan hidup secara semi-terstruktur dan berulang) dan 30 diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan (melibatkan lebih dari 150 orang). Di setiap lokasi penelitian, para peneliti tinggal di desa untuk mengamati kehidupan dan kegiatan masyarakat dan juga melakukan wawancara dengan berbagai narasumber di kabupaten. Rincian lebih lanjut tentang metode ini diuraikan dalam Lampiran 4. Penelitian lapangan dilakukan dalam beberapa tahap agar tidak berbenturan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden Indonesia serta periode libur nasional:
- Tahap 1: Februari-Maret 2019 (4 lokasi penelitian).
- Tahap 2: Juli 2019 (6 lokasi penelitian).
- Tahap 3: Oktober-Desember 2019 (4 lokasi penelitian).
Analisis data memerlukan kompilasi berbagai jenis studi kasus untuk analisis kasus dan analisis komparatif. Proses ini dilakukan secara iteratif dengan melibatkan OMS Mitra MAMPU untuk memberikan masukan dalam analisis melalui lokakarya dan webinar yang interaktif. Studi kasus menganalisis kasus di dalam konteks, jejaring sosial dan struktur, strategi dan kegiatan OMS, termasuk dukungan OMS untuk kelompok perempuan di tingkat kabupaten dan desa. Selain itu, studi kasus juga mencakup analisis riwayat perjalanan hidup perempuan untuk memahami tren dalam agensi individu aktivis perempuan dan agen perubahan. Kemudian yang terpenting, studi kasus juga dikembangkan untuk menelusuri jalur bagaimana perempuan secara kolektif dapat memengaruhi implementasi UU Desa, termasuk analisis tentang bentuk aksi kolektif dan pengaruh yang digunakan perempuan desa, serta strategi terencana dan tidak terencana yang diterapkan OMS—baik di tingkat kabupaten maupun desa—secara langsung dan tidak langsung untuk mendukung aksi kolektif perempuan desa sebagai bagian dari advokasi OMS sendiri. Studi kasus tentang jalur pengaruh ini (atau ‘Cerita Perubahan’) mengidentifikasi mekanisme dan proses perubahan yang menghasilkan hasil yang berbeda berdasarkan UU Desa, yaitu perubahan dalam:
- Aturan formal (misalnya Peraturan Desa, proses musyawarah dan prioritas desa).
- Aturan informal (misalnya norma dan praktik sosial desa yang berkaitan dengan peran gender (gender roles), representasi gender dalam pengambilan keputusan (gender representation), hak berdasarkan gender (gender rights), dan tanggung jawab (perceived responsibilities) berbasis gender— 4R).
- Inisiatif pembangunan desa baru, program dan penggunaan Dana Desa.
Studi kasus yang menelusuri aksi kolektif perempuan dan pengaruh dianalisis secara komparatif dan diilustrasikan dalam laporan ini. Ringkasan hasil studi kasus ini juga telah diterbitkan secara terpisah dalam Bahasa Indonesia, dengan abstrak dalam Bahasa Inggris (Lihat Savirani, Diprose, Hartoto dan Setiawan, 2020). Serangkaian kisah perjalanan hidup perempuan juga telah dipublikasikan secara terpisah dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dan masing-masing kompendium memuat uraian tema-tema utama (lihat Setiawan, Beech Jones, Diprose, dan Savirani, 2020).5 Kutipan dari studi kasus dan kisah perjalanan hidup perempuan dimasukkan ke dalam semua analisis komparatif pada bab-bab berikutnya di laporan ini.
Metode kuantitatif
Tim Monitoring dan Evaluasi MAMPU mengumpulkan data yang terperinci tentang kegiatan Mitra, dinamika konteks desa (dan kabupaten, provinsi serta nasional), pengembangan kebijakan dan program, kelompok perempuan dan kelompok lain termasuk keanggotaan mereka, dan banyak tema yang lain. Analisis ini juga merujuk pada sebagian data kuantitatif dari basis data MAMPU untuk mengindikasikan di mana tren-tren yang terlihat dalam temuan kualitatif mungkin terjadi dalam skala besar, termasuk:
- Tantangan utama dalam upaya membangun pemberdayaan perempuan dilaporkan oleh seluruh OMS Mitra MAMPU di 27 provinsi, 147 kabupaten/kota dan 1.137 desa dari Juli 2014 sampai Oktober 2019.
- Perundang-undangan, peraturan, dan instrumen kebijakan lainnya tentang pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan dikembangkan di 27 provinsi, 147 kabupaten/kota dan 1.137 desa dari Juli 2014 sampai Oktober 2019.
Etika penelitian
Tim peneliti memastikan bahwa etika penelitian diperhatikan dalam rancangan penelitian dan penelitian lapangan. Semua anggota tim peneliti adalah perempuan untuk memastikan narasumber dan mitra OMS merasa nyaman terlibat dalam penelitian. Tim peneliti terdiri dari peneliti perempuan dari School of Social and Political Sciences di The University of Melbourne (satu chief investigator, dua associate researchers, dan dua research assistants) dan Departemen Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada (satu ketua tim, dan 14 peneliti lapangan dan satu asisten peneliti). Tim ini terdiri dari para peneliti yang ahli dalam penelitian kualitatif tentang pembangunan masyarakat dalam berbagai konteks dan bahasa.
Semua peneliti lapangan dilatih praktik penelitian yang beretika dan diawasi oleh staf senior. Akses ke desa difasilitasi melalui OMS Mitra MAMPU, dan kontak lokal tepercaya lainnya, yang membantu para peneliti membangun hubungan dengan masyarakat lokal dan calon peserta penelitian. Peneliti juga meminta izin dari pemerintah desa dan otoritas terkait lainnya sebelum melakukan penelitian ini. Wawancara dilakukan di rumah pribadi atau di ruang publik yang ramai (sesuai dengan preferensi narasumber) agar mengurangi risiko terdengarnya percakapan oleh orang lain.
Secara umum, persetujuan yang diinformasikan secara lisan merupakan bentuk persetujuan yang paling sesuai dengan budaya di desa-desa di Indonesia. Persetujuan tertulis akan digunakan jika dirasakan sesuai, misalnya, untuk wawancara dengan perwakilan OMS atau lembaga pemerintah. Wawancara hanya dilakukan dengan orang yang berusia di atas 18 tahun dan sesuai dengan pedoman perlindungan anak. Dalam melakukan penelitian, tim berupaya untuk selalu menjaga kerahasiaan dan anonimitas semua narasumber. Laporan ini menggunakan nama samaran (atau jabatan) guna menyamarkan identitas narasumber dan rujukan yang digunakan hanya mengacu pada lokasi penelitian per kabupaten.
Ruang lingkup
Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan, banyak organisasi mitra MAMPU yang bekerja di daerah pedesaan yang berupaya untuk mengakses dan mendukung kelompok perempuan yang paling rentan di Indonesia, diantara lainnya meliputi perempuan kepala keluarga, penyintas kekerasan rumah tangga dan bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, atau pekerja rumahan dengan mata pencaharian tidak tetap dan pendapatan di bawah standar kehidupan layak. Oleh karena itu, dalam bekerja sama dengan organisasi mitra MAMPU untuk melakukan penelitian, penelitian ini cenderung berupaya mengkaji secara detail etnografis suara dan pengalaman perempuan desa yang lebih rentan, yaitu perempuan yang sebagian besar pernah mengalami kemiskinan multi dimensi. Kajian ini juga—tetapi pada tingkat yang lebih rendah—mempelajari pengalaman perempuan lainnya di lokasi penelitian pedesaan yang mungkin masih mengalami tantangan yang signifikan tetapi tidak (atau tidak lagi) memiliki tingkat kerentanan yang sama—suatu aspek yang dapat mempersempit jalur untuk melakukan tindakan.
Sehingga mungkin ada jalur yang lebih lanjut untuk melakukan aksi kolektif (dengan dan tanpa dukungan eksternal) di daerah lain dan bagi orang lain selain jalur yang terungkap dalam penelitian ini. Meskipun demikian, temuan penelitian bermanfaat bagi lembaga, program, dan jejaring fasilitator lainnya, antara lain yang berupaya untuk mendorong inklusi gender, agar dapat memahami sejumlah jalur dan mekanisme yang memungkinkan perempuan desa untuk melakukan aksi kolektif (baik secara bersama-sama maupun dengan tokoh lainnya) untuk mengakses dan menggunakan pengaruh terhadap struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.
5 Lihat http://www.demisetara.org